Bahayanya Facebook Ketika Mereka Menyensor Konflik Palestina-Israel
loading...
A
A
A
JAKARTA - Beberapa pekan terakhir Facebook masih jadi sorotan. Ini terkait protes yang dilakukan para aktivis hak asasi manusia terkait aksi penyensoran Facebook terhadap postingan yang pro Palestina.
Memangnya berapa banyak postingan yang dihapus? Dalam dua pekan paska insiden masjid Al-Aqsa di Yarusalem (6 Mei-19 Mei 2021), jumlahnya hampir 500 postingan menurut 7amleh. 7amleh adalah organisasi/LSM non-profit pembela HAM di Palestina.
Postingan-postingan tersebut dianggap tidak lolos moderasi konten algoritma rancangan Facebook.
Dan 7amleh tidak sendiri. Sekarang, berbaris 30 LSM HAM yang menuntut Facebook lebih transparan dalam bagaimana mereka menyeleksi postingan yang berhubungan dengan Palestian.
Anggota kongres AS Rashida Tlaib menyurati Facebook. Menuntut keterbukaan terhadap penyensoran konten Palestina dalam beberapa pekan terakhir. ”Saya tidak habis pikir bagaimana Facebook bisa menyensor suara-suara damai dari Palestina,” ujarnya.
Kelompok LSM HAM menyebut keputusan Facebook dan juga perusahaan-perusahaan teknologi Amerika terkait “penyensoran” terhadap Palestina adalah masalah yang besar.
Kok bisa perusahaan swasta bertindak sebagai mediator tentang informasi apa yang boleh dan tidak boleh keluar dari zona perang.
Masalahnya, bagi sebagian warga Palestina, media sosial menjadi satu-satunya platform untuk berbagi informasi dan menyuarakan apa yang sebenarnya terjadi di sana. Karena bahkan jurnalis dan media pun sangat terbatas dan sulit untuk melakukan peliputan di wilayah Israel dan Palestina.
Direktur Eksekutif 7amleh Nadim Nashif menyebut bahwa penyensoran ini sudah pernah terjadi sebelum insiden masjid Al-Aqsa. ”Dan akan terus terjadi. Yang kami minta adalah transparansi atau keterbukaan Facebook dalam melakukan sensor/moderasi konten,” katanya kepada The Guardian.
Transparansi yang dimaksud, karena Facebook tidak memberikan alasan yang jelas saat memblok konten terkait masjid Al-Aqsa. Para pegiat LSM menilai penyensoran Facebook sengaja ditargetkan pada suara-suara dari Palestina atau yang berhubungan dengan Palestina.
Selain Facebook, Instagram juga sempat memblok akun Mona al-Kurd, remaja Palestina yang rumahnya di duduki oleh pemukim (settler) Israel yang sedang viral. Banyak kasus-kasus lain dimana pemblokiran konten itu dilakukan bahkan di postingan-postingan artis, aktivitis, ataupun selebritis. Dan tidak hanya Facebook dan Instagram, Twitter juga diduga melakukan penyensoran.
LSM yang menyuarakan transparansi Facebook ini bukan hanya 7amleh. LSM seperti Jewish Voice for Peace dan Fight for the Future and the National Lawyers Guild sudah menyuarakan kampanye “stop melakukan sensor kepada warga Palestina” di semua platform Facebook maupun Instagram. Mereka juga menutut Facebook lebih transparan. Mereka bahkan langsung menyurati COO Facebook Sheryl Sandberg.
Apa bahayanya perusahaan raksasa seperti Facebook melakukan penyensoran terhadap informasi?
Jillian C York, aktivitis kebebasan perpendapat dari Electronic Frontier Foundation, sudah lama memonitor penyensoran Facebook terhadap Palestina. ”Semakin jelas bahwa ada beberapa perusahaan yang memegang kekuatan besar dalam kebebasan berpendapat di situasi seperti ini,” ujarnya.
Menurut York, jika sebuah perusahaan swasta membatasi kebebasan berpendapat, maka masyarakat tidak bisa melihat realita sebenarnya yang sedang terjadi. ”Jadi, kita hanya disuguhi narasi dari satu sisi saja,” ungkapnya.
VP Global Affairs Facebook Nick Clegg.
Gara-gara protes itu, VP global affairs Facebook Nick Clegg sudah bertemu secara virtual dengan Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh. Nick meminta maaf secara langsung dan mengakui kesalahan bahwa mereka ”tidak sengaja” melabeli sejumlah postingan sebagai pelanggaran.
Juru bicara Facebook membela diri ada glitches atau gangguan pada software artificial intelligence yang berpengaruh dalam membagikan konten di Facebook dan Instagram. Terutama terkait tagar masjid Al-Aqsa. Facebook mengklaim mereka memiliki tim khusus yang berbicara Arab dan Hebrew untuk memonitor situasi di lapangan.
”Kami sudah memperbaiki hal ini. Dan seharusnya hal ini tidak pernah terjadi. Kami meminta maaf untuk semua yang tidak bisa membagikan informasi terhadap kejadian penting, atau merasa Facebook menghalangi suara mereka. Ini tidak pernah jadi tujuan kami,” tulis juru bicara Facebook.
Memangnya berapa banyak postingan yang dihapus? Dalam dua pekan paska insiden masjid Al-Aqsa di Yarusalem (6 Mei-19 Mei 2021), jumlahnya hampir 500 postingan menurut 7amleh. 7amleh adalah organisasi/LSM non-profit pembela HAM di Palestina.
Postingan-postingan tersebut dianggap tidak lolos moderasi konten algoritma rancangan Facebook.
Dan 7amleh tidak sendiri. Sekarang, berbaris 30 LSM HAM yang menuntut Facebook lebih transparan dalam bagaimana mereka menyeleksi postingan yang berhubungan dengan Palestian.
Anggota kongres AS Rashida Tlaib menyurati Facebook. Menuntut keterbukaan terhadap penyensoran konten Palestina dalam beberapa pekan terakhir. ”Saya tidak habis pikir bagaimana Facebook bisa menyensor suara-suara damai dari Palestina,” ujarnya.
Kelompok LSM HAM menyebut keputusan Facebook dan juga perusahaan-perusahaan teknologi Amerika terkait “penyensoran” terhadap Palestina adalah masalah yang besar.
Kok bisa perusahaan swasta bertindak sebagai mediator tentang informasi apa yang boleh dan tidak boleh keluar dari zona perang.
Masalahnya, bagi sebagian warga Palestina, media sosial menjadi satu-satunya platform untuk berbagi informasi dan menyuarakan apa yang sebenarnya terjadi di sana. Karena bahkan jurnalis dan media pun sangat terbatas dan sulit untuk melakukan peliputan di wilayah Israel dan Palestina.
Direktur Eksekutif 7amleh Nadim Nashif menyebut bahwa penyensoran ini sudah pernah terjadi sebelum insiden masjid Al-Aqsa. ”Dan akan terus terjadi. Yang kami minta adalah transparansi atau keterbukaan Facebook dalam melakukan sensor/moderasi konten,” katanya kepada The Guardian.
Transparansi yang dimaksud, karena Facebook tidak memberikan alasan yang jelas saat memblok konten terkait masjid Al-Aqsa. Para pegiat LSM menilai penyensoran Facebook sengaja ditargetkan pada suara-suara dari Palestina atau yang berhubungan dengan Palestina.
Selain Facebook, Instagram juga sempat memblok akun Mona al-Kurd, remaja Palestina yang rumahnya di duduki oleh pemukim (settler) Israel yang sedang viral. Banyak kasus-kasus lain dimana pemblokiran konten itu dilakukan bahkan di postingan-postingan artis, aktivitis, ataupun selebritis. Dan tidak hanya Facebook dan Instagram, Twitter juga diduga melakukan penyensoran.
LSM yang menyuarakan transparansi Facebook ini bukan hanya 7amleh. LSM seperti Jewish Voice for Peace dan Fight for the Future and the National Lawyers Guild sudah menyuarakan kampanye “stop melakukan sensor kepada warga Palestina” di semua platform Facebook maupun Instagram. Mereka juga menutut Facebook lebih transparan. Mereka bahkan langsung menyurati COO Facebook Sheryl Sandberg.
Apa bahayanya perusahaan raksasa seperti Facebook melakukan penyensoran terhadap informasi?
Jillian C York, aktivitis kebebasan perpendapat dari Electronic Frontier Foundation, sudah lama memonitor penyensoran Facebook terhadap Palestina. ”Semakin jelas bahwa ada beberapa perusahaan yang memegang kekuatan besar dalam kebebasan berpendapat di situasi seperti ini,” ujarnya.
Menurut York, jika sebuah perusahaan swasta membatasi kebebasan berpendapat, maka masyarakat tidak bisa melihat realita sebenarnya yang sedang terjadi. ”Jadi, kita hanya disuguhi narasi dari satu sisi saja,” ungkapnya.
VP Global Affairs Facebook Nick Clegg.
Gara-gara protes itu, VP global affairs Facebook Nick Clegg sudah bertemu secara virtual dengan Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh. Nick meminta maaf secara langsung dan mengakui kesalahan bahwa mereka ”tidak sengaja” melabeli sejumlah postingan sebagai pelanggaran.
Juru bicara Facebook membela diri ada glitches atau gangguan pada software artificial intelligence yang berpengaruh dalam membagikan konten di Facebook dan Instagram. Terutama terkait tagar masjid Al-Aqsa. Facebook mengklaim mereka memiliki tim khusus yang berbicara Arab dan Hebrew untuk memonitor situasi di lapangan.
”Kami sudah memperbaiki hal ini. Dan seharusnya hal ini tidak pernah terjadi. Kami meminta maaf untuk semua yang tidak bisa membagikan informasi terhadap kejadian penting, atau merasa Facebook menghalangi suara mereka. Ini tidak pernah jadi tujuan kami,” tulis juru bicara Facebook.
(dan)