Lestarikan Warisan Budaya, Aksara Pegon Siap Digitalisasi
loading...
A
A
A
GRESIK - Menyusul beberapa aksara nusantara, Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) segera melakukan digitalisasi aksara Pegon sehingga tidak punah digilas oleh perkembangan dunia digital selama ini. (Baca Juga: Hai Kalangan Menengah Atas! Ayo Belanja, Biar Ekonomi Pulih Tahun Depan )
Aksara Pegon adalah huruf Arab namun menggunakan kaidah-kaidah tertentu untuk menuliskan bahasa selain Arab. Selama ini aksara Pegon digunakan dalam penulisan naskah-naskah kuna di kalangan pesantren dalam bahasa Jawa. Bahkan penggunaan aksara Pegon juga tersebar di berbagai daerah di nusantara hingga semenanjung Melayu. (Baca Juga: Catat Ya! Pemulihan Ekspor Jadi Kabar Baik, Tapi Konsumsi Belum Pulih )
Gagasan ini tercetus dalam sebuah pertemuan antara Tim PANDI dan pengasuh Pondok Pesantren Al Ikhlash, Mulyorejo, Dalegan, Kec Panceng, Kab. Gresik, Jawa Timur, Sabtu lalu (21/11/).
Hadir dalam pertemuan itu Ketua PANDI Prof. Yudho Giri Sucahyo, Heru Nugroho, dan dua staf PANDI yaitu Chika Hayuningtyas dan Alicia Nabilla Wardhani. Sementara pihak Pondok Pesantren diwakili oleh ketuanya, K.H. Alfin Sunhaji, M.Pd dan pegiat aksara nusantara, Diaz Nawaksara.
Prof Yudho mengatakan, bahwa gagasan ini merupakan bagian dari program “Merajut Indonesia melalui Digitalisasi Aksara Nusantara” yang selama ini sudah dijalankan dengan melakukan digitalisasi aksara Jawa, Bali, Sunda, Rejang, Batak, dan Bugis. PANDI melakukan hal ini untuk melestarikan bahasa-bahasa daerah karena ingin memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia sebagai wujud nasionalisme yang dituangkan dalam bentuk upaya digitalisasi aksara nusantara warisan leluhur agar generasi muda dapat mengenal dan memahami aksara-aksara asli daerah terdahulu yang kini kian terkikis zaman.
Digitalisasi ini nantinya akan memudahkan proses pembinaan dan pengembangan aksara Pegon karena bisa diakses dan tersedia di perangkat mobile dan merupakan bentuk pelestarian budaya lokal agar bisa tetap hidup dan mengikuti zaman.
Menurut Yudho, Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan budaya yang sangat luar biasa. Lebih dari 700 (tujuh ratus) bahasa daerah yang tersebar di seluruh pelosok negeri, yang masing-masing memiliki aksaranya sendiri. Digitalisasi akan terus digerakkan oleh PANDI bersama dengan komunitas terkait agar semakin banyak masyarakat yang menggunakan aksara leluhurnya, dengan begitu aksara daerah akan terus lestari. Digitalisasi aksara nusantara diyakini sebagai kunci untuk tetap menghidupkan warisan nenek moyang.
Gagasan digitalisasi ini memang sengaja dimulai dari bawah agar memunculkan semangat memiliki dari komunitas pendukung aksara yang bersangkutan. Karena itu niat baik dari Pondok Pesantren Al Ikhlas yang berlokasi persis di pantai utara Kabupaten Gresik ini disambut dengan baik oleh Tim PANDI.
Pesantren yang baru dibangun tahun 2007 ini bukan merupakan pesantren warisan melainkan pertama kali didirikan oleh K.H. Alfin Sunhaji (52 tahun) yang merupakan warga asli desa Mukyorejo, Dalegan. KH. Alfin selain memimpin pondok pesantren juga dikenal sebagai Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Cabang Gresik, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) desa Dalegan dan juga memimpin Orkes Melayu. Kompleks pesantren tanpa dinding pembatas ini menyatu dengan rumah-rumah warga di desa pantai ini.
“Ibarat gayung bersambut, kami mendukung penuh gagasan ini (digitalisasi aksara) karena bisa melestarikan budaya pesantren di era digitalisasi, yang penting arahnya kemana (positif) kita mengikuti, yang penting jangan kemana-mana,” ucap K,H Alfin Sunhaji.
Makna lafal Pegon itu sendiri berasal dari lafal Jawa pego, yang berarti menyimpang, karena memang menyimpang dari literatur Arab dan Jawa. Karena itu dalam perbincangan soal gagasan tersebut mengemuka persoalan bahwa aksara Pegon ternyata belum ada standarisasi diantara para penggunanya.
Ada sejumlah perbedaan antara pengguna di komunitas tertentu dengan pengguna di komunitas lainnya dalam menerapkan aksara Pegon sesuai dengan yang dimaksudkannya. Namun dalam satu komunitas yang sama mereka sama-sama memahami aspek keterbacaan aksara Pegon yang digunakannya karena yang penting mereka dapat memahami apa yang dimaksudkan dalam bacaan beraksara Pegon tersebut.
Karena itu dalam program digitalisasi ini tidak akan dilakukan penyeragaman kaidah penggunaan aksara Pegon melainkan mengakomodasi sejumlah versi sebagaimana yang sudah lazim digunakan oleh komunitas yang berbeda.
Aksara Pegon adalah huruf Arab namun menggunakan kaidah-kaidah tertentu untuk menuliskan bahasa selain Arab. Selama ini aksara Pegon digunakan dalam penulisan naskah-naskah kuna di kalangan pesantren dalam bahasa Jawa. Bahkan penggunaan aksara Pegon juga tersebar di berbagai daerah di nusantara hingga semenanjung Melayu. (Baca Juga: Catat Ya! Pemulihan Ekspor Jadi Kabar Baik, Tapi Konsumsi Belum Pulih )
Gagasan ini tercetus dalam sebuah pertemuan antara Tim PANDI dan pengasuh Pondok Pesantren Al Ikhlash, Mulyorejo, Dalegan, Kec Panceng, Kab. Gresik, Jawa Timur, Sabtu lalu (21/11/).
Hadir dalam pertemuan itu Ketua PANDI Prof. Yudho Giri Sucahyo, Heru Nugroho, dan dua staf PANDI yaitu Chika Hayuningtyas dan Alicia Nabilla Wardhani. Sementara pihak Pondok Pesantren diwakili oleh ketuanya, K.H. Alfin Sunhaji, M.Pd dan pegiat aksara nusantara, Diaz Nawaksara.
Prof Yudho mengatakan, bahwa gagasan ini merupakan bagian dari program “Merajut Indonesia melalui Digitalisasi Aksara Nusantara” yang selama ini sudah dijalankan dengan melakukan digitalisasi aksara Jawa, Bali, Sunda, Rejang, Batak, dan Bugis. PANDI melakukan hal ini untuk melestarikan bahasa-bahasa daerah karena ingin memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia sebagai wujud nasionalisme yang dituangkan dalam bentuk upaya digitalisasi aksara nusantara warisan leluhur agar generasi muda dapat mengenal dan memahami aksara-aksara asli daerah terdahulu yang kini kian terkikis zaman.
Digitalisasi ini nantinya akan memudahkan proses pembinaan dan pengembangan aksara Pegon karena bisa diakses dan tersedia di perangkat mobile dan merupakan bentuk pelestarian budaya lokal agar bisa tetap hidup dan mengikuti zaman.
Menurut Yudho, Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan budaya yang sangat luar biasa. Lebih dari 700 (tujuh ratus) bahasa daerah yang tersebar di seluruh pelosok negeri, yang masing-masing memiliki aksaranya sendiri. Digitalisasi akan terus digerakkan oleh PANDI bersama dengan komunitas terkait agar semakin banyak masyarakat yang menggunakan aksara leluhurnya, dengan begitu aksara daerah akan terus lestari. Digitalisasi aksara nusantara diyakini sebagai kunci untuk tetap menghidupkan warisan nenek moyang.
Gagasan digitalisasi ini memang sengaja dimulai dari bawah agar memunculkan semangat memiliki dari komunitas pendukung aksara yang bersangkutan. Karena itu niat baik dari Pondok Pesantren Al Ikhlas yang berlokasi persis di pantai utara Kabupaten Gresik ini disambut dengan baik oleh Tim PANDI.
Pesantren yang baru dibangun tahun 2007 ini bukan merupakan pesantren warisan melainkan pertama kali didirikan oleh K.H. Alfin Sunhaji (52 tahun) yang merupakan warga asli desa Mukyorejo, Dalegan. KH. Alfin selain memimpin pondok pesantren juga dikenal sebagai Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Cabang Gresik, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) desa Dalegan dan juga memimpin Orkes Melayu. Kompleks pesantren tanpa dinding pembatas ini menyatu dengan rumah-rumah warga di desa pantai ini.
“Ibarat gayung bersambut, kami mendukung penuh gagasan ini (digitalisasi aksara) karena bisa melestarikan budaya pesantren di era digitalisasi, yang penting arahnya kemana (positif) kita mengikuti, yang penting jangan kemana-mana,” ucap K,H Alfin Sunhaji.
Makna lafal Pegon itu sendiri berasal dari lafal Jawa pego, yang berarti menyimpang, karena memang menyimpang dari literatur Arab dan Jawa. Karena itu dalam perbincangan soal gagasan tersebut mengemuka persoalan bahwa aksara Pegon ternyata belum ada standarisasi diantara para penggunanya.
Ada sejumlah perbedaan antara pengguna di komunitas tertentu dengan pengguna di komunitas lainnya dalam menerapkan aksara Pegon sesuai dengan yang dimaksudkannya. Namun dalam satu komunitas yang sama mereka sama-sama memahami aspek keterbacaan aksara Pegon yang digunakannya karena yang penting mereka dapat memahami apa yang dimaksudkan dalam bacaan beraksara Pegon tersebut.
Karena itu dalam program digitalisasi ini tidak akan dilakukan penyeragaman kaidah penggunaan aksara Pegon melainkan mengakomodasi sejumlah versi sebagaimana yang sudah lazim digunakan oleh komunitas yang berbeda.
(wbs)