Cerita Miris Warga: Siaran Analog Dimatikan, Harga STB Mahal, Gambar TV Ternyata Masih Buruk
loading...
A
A
A
Keluhan masyarakat Jagodetabek terkait kualitas gambar di televisinya masih buruk meski sudah memasang perangkat set top box (STB) untuk mengonversi siaran TV digital ke pesawat analog menimbulkan banyak cerita miris di masyarakat.
Aryo, 40 tahun, warga RT 4 RW 4 Jalan Musholla, Kelurahan Cilandak Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, mengaku langsung membeli STB seharga Rp250.000 begitu analog switch off (ASO) diberlakukan pada 2 November 2022 lalu. Dia juga membeli antena digital Rp100.000. Pesawat TV-nya keluaran baru tapi belum mendukung siaran digital.
Namun dia kecewa lantaran kualitas gambar dan suara tidak sebaik yang dikampanyekan oleh pemerintah. “Begitu dipasang, hanya ada lima channel TV. Setelah diotak-atik, beberapa channel lainnya muncul. Gambarnya memang terang, bagus. Tapi sering nge-lag (patah-patah),” ungkapnya kepada MNC Portal, Jumat (11/11).
Sinyal yang diterima juga sering hilang alias “no signal”. Aryo harus meninggikan antenanya agar dapat menangkap lebih banyak channel TV. “Akhirnya kami lebih banyak nonton YouTube saja di TV itu,” akunya.
Menanggapi hal ini, Direktur Standardisasi Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo, Mulyadi mengimbau masyarakat agar teliti ketika membeli perangkat STB. “Hati-hati, harus STB yang sudah tersertifikasi untuk memberikan jaminan kesesuaian teknologi, spesifikasi teknis dan keamanannya sehingga dapat menangkap siaran TV Digital di Indonesia secara optimal,” katanya kepada MPI.
Sementara itu, sejumlah pemilik toko di Pusat Elektronik Glodok, Jakarta Pusat, memastikan bahwa STB yang mereka jual sudah mendapat sertifikasi Kemenkominfo.
Santoso, pemilik Toko Solution Electronik, menyatakan bahwa alat yang dijualnya asli.
"Kami langsung beli ke toko pusat mereknya (merek Matrix) di kawasan Daan Mogot, Jakarta. Dan bisa dicek serta diprogram dulu sebelum dibeli. Di dusnya ada bukti sertifikasi," tuturnya.
STB merek Matrix dijual Santoso dengan harga Rp300 ribuan. Material luarnya dari besi. Dia juga menjual STB dengan material luar dari plastik dengan harga Rp250 ribuan.
Berdasarkan pantauan MPI, dus STB yang dijual Santoso tertera logo “Siap Digital”. STB merek Matrix diproduksi PT Stella Satindo sementara merek lainnya seperti Polytron diproduksi PT Hartono Istana Teknologi.
Hal serupa juga terjadi di Toko Jawa Electric di Jalan Wijaya Kusuma, Malaka Jaya, Duren Sawit, Jakarta Timur, sebagian besar menjual STB produk lokal. Menurut karyawan toko tersebut, Nur, 22, distributor STB ini ada di Jakarta Utara. Tokonya juga menjual STB impor yakni dari Jepang.
Harga jual STB lokal di tokonya rata-rata Rp250 ribuan sementara merek impor sedikit lebih mahal.
Susi, salah satu penjual elektronik di Kawasan Senen, Jakarta Pusat, mengaku harga STB beberapa hari terakhir terus naik. Sebelum 2 November 2022, Susi masih ada STB yang dijualnya Rp190.000. Kini, harga termurah STB Rp250.000. menjual STB. “Benar-benar ikut harga pasar. Harga naik dari pabrik,” katanya.
Lantaran profil pembeli STB rata-rata kelas menengah ke bawah, Susi biasanya melepas STB berdasarkan kesepakatan tawar-menawar. “Kasihan. Ya saya kasih saja asal masih dapat untung. Yang penting bisa membantu. Rezeki nggak ke mana,” tutup wanita 60 tahun ini.
Aryo, 40 tahun, warga RT 4 RW 4 Jalan Musholla, Kelurahan Cilandak Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, mengaku langsung membeli STB seharga Rp250.000 begitu analog switch off (ASO) diberlakukan pada 2 November 2022 lalu. Dia juga membeli antena digital Rp100.000. Pesawat TV-nya keluaran baru tapi belum mendukung siaran digital.
Namun dia kecewa lantaran kualitas gambar dan suara tidak sebaik yang dikampanyekan oleh pemerintah. “Begitu dipasang, hanya ada lima channel TV. Setelah diotak-atik, beberapa channel lainnya muncul. Gambarnya memang terang, bagus. Tapi sering nge-lag (patah-patah),” ungkapnya kepada MNC Portal, Jumat (11/11).
Sinyal yang diterima juga sering hilang alias “no signal”. Aryo harus meninggikan antenanya agar dapat menangkap lebih banyak channel TV. “Akhirnya kami lebih banyak nonton YouTube saja di TV itu,” akunya.
Menanggapi hal ini, Direktur Standardisasi Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo, Mulyadi mengimbau masyarakat agar teliti ketika membeli perangkat STB. “Hati-hati, harus STB yang sudah tersertifikasi untuk memberikan jaminan kesesuaian teknologi, spesifikasi teknis dan keamanannya sehingga dapat menangkap siaran TV Digital di Indonesia secara optimal,” katanya kepada MPI.
Sementara itu, sejumlah pemilik toko di Pusat Elektronik Glodok, Jakarta Pusat, memastikan bahwa STB yang mereka jual sudah mendapat sertifikasi Kemenkominfo.
Santoso, pemilik Toko Solution Electronik, menyatakan bahwa alat yang dijualnya asli.
"Kami langsung beli ke toko pusat mereknya (merek Matrix) di kawasan Daan Mogot, Jakarta. Dan bisa dicek serta diprogram dulu sebelum dibeli. Di dusnya ada bukti sertifikasi," tuturnya.
STB merek Matrix dijual Santoso dengan harga Rp300 ribuan. Material luarnya dari besi. Dia juga menjual STB dengan material luar dari plastik dengan harga Rp250 ribuan.
Berdasarkan pantauan MPI, dus STB yang dijual Santoso tertera logo “Siap Digital”. STB merek Matrix diproduksi PT Stella Satindo sementara merek lainnya seperti Polytron diproduksi PT Hartono Istana Teknologi.
Hal serupa juga terjadi di Toko Jawa Electric di Jalan Wijaya Kusuma, Malaka Jaya, Duren Sawit, Jakarta Timur, sebagian besar menjual STB produk lokal. Menurut karyawan toko tersebut, Nur, 22, distributor STB ini ada di Jakarta Utara. Tokonya juga menjual STB impor yakni dari Jepang.
Harga jual STB lokal di tokonya rata-rata Rp250 ribuan sementara merek impor sedikit lebih mahal.
Susi, salah satu penjual elektronik di Kawasan Senen, Jakarta Pusat, mengaku harga STB beberapa hari terakhir terus naik. Sebelum 2 November 2022, Susi masih ada STB yang dijualnya Rp190.000. Kini, harga termurah STB Rp250.000. menjual STB. “Benar-benar ikut harga pasar. Harga naik dari pabrik,” katanya.
Lantaran profil pembeli STB rata-rata kelas menengah ke bawah, Susi biasanya melepas STB berdasarkan kesepakatan tawar-menawar. “Kasihan. Ya saya kasih saja asal masih dapat untung. Yang penting bisa membantu. Rezeki nggak ke mana,” tutup wanita 60 tahun ini.
(wbs)