Kurang Literasi, Bikin Tukang Tipu di Sosmed Membabi Buta
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penipuan belanja daring melalui sosial media masih menelan banyak korban. Penipuan tidak selalu terkait barang tidak dikirim setelah ditransfer, tetapi juga ada barang palsu dan barang yang dikirim tidak sesuai dengan penjelasan.
Artinya, biasanya barang yang dikirim tidak original. Bahkan, dalam hal ini para pelapak penjual barang yang kurang baik, berani menggandeng serta membayar influencer. BACA JUGA - Gendong Mesin 155cc, Yamaha Siap Hadirkan Pesaing NMax
Menurut Peneliti Keamanan Siber Communication Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, banyaknya korban penipuan di somed seperti Facebook dan Instagram, dikarenakan pengguna kedua sosmed tersebut sangat banyak. BACA JUGA - Lawan Brompton, KTM dan Harley-Davidson Produksi Sepeda Gaya-Gayaan
Di Indonesia, lanjut Pratama, sosmed sudah menjadi captive market bagi para penipu. “Apalagi dengan kelihaian copy writing pada caption serta desain pada grafis dan video, membuat tampilan medsos dan konten para penipu menjadi sangat meyakinkan,” ujarnya, saat dihubungi, Jumat (3/7/2020).
Mengenai penyebab masih banyaknya orang yang tertipu, menurut Pratama faktornya beragam. Mulai dari kurang literasi, dan sistem pelaporan ke medsos terkait penipuan semacam ini kurang lebih sama dengan pelaporan akun fake atau akun bermasalah lainnya. Sehingga kurang mendapatkan perhatian dari netizen.
Misalnya, platform medsos tidak memberikan pilihan tersendiri tentang akun online shoping gadungan. Padahal, sudah disadari bahwa platform medsos sudah menjadi salah satu sarana utama jual beli.
“Jadi sebaiknya ada alat khusus untuk pelaporan olshop palsu,” imbuh Pratama.
Intinya, para penipu sekarang juga tidak bodoh dengan memberikan harga yang sangat murah. Mereka lebih memilih untuk memberikan harga miring namun dianggap rasional.
Bisa jadi modusnya barang tidak dikirim dan barang yang dikirim bermasalah. Tak hanya di medsos, di marketplace juga banyak terjadi.
Pratama menyarankan untuk melihat rekomendasi serta komentar para pembeli terdahulu. Komentar yang berlebihan dan cenderung sama, berpotensi mereka menggerakkan robot atau akun palsu.
Lihat jumlah penyuka dalam akun IG dan FB. Apabila rata-rata memiliki like yang sama dan mirip, kemungkinan mereka menghimpun like dari mesin ilegal atau robot.
Seller penipu sendiri juga sering memakai rekening orang lain. Biasanya mereka menolak jual beli via marketplace seperti Tokopedia atau Bukalapak, karena ada sistem rekening bersama milik marketplace.
“Sehingga bila barang tidak dikirim atau yang dikirim bermasalah, pembeli bisa komplai melapor dan uangnya dikembalikan,” tandasnya.
Artinya, biasanya barang yang dikirim tidak original. Bahkan, dalam hal ini para pelapak penjual barang yang kurang baik, berani menggandeng serta membayar influencer. BACA JUGA - Gendong Mesin 155cc, Yamaha Siap Hadirkan Pesaing NMax
Menurut Peneliti Keamanan Siber Communication Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, banyaknya korban penipuan di somed seperti Facebook dan Instagram, dikarenakan pengguna kedua sosmed tersebut sangat banyak. BACA JUGA - Lawan Brompton, KTM dan Harley-Davidson Produksi Sepeda Gaya-Gayaan
Di Indonesia, lanjut Pratama, sosmed sudah menjadi captive market bagi para penipu. “Apalagi dengan kelihaian copy writing pada caption serta desain pada grafis dan video, membuat tampilan medsos dan konten para penipu menjadi sangat meyakinkan,” ujarnya, saat dihubungi, Jumat (3/7/2020).
Mengenai penyebab masih banyaknya orang yang tertipu, menurut Pratama faktornya beragam. Mulai dari kurang literasi, dan sistem pelaporan ke medsos terkait penipuan semacam ini kurang lebih sama dengan pelaporan akun fake atau akun bermasalah lainnya. Sehingga kurang mendapatkan perhatian dari netizen.
Misalnya, platform medsos tidak memberikan pilihan tersendiri tentang akun online shoping gadungan. Padahal, sudah disadari bahwa platform medsos sudah menjadi salah satu sarana utama jual beli.
“Jadi sebaiknya ada alat khusus untuk pelaporan olshop palsu,” imbuh Pratama.
Intinya, para penipu sekarang juga tidak bodoh dengan memberikan harga yang sangat murah. Mereka lebih memilih untuk memberikan harga miring namun dianggap rasional.
Bisa jadi modusnya barang tidak dikirim dan barang yang dikirim bermasalah. Tak hanya di medsos, di marketplace juga banyak terjadi.
Pratama menyarankan untuk melihat rekomendasi serta komentar para pembeli terdahulu. Komentar yang berlebihan dan cenderung sama, berpotensi mereka menggerakkan robot atau akun palsu.
Lihat jumlah penyuka dalam akun IG dan FB. Apabila rata-rata memiliki like yang sama dan mirip, kemungkinan mereka menghimpun like dari mesin ilegal atau robot.
Seller penipu sendiri juga sering memakai rekening orang lain. Biasanya mereka menolak jual beli via marketplace seperti Tokopedia atau Bukalapak, karena ada sistem rekening bersama milik marketplace.
“Sehingga bila barang tidak dikirim atau yang dikirim bermasalah, pembeli bisa komplai melapor dan uangnya dikembalikan,” tandasnya.
(wbs)