Timpang Banget, Jumlah Gamer Perempuan di Turnamen Esports Cuma 1 Persen
loading...
A
A
A
JAKARTA - Memang jumlah kreator gaming perempuan di YouTube atau Facebook sudah sangat mudah ditemukan. Namun, ternyata gamer perempuan yang benar-benar berlaga di ajang esports profesional jumlahnya sangat amat sedikit.
Padahal, cabang olahraga esports mengklaim menyediakan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk bersaing dengan imbang.
Faktanya, kurang dari 5 persen perempuan bersedia untuk terjun ke industri esports.
Bahkan, di turnamen-turnamen besar, kurang dari 1 persen pemain yang ikut berlaga adalah perempuan.
Tapi, mengapa ini terjadi? Staf Khusus Bidang Komunikasi dan Hubungan Masyarakat PB ESI sekaligus SVP Community UniPin Debora Immanuella mengatakan, ada beberapa penyebab kaum hawa tidak banyak ditemui di ajang esports profesional.
”Minimnya representasi dan komunitas yang inklusif, serta maraknya praktik diskriminasi baik secara sadar maupun tidak sadar disebut sebagai beberapa faktor penghambat yang utama,” ungkap Debora dalam talk show “Women in Esports” yang diselenggarakan Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) di sela-sela Indonesia Esports Summit dan International Esports Federation (IESF) World Esports Championships belum lama ini.
Ia menyerukan agar semangat gender equity dan inklusivitas menjadi pilar utama dari ekosistem esports demi menciptakan rasa aman dan nyaman.
Sehingga, semakin banyak pemain perempuan yang berpartisipasi.
“Konsep gender equity merupakan pengakuan terhadap kebutuhan dan kemampuan para gamer perempuan yang berbeda dari laki-laki. Selama ini, ketimpangan gender dan dukungan dari komunitas yang belum optimal merupakan isu-isu kritikal yang mencegah lebih banyak perempuan untuk mencapai potensinya di bidang esports,” ujar Debora.
Sebenarnya sudah ada beberapa program yang ditujukan untuk mendorong kaum perempuan terlibat di esports.
Misalnya UniPin Ladies Series dan pertandingan Mobile Legends: Bang-Bang (MLBB), PlayerUnknown’s BattleGrounds (PUBG) Mobile, Free Fire, dan Valorant khusus untuk perempuan.
Pemain esports profesional Audrey FF sempat membagikan pengalamannya menjadi sasaran perundungan. Dampaknya bahkan sampai memengaruhi kesehatan mentalnya. Sehingga ia harus menjalani sesi terapi dan pengobatan.
“Di luar unsur kesengajaan, banyak juga yang tidak menyadari bahwa perbuatan mereka melukai orang lain akibat nilai-nilai yang telah terinternalisasi. Diperlukan sosialisasi dan edukasi yang lebih luas agar semakin banyak orang yang mengetahui jenis-jenis perilaku yang toksik,” tutur Audrey.
Debora optimistis semakin banyak putri-putri esports yang akan bersinar kedepannya. Dan tidak hanya jadi pemain, tapi juga profesional lain di industri, seperti caster, influencer, maupun brand ambassador.
“Moderasi komunitas terhadap praktik-praktik seperti diskriminasi dan pelecehan, secara verbal dan dengan niat ‘membuat lelucon’ sekalipun, adalah kunci dalam menghadirkan suasana yang aman dan nyaman tersebut,”ujarDebora.
Lihat Juga: Rp6 Miliar Menanti! Tim Esports Indonesia Boom Esports, Alter Ego, dan Helios Siap Berlaga di Malaysia
Padahal, cabang olahraga esports mengklaim menyediakan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk bersaing dengan imbang.
Faktanya, kurang dari 5 persen perempuan bersedia untuk terjun ke industri esports.
Bahkan, di turnamen-turnamen besar, kurang dari 1 persen pemain yang ikut berlaga adalah perempuan.
Tapi, mengapa ini terjadi? Staf Khusus Bidang Komunikasi dan Hubungan Masyarakat PB ESI sekaligus SVP Community UniPin Debora Immanuella mengatakan, ada beberapa penyebab kaum hawa tidak banyak ditemui di ajang esports profesional.
”Minimnya representasi dan komunitas yang inklusif, serta maraknya praktik diskriminasi baik secara sadar maupun tidak sadar disebut sebagai beberapa faktor penghambat yang utama,” ungkap Debora dalam talk show “Women in Esports” yang diselenggarakan Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) di sela-sela Indonesia Esports Summit dan International Esports Federation (IESF) World Esports Championships belum lama ini.
Ia menyerukan agar semangat gender equity dan inklusivitas menjadi pilar utama dari ekosistem esports demi menciptakan rasa aman dan nyaman.
Sehingga, semakin banyak pemain perempuan yang berpartisipasi.
“Konsep gender equity merupakan pengakuan terhadap kebutuhan dan kemampuan para gamer perempuan yang berbeda dari laki-laki. Selama ini, ketimpangan gender dan dukungan dari komunitas yang belum optimal merupakan isu-isu kritikal yang mencegah lebih banyak perempuan untuk mencapai potensinya di bidang esports,” ujar Debora.
Sebenarnya sudah ada beberapa program yang ditujukan untuk mendorong kaum perempuan terlibat di esports.
Misalnya UniPin Ladies Series dan pertandingan Mobile Legends: Bang-Bang (MLBB), PlayerUnknown’s BattleGrounds (PUBG) Mobile, Free Fire, dan Valorant khusus untuk perempuan.
Pemain esports profesional Audrey FF sempat membagikan pengalamannya menjadi sasaran perundungan. Dampaknya bahkan sampai memengaruhi kesehatan mentalnya. Sehingga ia harus menjalani sesi terapi dan pengobatan.
“Di luar unsur kesengajaan, banyak juga yang tidak menyadari bahwa perbuatan mereka melukai orang lain akibat nilai-nilai yang telah terinternalisasi. Diperlukan sosialisasi dan edukasi yang lebih luas agar semakin banyak orang yang mengetahui jenis-jenis perilaku yang toksik,” tutur Audrey.
Debora optimistis semakin banyak putri-putri esports yang akan bersinar kedepannya. Dan tidak hanya jadi pemain, tapi juga profesional lain di industri, seperti caster, influencer, maupun brand ambassador.
“Moderasi komunitas terhadap praktik-praktik seperti diskriminasi dan pelecehan, secara verbal dan dengan niat ‘membuat lelucon’ sekalipun, adalah kunci dalam menghadirkan suasana yang aman dan nyaman tersebut,”ujarDebora.
Lihat Juga: Rp6 Miliar Menanti! Tim Esports Indonesia Boom Esports, Alter Ego, dan Helios Siap Berlaga di Malaysia
(dan)