Pemberontakan di Google: Puluhan Karyawan Dipecat Karena Protes Proyek Nimbus dan Dukung Palestina
loading...
A
A
A
NEW YORK - Suasana tegang menyelimuti kantor pusat Google di Manhattan ketika Zelda Montes dan dua rekannya melakukan aksi protes menentang Project Nimbus.
Project Nimbus belakangan memang ramai dibicarakan. Yakni, proyek kemitraan Google dan Amazon dengan pemerintah Israel senilai USD1,2 miliar (Rp18,8 triliun).
Aksi duduk selama 10 jam tersebut berakhir dengan pemecatan 50 karyawan, termasuk Montes.
Project Nimbus: Kontroversi dan Penolakan
Project Nimbus adalah proyek cloud computing yang menyediakan layanan ke berbagai cabang pemerintah Israel, termasuk kementerian pertahanan dan militer.
Proyek ini menuai kontroversi dan penolakan dari sejumlah karyawan Google (atau yang disebut "Googlers") yang khawatir teknologi mereka digunakan untuk mendukung kebijakan Israel terhadap Palestina.
Namun, aksi protes tersebut dihadapi dengan penindasan dari Google. Perusahaan membantah klaim aktivis bahwa teknologinya terlibat dalam kampanye brutal Israel di Gaza. Sejumlah karyawan mengaku dibungkam, dipecat, dan diancam karena menyuarakan pendapat mereka.
"Saya memiliki rekan kerja yang dapat dimaklumi khawatir untuk berbicara dan khawatir tentang konsekuensinya," kata Zelda Montes, mantan karyawan Google.
No Tech for Apartheid
Beberapa karyawan diam-diam membuat kelompok yang disebut sebagai No Tech for Apartheid. Mereka berkampanye agar perusahaan teknologi di Silicon Valley tidak lagi ambil bagian dalam kegiatan yang mereka sebut sebagai "pembersihan etnis Gaza yang sedang berlangsung dan pengeboman genosida Gaza".
Mereka juga mempertanyakan mengapa Google menerima uang dari pemerintah Israel untuk menayangkan iklan propaganda melawan UNRWA, badan PBB yang memberikan dukungan bagi pengungsi Palestina.
"Kapan pun kami menyinggung Project Nimbus di obrolan internal atau selama rapat umum, pertanyaan tersebut akan dimoderasi atau dihindari," kenang Montes.
"Kapan pun kata genosida atau apartheid muncul, moderator akan langsung menghapus komentar tanpa peringatan atau mengunci forum untuk mencegah orang terlibat lebih jauh," jelas Alex Cheung, mantan karyawan Google.
"Ketika perang di Ukraina pecah, Google mengirimkan pesan dukungan untuk orang Ukraina dan Rusia yang bekerja di perusahaan tersebut," kata Clare Ward, yang meminta nama samaran karena takut akan pembalasan dari Google.
Pemecatan dan Ancaman
Puncaknya adalah ketika bom Israel menewaskan seorang software engineer Palestina, Mai Ubeid, dan seluruh keluarganya di Gaza pada akhir Oktober 2023. Para Googler mengorganisir aksi jaga di luar kantor mereka di New York, Seattle, dan London untuk Ubeid. Namun, aksi jaga tersebut dihadapi dengan permusuhan dari Google dan rekan kerja.
Puncak dari aksi protes ini adalah ketika para pekerja, termasuk Montes, Cheung, dan Hasan, memutuskan untuk melakukan aksi duduk di kantor perusahaan di New York City dan Sunnyvale, California. Mereka menempati pintu masuk kantor perusahaan dan kantor kepala eksekutif Google Cloud, Thomas Kurian, selama 10 jam.
Perusahaan memanggil polisi dan memecat 28 pekerja di tempat dan 22 lainnya setelah penyelidikan yang melibatkan analisisrekamanCCTV.
Project Nimbus belakangan memang ramai dibicarakan. Yakni, proyek kemitraan Google dan Amazon dengan pemerintah Israel senilai USD1,2 miliar (Rp18,8 triliun).
Aksi duduk selama 10 jam tersebut berakhir dengan pemecatan 50 karyawan, termasuk Montes.
Project Nimbus: Kontroversi dan Penolakan
Project Nimbus adalah proyek cloud computing yang menyediakan layanan ke berbagai cabang pemerintah Israel, termasuk kementerian pertahanan dan militer.Proyek ini menuai kontroversi dan penolakan dari sejumlah karyawan Google (atau yang disebut "Googlers") yang khawatir teknologi mereka digunakan untuk mendukung kebijakan Israel terhadap Palestina.
Perlawanan dari Dalam
Sejak perang Israel-Hamas di Gaza pecah pada 7 Oktober 2023, seruan untuk menghentikan Project Nimbus semakin meningkat. Para karyawan Google melakukan protes fisik dan virtual, mengkhawatirkan keterlibatan perusahaan dalam apa yang mereka sebut sebagai genosida.Namun, aksi protes tersebut dihadapi dengan penindasan dari Google. Perusahaan membantah klaim aktivis bahwa teknologinya terlibat dalam kampanye brutal Israel di Gaza. Sejumlah karyawan mengaku dibungkam, dipecat, dan diancam karena menyuarakan pendapat mereka.
"Saya memiliki rekan kerja yang dapat dimaklumi khawatir untuk berbicara dan khawatir tentang konsekuensinya," kata Zelda Montes, mantan karyawan Google.
Pengalaman Para Googler
Middle East Eye mewawancarai sejumlah Googler di AS dan Eropa. Banyak yang meminta anonimitas karena takut kehilangan pekerjaan. Mereka menceritakan bagaimana mereka mengorganisir diri dan bagaimana Google mencoba menghentikan aktivisme mereka dengan sensor, pemecatan, dan ancaman.No Tech for Apartheid
Beberapa karyawan diam-diam membuat kelompok yang disebut sebagai No Tech for Apartheid. Mereka berkampanye agar perusahaan teknologi di Silicon Valley tidak lagi ambil bagian dalam kegiatan yang mereka sebut sebagai "pembersihan etnis Gaza yang sedang berlangsung dan pengeboman genosida Gaza".Mengabaikan Kekhawatiran
Montes dan rekan-rekannya menyampaikan pertanyaan dan keprihatinan tentang apakah Israel menggunakan pekerjaan mereka untuk melancarkan perang di Gaza.Mereka juga mempertanyakan mengapa Google menerima uang dari pemerintah Israel untuk menayangkan iklan propaganda melawan UNRWA, badan PBB yang memberikan dukungan bagi pengungsi Palestina.
"Kapan pun kami menyinggung Project Nimbus di obrolan internal atau selama rapat umum, pertanyaan tersebut akan dimoderasi atau dihindari," kenang Montes.
Sensor dan Intimidasi
Para Googler yang aktif menyuarakan pendapat mereka mengaku mengalami sensor internal dan intimidasi dari rekan kerja yang pro-Israel."Kapan pun kata genosida atau apartheid muncul, moderator akan langsung menghapus komentar tanpa peringatan atau mengunci forum untuk mencegah orang terlibat lebih jauh," jelas Alex Cheung, mantan karyawan Google.
Kontras dengan Dukungan untuk Ukraina
Para Googler mencatat bahwa reaksi perusahaan terhadap aktivisme mereka sangat berbeda dengan tanggapannya terhadap perang di Ukraina."Ketika perang di Ukraina pecah, Google mengirimkan pesan dukungan untuk orang Ukraina dan Rusia yang bekerja di perusahaan tersebut," kata Clare Ward, yang meminta nama samaran karena takut akan pembalasan dari Google.
Aktivisme di Luar Jaringan
Karena sensor yang dilakukan secara virtual, para Googler mulai memindahkan aktivisme mereka ke dunia nyata dengan melakukan aksi tabling dan mencoba mengorganisir acara dan pemutaran film untuk mendidik rekan-rekan mereka tentang Palestina. Namun, manajemen Google menutup acara-acara tersebut dengan alasan keamanan.Pemecatan dan Ancaman
Puncaknya adalah ketika bom Israel menewaskan seorang software engineer Palestina, Mai Ubeid, dan seluruh keluarganya di Gaza pada akhir Oktober 2023. Para Googler mengorganisir aksi jaga di luar kantor mereka di New York, Seattle, dan London untuk Ubeid. Namun, aksi jaga tersebut dihadapi dengan permusuhan dari Google dan rekan kerja.Puncak dari aksi protes ini adalah ketika para pekerja, termasuk Montes, Cheung, dan Hasan, memutuskan untuk melakukan aksi duduk di kantor perusahaan di New York City dan Sunnyvale, California. Mereka menempati pintu masuk kantor perusahaan dan kantor kepala eksekutif Google Cloud, Thomas Kurian, selama 10 jam.
Perusahaan memanggil polisi dan memecat 28 pekerja di tempat dan 22 lainnya setelah penyelidikan yang melibatkan analisisrekamanCCTV.
(dan)