Ternyata Pasar Ponsel Pintar di Indonesia Kebal Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 berdampak pada semua industri; tidak hanya industri kesehatan, tetapi juga teknologi. Selama tujuh bulan terakhir, pasar smartphone di Asia Tenggara turun hingga 20%. Hal tersebut terungkap dalam penelitian terbaru dari perusahaan riset GfK.
Padahal, sebelumnya sektor ponsel cerdas di Asia Pasifik termasuk yang paling bergairah di seluruh dunia. Ini karena banyaknya penduduk di usia muda, banyaknya pilihan merek ponsel yang membanjiri pasar, karakter warga Asia yang memang sangat tertarik dengan teknologi, bahkan banyak yang baru beralih ke ponsel pintar. (Baca: Berikut Sebaran Penambahan Kasus Corona di 34 Provinsi)
Sayangnya, pandemi Covid-19 tetap bisa membuat gairah pasar Asia Tenggara teredam. Pasar yang selama bertahun-tahun secara konsisten terkerek, kini harus terhempas dan tumbang.
Pada Januari–Juli 2020, nilai pasar smartphone menyusut hingga 20% di angka USD119 miliar. Angka itu USD30 miliar lebih rendah dari periode yang sama pada 2019 silam. Padahal, seandainya tidak ada pandemi, bukan tidak mungkin pada 2020 nilai pasar smartphone di Asia Pasifik akan melampaui USD150 miliar.
Secara keseluruhan, konsumen Asia Pasifik membeli sekitar 329 juta unit ponsel cerdas. Angka ini turun 97 juta unit dibanding pada 2019. Dari hasil riset Point of Sales smartphone di Asia Pasifik, GfK mencatat bahwa Taiwan adalah satu-satunya pasar yang masih menghasilkan pertumbuhan marjinal (1%).
Sementara penjualan ponsel di 15 negara di Asia Pasifik lainnya jeblok yang terlihat dari penurun nilai pasar. Penurunannya pun variatif. Mulai Thailand yang turun 7% hingga India dan Singapura terparah dengan penurunan mencapai 42%.
Sebagai pasar pertama yang terdampak pandemi, di luar dugaan ternyata pasar smartphone di China berhasil pulih lebih cepat dibanding pasar utama lainnya di kawasan Asia. Nilai penjualan keseluruhannya pada Januari–Juli mencatat dampak paling kecil, yaitu -15% dibandingkan Korea Selatan (-17%), dan Jepang (-33%) dan India (-42%). (Baca juga: Sunan Giri Pendakwah Pertama di Bumi Kalimantan)
Alexander Dehmel, Market Insights Lead APAC GfK mengatakan, pasar smartphone di Asia Pasifik terpukul paling parah pada kuartal kedua, terutama ketika banyak negara melakukan lockdown. Ternyata memang lockdown memiliki dampak sangat besar terhadap perputaran ekonomi, terutama keinginan konsumen untuk membeli ponsel baru.
”Kami melihat saat itu ada tren baru yang muncul, yakni perubahan belanja konsumen untuk membeli produk-produk yang berkaitan dengan rumah. Misalnya untuk bekerja, memasak, atau hiburan di rumah. Justru malah semakin menjauh dari gadget yang berhubungan dengan mobilitas, misalnya smartphone atau perangkat wearable, dapat dikenakan, lainnya,” beber Alexander.
Catatan lain dari GfK adalah beralihnya minat konsumen untuk memilih ponsel 5G, khususnya di negara-negara yang sudah menyediakan jaringan tersebut, seperti China dan Korea. Menurut GfK, volume ponsel 5G mengalami penetrasi setiap bulannya, bahkan sudah mencapai 51% dan 40% di China dan Korea Selatan pada Juli.
Pasar lain di Asia Pasifik yang mencatat penyerapan ponsel 5G kokoh adalah Hong Kong. Satu dari setiap empat (29%) smartphone yang terjual pada Juli telah mendukung 5G.
Catatan penting GfK lainnya adalah perubahan pengeluaran konsumen untuk smartphone. Selama tujuh bulan terakhir, ada peningkatan popularitas model dari segmen entry dan low hingga mid-range yang menawarkan fitur bernilai lebih dengan harga terjangkau.
Di negara-negara berkembang di Asia Pasifik, ponsel entry level dengan banderol USD100–USD200 tetap menjadi penyumbang pasar terbesar (mencapai 56%). Adapun di negara maju, minat konsumen terbesar yang sebelumnya ada di kelas flagship (di atas USD800) kini turun menjadi USD400–USD600.
Alexander Dehmel memprediksi, pasar smartphone di Asia Pasifik perlahan akan mulai pulih dan terus meningkat pada akhir hingga awal 2021. ”Tapi dengan asumsi situasi Covid-19 membaik dan tetap terkendali di pasar lokal,” katanya. (Baca juga: Perdamaian Israel-Bahrain Tak Bantu Palestina)
Jika itu terjadi, seharusnya pasar ponsel pintar sudah bisa tumbuh lagi pada paruh kedua 2021. Didorong perangkat 5G yang diluncurkan lebih masif dengan harga yang juga lebih terjangkau.
Pasar Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Ternyata pasar smartphone di Indonesia termasuk kebal dengan Covid-19. Secara keseluruhan, selama tujuh bulan terakhir penurunan pasar smartphone hanya 4%. Angka itu terbilang sangat rendah dibandingkan banyak negara tetangga. Mengapa?
Pengamat teknologi Lucky Sebastian mengatakan, penurunan penjualan pasar secara offline sangat wajar. Sebab, saat awal Covid-19 diumumkan dan PSBB diberlakukan di banyak wilayah, banyak pula outlet penjual ponsel offline yang tutup, misalnya di mal atau toko ritel independen. ”Padahal pasar offline tetap menyumbang penjualan signifikan di Indonesia,” ungkapnya.
Untungnya, Lucky menyebut bahwa penjualan smartphone secara online sudah terbilang mapan. Sudah semakin banyak konsumen yang terbiasa membeli ponsel secara daring. ”Jadi sangat membantu mengatasi hal tersebut,” katanya. (Baca juga: Kenali Gejala Kanker Payudara Sejak Dini)
Selain itu, adopsi school and work from home yang mulai populer selama pandemi ikut mendongkrak permintaan ponsel dan tablet. “Permintaan yang tinggi ini menyasar smartphone mid-range dan enry-level, di mana kita lihat banyak brand fokus di segmen ini saat pandemi,” ujar Lucky.
Dia mencontohkan, keluarga dengan tiga anak yang sebelumnya mungkin sudah cukup dengan satu komputer, harus membeli tiga smartphone karena ketiga anak harus online bersamaan. ”Ini jadi lonjakan permintaan tinggi di pasar smartphone. Bahkan, keluarga yang mungkin menetapkan anaknya harus berumur tertentu baru boleh memiliki smartphone, sekarang karena sistem pembelajaran baru, harus memberikan smartphone untuk usia yang masih muda sekalipun,” ungkapnya. (Lihat videonya: DKI Jakarta Kembali Berlakukan PSBB Jilid II Mulai Hari Ini)
Dengan kemudahan berbelanja online, banyaknya pilihan ponsel canggih dengan harga terjangkau serta kebutuhan online untuk pembelajaran membuat penurunan penjualan ponsel di Indonesia tidak terlalu parah. (Danang Arradian)
Padahal, sebelumnya sektor ponsel cerdas di Asia Pasifik termasuk yang paling bergairah di seluruh dunia. Ini karena banyaknya penduduk di usia muda, banyaknya pilihan merek ponsel yang membanjiri pasar, karakter warga Asia yang memang sangat tertarik dengan teknologi, bahkan banyak yang baru beralih ke ponsel pintar. (Baca: Berikut Sebaran Penambahan Kasus Corona di 34 Provinsi)
Sayangnya, pandemi Covid-19 tetap bisa membuat gairah pasar Asia Tenggara teredam. Pasar yang selama bertahun-tahun secara konsisten terkerek, kini harus terhempas dan tumbang.
Pada Januari–Juli 2020, nilai pasar smartphone menyusut hingga 20% di angka USD119 miliar. Angka itu USD30 miliar lebih rendah dari periode yang sama pada 2019 silam. Padahal, seandainya tidak ada pandemi, bukan tidak mungkin pada 2020 nilai pasar smartphone di Asia Pasifik akan melampaui USD150 miliar.
Secara keseluruhan, konsumen Asia Pasifik membeli sekitar 329 juta unit ponsel cerdas. Angka ini turun 97 juta unit dibanding pada 2019. Dari hasil riset Point of Sales smartphone di Asia Pasifik, GfK mencatat bahwa Taiwan adalah satu-satunya pasar yang masih menghasilkan pertumbuhan marjinal (1%).
Sementara penjualan ponsel di 15 negara di Asia Pasifik lainnya jeblok yang terlihat dari penurun nilai pasar. Penurunannya pun variatif. Mulai Thailand yang turun 7% hingga India dan Singapura terparah dengan penurunan mencapai 42%.
Sebagai pasar pertama yang terdampak pandemi, di luar dugaan ternyata pasar smartphone di China berhasil pulih lebih cepat dibanding pasar utama lainnya di kawasan Asia. Nilai penjualan keseluruhannya pada Januari–Juli mencatat dampak paling kecil, yaitu -15% dibandingkan Korea Selatan (-17%), dan Jepang (-33%) dan India (-42%). (Baca juga: Sunan Giri Pendakwah Pertama di Bumi Kalimantan)
Alexander Dehmel, Market Insights Lead APAC GfK mengatakan, pasar smartphone di Asia Pasifik terpukul paling parah pada kuartal kedua, terutama ketika banyak negara melakukan lockdown. Ternyata memang lockdown memiliki dampak sangat besar terhadap perputaran ekonomi, terutama keinginan konsumen untuk membeli ponsel baru.
”Kami melihat saat itu ada tren baru yang muncul, yakni perubahan belanja konsumen untuk membeli produk-produk yang berkaitan dengan rumah. Misalnya untuk bekerja, memasak, atau hiburan di rumah. Justru malah semakin menjauh dari gadget yang berhubungan dengan mobilitas, misalnya smartphone atau perangkat wearable, dapat dikenakan, lainnya,” beber Alexander.
Catatan lain dari GfK adalah beralihnya minat konsumen untuk memilih ponsel 5G, khususnya di negara-negara yang sudah menyediakan jaringan tersebut, seperti China dan Korea. Menurut GfK, volume ponsel 5G mengalami penetrasi setiap bulannya, bahkan sudah mencapai 51% dan 40% di China dan Korea Selatan pada Juli.
Pasar lain di Asia Pasifik yang mencatat penyerapan ponsel 5G kokoh adalah Hong Kong. Satu dari setiap empat (29%) smartphone yang terjual pada Juli telah mendukung 5G.
Catatan penting GfK lainnya adalah perubahan pengeluaran konsumen untuk smartphone. Selama tujuh bulan terakhir, ada peningkatan popularitas model dari segmen entry dan low hingga mid-range yang menawarkan fitur bernilai lebih dengan harga terjangkau.
Di negara-negara berkembang di Asia Pasifik, ponsel entry level dengan banderol USD100–USD200 tetap menjadi penyumbang pasar terbesar (mencapai 56%). Adapun di negara maju, minat konsumen terbesar yang sebelumnya ada di kelas flagship (di atas USD800) kini turun menjadi USD400–USD600.
Alexander Dehmel memprediksi, pasar smartphone di Asia Pasifik perlahan akan mulai pulih dan terus meningkat pada akhir hingga awal 2021. ”Tapi dengan asumsi situasi Covid-19 membaik dan tetap terkendali di pasar lokal,” katanya. (Baca juga: Perdamaian Israel-Bahrain Tak Bantu Palestina)
Jika itu terjadi, seharusnya pasar ponsel pintar sudah bisa tumbuh lagi pada paruh kedua 2021. Didorong perangkat 5G yang diluncurkan lebih masif dengan harga yang juga lebih terjangkau.
Pasar Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Ternyata pasar smartphone di Indonesia termasuk kebal dengan Covid-19. Secara keseluruhan, selama tujuh bulan terakhir penurunan pasar smartphone hanya 4%. Angka itu terbilang sangat rendah dibandingkan banyak negara tetangga. Mengapa?
Pengamat teknologi Lucky Sebastian mengatakan, penurunan penjualan pasar secara offline sangat wajar. Sebab, saat awal Covid-19 diumumkan dan PSBB diberlakukan di banyak wilayah, banyak pula outlet penjual ponsel offline yang tutup, misalnya di mal atau toko ritel independen. ”Padahal pasar offline tetap menyumbang penjualan signifikan di Indonesia,” ungkapnya.
Untungnya, Lucky menyebut bahwa penjualan smartphone secara online sudah terbilang mapan. Sudah semakin banyak konsumen yang terbiasa membeli ponsel secara daring. ”Jadi sangat membantu mengatasi hal tersebut,” katanya. (Baca juga: Kenali Gejala Kanker Payudara Sejak Dini)
Selain itu, adopsi school and work from home yang mulai populer selama pandemi ikut mendongkrak permintaan ponsel dan tablet. “Permintaan yang tinggi ini menyasar smartphone mid-range dan enry-level, di mana kita lihat banyak brand fokus di segmen ini saat pandemi,” ujar Lucky.
Dia mencontohkan, keluarga dengan tiga anak yang sebelumnya mungkin sudah cukup dengan satu komputer, harus membeli tiga smartphone karena ketiga anak harus online bersamaan. ”Ini jadi lonjakan permintaan tinggi di pasar smartphone. Bahkan, keluarga yang mungkin menetapkan anaknya harus berumur tertentu baru boleh memiliki smartphone, sekarang karena sistem pembelajaran baru, harus memberikan smartphone untuk usia yang masih muda sekalipun,” ungkapnya. (Lihat videonya: DKI Jakarta Kembali Berlakukan PSBB Jilid II Mulai Hari Ini)
Dengan kemudahan berbelanja online, banyaknya pilihan ponsel canggih dengan harga terjangkau serta kebutuhan online untuk pembelajaran membuat penurunan penjualan ponsel di Indonesia tidak terlalu parah. (Danang Arradian)
(ysw)