Mirip Telur Dadar Restoran Padang, tapi Cha Ruoi dari Vietnam Berisi Cacing, Berani Coba?
loading...
A
A
A
VIETNAM - Ada daging asap, ada keju, ada sosis, tapi orang Vietnam memilih membuat omelet atau telur dadar menggunakan cancing laut. Namanya Chả rươi, dan ternyata sangat populer. BACA JUGA: Tablet Bisa Jadi Alat Bonding Orang Tua-Anak, Begini Caranya
Jika sudah dalam bentuk omelet, mungkin orang tidak akan sadar isinya. Tampilannya seperti omelet yang biasa ditemukan di restoran Padang. Tapi, bisa jadi mereka akan muntah dan mual jika tahu telur dadar bernama Cha Ruoi itu terbuat dari cacing pasir.
Cha Ruoi adalah hidangan musiman Vietnam. Menggunakan cacing laut sepanjang 5-10 cm. Yang tampilannya benar-benar tidak sedap dipandang mata. Tapi, dibalik bentuknya yang menjijikan itu, Cha Ruoi disebut-sebut sangat lezat. Bahkan rasanya dibandingkan dengan kaviar, telur ikan yang super mahal.
Setiap tahun, di akhir musim gugur, hidangan Cha Ruoi disajikan di warung-warung jajanan di Vietnam utara, khususnya di Hanoi.
Cara memasaknya, tidak berbeda dengan membuat telur dadar di Indonesia. Antara lain telur kocok, kulit jeruk keprok, bawang bombay, adas manis dan rempah-rempah, dan akhirnya ditambahkan cacing laut sepanjang 5-10 cm.
Hasilnya adalah telur dadar yang tampak biasa, tapi begitu digigit terasa berdaging dan sedikit amis.
Ada juga yang menyajikan cacing Palolo digoreng dan dimakan dengan roti panggang. Ada yang dipanggang menjadi roti, bahkan dimakan hidup-hidup. Ya, hidup-hidup.
Sebelum ditambahkan ke telur dadar Cha Ruoi, cacing pasir harus direbus untuk menghilangkan tentakel dan bau amisnya. Juga dengan kulit jeruk keprok yang segar.
Cacing pasir “palolo”
Cacing pasir “palolo” yang dipakai untuk Cha Ruoi mudah sekali ditemukan di sepanjang pantai di banyak negara yang berbatasan dengan Samudra Pasifik, termasuk Cina, Jepang, Indonesia, atau Samoa.
Mengapa cacing pasir “palolo” dikonsumsi hanya satu atau dua bulan dalam setahun? Nah, itu ada hubungannya dengan kebiasaan kawin hewan laut tersebut.
Cacing palolo identik dengan dua moncong, tiga antena dan kepala berbentuk sekop serta tidak adanya mulut pengait. Cacing ini hidup di bebatuan karang.
Selama masa perkembangbiakan, ekor khusus cacing ini pecah dan muncul ke permukaan air laut lalu melepaskan telur atau sperma berupa cairan kental.
BACA JUGA: Perusahaan Ini Jual Beli Wajah Manusia, Mau Wajah Anda Dibeli Seharga Rp5,5 Juta?
Secara teknis, hanya sebagian cacing palolo yang dipanen untuk dikonsumsi. Cacing pasir Palolo berkembang biak secara epitoky, suatu proses di mana cacing mulai menumbuhkan segmen khusus dari belakang, yang terus meningkat hingga cacing dapat dengan jelas dibagi menjadi dua bagian.
Bagian belakang ini berisi telur dan sperma, dan ketika waktunya untuk kawin (biasanya selama bulan kesembilan dan kesepuluh dari kalender lunar), mereka naik ke permukaan, membentuk massa yang besar dan merayap.
Tapi, karena sudah menjadi komoditas, para petani di Vietnam sudah mulai mengisi danau dan sawah mereka dengan cacing Palolo karena mereka dapat hidup di lumpur. Saat cacing muncul pada hari-hari tertentu dalam kalender lunar, mereka hanya mengeringkan danau mereka untuk memanen cacing.
Jika sudah dalam bentuk omelet, mungkin orang tidak akan sadar isinya. Tampilannya seperti omelet yang biasa ditemukan di restoran Padang. Tapi, bisa jadi mereka akan muntah dan mual jika tahu telur dadar bernama Cha Ruoi itu terbuat dari cacing pasir.
Cha Ruoi adalah hidangan musiman Vietnam. Menggunakan cacing laut sepanjang 5-10 cm. Yang tampilannya benar-benar tidak sedap dipandang mata. Tapi, dibalik bentuknya yang menjijikan itu, Cha Ruoi disebut-sebut sangat lezat. Bahkan rasanya dibandingkan dengan kaviar, telur ikan yang super mahal.
Setiap tahun, di akhir musim gugur, hidangan Cha Ruoi disajikan di warung-warung jajanan di Vietnam utara, khususnya di Hanoi.
Cara memasaknya, tidak berbeda dengan membuat telur dadar di Indonesia. Antara lain telur kocok, kulit jeruk keprok, bawang bombay, adas manis dan rempah-rempah, dan akhirnya ditambahkan cacing laut sepanjang 5-10 cm.
Hasilnya adalah telur dadar yang tampak biasa, tapi begitu digigit terasa berdaging dan sedikit amis.
Ada juga yang menyajikan cacing Palolo digoreng dan dimakan dengan roti panggang. Ada yang dipanggang menjadi roti, bahkan dimakan hidup-hidup. Ya, hidup-hidup.
Sebelum ditambahkan ke telur dadar Cha Ruoi, cacing pasir harus direbus untuk menghilangkan tentakel dan bau amisnya. Juga dengan kulit jeruk keprok yang segar.
Cacing pasir “palolo”
Cacing pasir “palolo” yang dipakai untuk Cha Ruoi mudah sekali ditemukan di sepanjang pantai di banyak negara yang berbatasan dengan Samudra Pasifik, termasuk Cina, Jepang, Indonesia, atau Samoa.
Mengapa cacing pasir “palolo” dikonsumsi hanya satu atau dua bulan dalam setahun? Nah, itu ada hubungannya dengan kebiasaan kawin hewan laut tersebut.
Cacing palolo identik dengan dua moncong, tiga antena dan kepala berbentuk sekop serta tidak adanya mulut pengait. Cacing ini hidup di bebatuan karang.
Selama masa perkembangbiakan, ekor khusus cacing ini pecah dan muncul ke permukaan air laut lalu melepaskan telur atau sperma berupa cairan kental.
BACA JUGA: Perusahaan Ini Jual Beli Wajah Manusia, Mau Wajah Anda Dibeli Seharga Rp5,5 Juta?
Secara teknis, hanya sebagian cacing palolo yang dipanen untuk dikonsumsi. Cacing pasir Palolo berkembang biak secara epitoky, suatu proses di mana cacing mulai menumbuhkan segmen khusus dari belakang, yang terus meningkat hingga cacing dapat dengan jelas dibagi menjadi dua bagian.
Bagian belakang ini berisi telur dan sperma, dan ketika waktunya untuk kawin (biasanya selama bulan kesembilan dan kesepuluh dari kalender lunar), mereka naik ke permukaan, membentuk massa yang besar dan merayap.
Tapi, karena sudah menjadi komoditas, para petani di Vietnam sudah mulai mengisi danau dan sawah mereka dengan cacing Palolo karena mereka dapat hidup di lumpur. Saat cacing muncul pada hari-hari tertentu dalam kalender lunar, mereka hanya mengeringkan danau mereka untuk memanen cacing.
(dan)