Pengamat: Tidak Perlu Malu Mengakui Peretasan dan Kebocoran Data
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Keamanan Siber Vaksincom Alfons Tanujaya mengimbau bahwa perusahaan atau institusi pemerintahan tidak perlu malu terhadap ancaman peretasan dan kebocoran data.
Sebab, menurutnya, ancaman peretasan dan kebocoran data adalah keniscayaan jika kita ingin mendapatkan manfaat dari mengelola data. ”Bahkan lembaga pemerintah negara maju seperti FBI atau perusahaan besar seperti LinkedIn, Yahoo, hingga Tokopedia pernah menjadi korban kebocoran data,” ungkapnya.
Karena itu, Alfons menyebut bahwa tidak perlu malu mengakui terjadinya kebocoran data atau peretasan apabila telah melakukan langkah pengamanan dengan disiplin.
Menurutnya, mengakui secara sportif bahwa data bocor atau menjadi korban peretasan dapat dikatakan sudah menjadi 50% dari solusi. ”Sedangkan 50% sisanya adalah analisa dan mitigasi supaya hal yang sama tidak berulang atau terjadi lagi,” ungkapnya.
Justru Alfons mengkritisi institusi pemerintahan saat sudah terjadi kebocoran data tidak mau segera mengakui terbuka. ”Jika mengakui saja tidak bisa dilakukan, apa yang bisa diharapkan dari pengelola data?,” ungkapnya. ”Sudah dapat dipastikan tidak akan ada usaha yang signifikan dan serius memperbaiki kesalahan dalam pengelolaan data dan kebocoran akan terjadi lagi,” ia melanjutkan.
Sebagai catatan, pihak yang mengalami kerugian terbesar dalam kebocoran data adalah pemilik data dan bukan pengelola data. Dalam kasus data kependudukan yang dikelola institusi pemerintah bocor, maka yang paling dirugikan adalah penduduk Indonesia yang datanya bocor tersebut.
”Hal ini dapat dirasakan oleh mayoritas penduduk Indonesia yang data kependudukannya kerap disalahgunakan tanpa sepengetahuannya untuk mendaftarkan kartu SIM pra bayar, membuka rekening bank bodong untuk menampung kejahatan siber, hingga mengajukan pinjaman online atau kredit cicilan barang,” ujar Alfons.
Sebab, menurutnya, ancaman peretasan dan kebocoran data adalah keniscayaan jika kita ingin mendapatkan manfaat dari mengelola data. ”Bahkan lembaga pemerintah negara maju seperti FBI atau perusahaan besar seperti LinkedIn, Yahoo, hingga Tokopedia pernah menjadi korban kebocoran data,” ungkapnya.
Karena itu, Alfons menyebut bahwa tidak perlu malu mengakui terjadinya kebocoran data atau peretasan apabila telah melakukan langkah pengamanan dengan disiplin.
Menurutnya, mengakui secara sportif bahwa data bocor atau menjadi korban peretasan dapat dikatakan sudah menjadi 50% dari solusi. ”Sedangkan 50% sisanya adalah analisa dan mitigasi supaya hal yang sama tidak berulang atau terjadi lagi,” ungkapnya.
Justru Alfons mengkritisi institusi pemerintahan saat sudah terjadi kebocoran data tidak mau segera mengakui terbuka. ”Jika mengakui saja tidak bisa dilakukan, apa yang bisa diharapkan dari pengelola data?,” ungkapnya. ”Sudah dapat dipastikan tidak akan ada usaha yang signifikan dan serius memperbaiki kesalahan dalam pengelolaan data dan kebocoran akan terjadi lagi,” ia melanjutkan.
Sebagai catatan, pihak yang mengalami kerugian terbesar dalam kebocoran data adalah pemilik data dan bukan pengelola data. Dalam kasus data kependudukan yang dikelola institusi pemerintah bocor, maka yang paling dirugikan adalah penduduk Indonesia yang datanya bocor tersebut.
”Hal ini dapat dirasakan oleh mayoritas penduduk Indonesia yang data kependudukannya kerap disalahgunakan tanpa sepengetahuannya untuk mendaftarkan kartu SIM pra bayar, membuka rekening bank bodong untuk menampung kejahatan siber, hingga mengajukan pinjaman online atau kredit cicilan barang,” ujar Alfons.
(dan)