Serang Lebanon dan Palestina, Israel Pakai Taktik Ganggu Sinyal GPS
loading...
A
A
A
JERUSALEM - Jerusalem Militer Israel dilaporkan mengganggu sinyal GPS di wilayah metropolitan Tel Aviv selama sekitar satu jam. Hal ini menyebabkan gangguan pada layanan yang mengandalkan GPS
Sopir Uber Hussein Khalil menghadapi kemacetan lalu lintas di Beirut ketika peta online menunjukkan lokasinya di Jalur Gaza.
“Permasalahan ini sering kita hadapi selama lima bulan terakhir hingga mengganggu aktivitas sehari-hari dan mempengaruhi pendapatan,” ujarnya.
Pengguna aplikasi peta di Lebanon mengaku resah dengan 'kebingungan' akibat data lokasi masing-masing yang diyakini diatur oleh Israel setelah perang lintas batas meningkat.
Maret lalu, Beirut menyampaikan keluhan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas 'serangan' Tel Aviv terhadap kedaulatan negara berupa gangguan transmisi sinyal di sekitar wilayah udara bandara ibu kota.
Khalil juga menunjukkan tangkapan layar aplikasi yang menunjukkan lokasinya di kota Rafah di Gaza yang berjarak sekitar 300 kilometer dan di Lebanon timur dekat perbatasan Suriah padahal posisi sebenarnya di Beirut.
“Ada seorang penumpang yang pernah menelepon saya karena bingung dengan lokasi saya yang tertulis di aplikasi. Saya harus menjelaskan kepadanya bahwa saya hanya berada di sekitar ibu kota dan bukan di Baalbek yang terletak di timur Lebanon,” tambahnya.
Beberapa orang lain juga mengklaim bahwa peta online mereka menunjukkan lokasi mereka di Bandara Beirut meskipun berada di tempat lain.
Sejak perang genosida di Gaza meletus, Israel sengaja meluncurkan jammer terhadap fungsi Global Positioning System (GPS) untuk menyasar pergerakan Hamas dan sekutunya.
Angkatan Pertahanan Israel (IDF) memaafkan gangguan GPS proaktif dengan alasan untuk keperluan berbagai operasi.
Sebuah situs web yang mengumpulkan data interferensi sinyal geolokasi berdasarkan informasi pesawat, gpsjam.org melaporkan tingkat interferensi yang tinggi di Lebanon dan sebagian Suriah, Yordania, dan Israel pada 28 Juni.
Gangguan serupa juga terdeteksi di Siprus yang terletak sekitar 200 kilometer dari Lebanon.
“Israel menggunakan taktik spoofing ini untuk mengganggu komunikasi para pejuang Hizbullah yang berbasis di Beirut. Mereka juga mengirimkan sinyal GPS palsu untuk mempengaruhi kemampuan rudal mencapai sasaran,” kata analis keamanan global untuk Asia Barat di perusahaan intelijen risiko RANE, Freddy Khoueiry.
Menurutnya, gerakan yang didukung Iran ini memiliki persediaan senjata dalam jumlah besar yang dilengkapi GPS.
Serangan lintas batas Beirut-Tel Aviv yang sedang berlangsung telah merenggut lebih dari 490 nyawa di Lebanon sementara 26 orang tewas di Israel utara.
Saat ini, kekhawatiran semakin besar jika terjadi konflik yang lebih luas antara dua musuh yang terakhir bertempur pada tahun 2006 tersebut.
Kepala penerbangan sipil Lebanon, Fadi el-Hassan, mengatakan mereka telah meminta pilot yang terbang masuk atau keluar Beirut untuk mengandalkan navigasi darat.
Dapat dipahami bahwa navigasi darat biasanya digunakan sebagai sistem cadangan.
“Di era teknologi canggih ini, pilot tidak bisa menggunakan GPS karena jammer yang diluncurkan musuh. Lebanon selalu memastikan pemeliharaan peralatan sistem cadangan untuk menjamin pendaratan yang aman,” ujarnya.
Pilotnya, Avedis Seropian mengatakan, GPS sudah tidak digunakan lagi selama beberapa bulan terakhir.
“Kami sudah terbiasa dengan situasi ini dan tidak lagi bergantung pada GPS. Kami kembali ke cara lama menggunakan kompas dan mencetak peta,” jelasnya.
Ia menambahkan, ketiadaan GPS bahkan sebagai sistem cadangan sebenarnya cukup membingungkan.
“Anda bisa tiba-tiba panik ketika ada kesalahan pada data geolokasi atau visibilitas yang buruk. Beresiko menimbulkan 'bencana' atau kecelakaan,” imbuhnya.
Sopir Uber Hussein Khalil menghadapi kemacetan lalu lintas di Beirut ketika peta online menunjukkan lokasinya di Jalur Gaza.
“Permasalahan ini sering kita hadapi selama lima bulan terakhir hingga mengganggu aktivitas sehari-hari dan mempengaruhi pendapatan,” ujarnya.
Pengguna aplikasi peta di Lebanon mengaku resah dengan 'kebingungan' akibat data lokasi masing-masing yang diyakini diatur oleh Israel setelah perang lintas batas meningkat.
Maret lalu, Beirut menyampaikan keluhan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas 'serangan' Tel Aviv terhadap kedaulatan negara berupa gangguan transmisi sinyal di sekitar wilayah udara bandara ibu kota.
Khalil juga menunjukkan tangkapan layar aplikasi yang menunjukkan lokasinya di kota Rafah di Gaza yang berjarak sekitar 300 kilometer dan di Lebanon timur dekat perbatasan Suriah padahal posisi sebenarnya di Beirut.
“Ada seorang penumpang yang pernah menelepon saya karena bingung dengan lokasi saya yang tertulis di aplikasi. Saya harus menjelaskan kepadanya bahwa saya hanya berada di sekitar ibu kota dan bukan di Baalbek yang terletak di timur Lebanon,” tambahnya.
Beberapa orang lain juga mengklaim bahwa peta online mereka menunjukkan lokasi mereka di Bandara Beirut meskipun berada di tempat lain.
Sejak perang genosida di Gaza meletus, Israel sengaja meluncurkan jammer terhadap fungsi Global Positioning System (GPS) untuk menyasar pergerakan Hamas dan sekutunya.
Angkatan Pertahanan Israel (IDF) memaafkan gangguan GPS proaktif dengan alasan untuk keperluan berbagai operasi.
Sebuah situs web yang mengumpulkan data interferensi sinyal geolokasi berdasarkan informasi pesawat, gpsjam.org melaporkan tingkat interferensi yang tinggi di Lebanon dan sebagian Suriah, Yordania, dan Israel pada 28 Juni.
Gangguan serupa juga terdeteksi di Siprus yang terletak sekitar 200 kilometer dari Lebanon.
“Israel menggunakan taktik spoofing ini untuk mengganggu komunikasi para pejuang Hizbullah yang berbasis di Beirut. Mereka juga mengirimkan sinyal GPS palsu untuk mempengaruhi kemampuan rudal mencapai sasaran,” kata analis keamanan global untuk Asia Barat di perusahaan intelijen risiko RANE, Freddy Khoueiry.
Menurutnya, gerakan yang didukung Iran ini memiliki persediaan senjata dalam jumlah besar yang dilengkapi GPS.
Serangan lintas batas Beirut-Tel Aviv yang sedang berlangsung telah merenggut lebih dari 490 nyawa di Lebanon sementara 26 orang tewas di Israel utara.
Saat ini, kekhawatiran semakin besar jika terjadi konflik yang lebih luas antara dua musuh yang terakhir bertempur pada tahun 2006 tersebut.
Kepala penerbangan sipil Lebanon, Fadi el-Hassan, mengatakan mereka telah meminta pilot yang terbang masuk atau keluar Beirut untuk mengandalkan navigasi darat.
Dapat dipahami bahwa navigasi darat biasanya digunakan sebagai sistem cadangan.
“Di era teknologi canggih ini, pilot tidak bisa menggunakan GPS karena jammer yang diluncurkan musuh. Lebanon selalu memastikan pemeliharaan peralatan sistem cadangan untuk menjamin pendaratan yang aman,” ujarnya.
Pilotnya, Avedis Seropian mengatakan, GPS sudah tidak digunakan lagi selama beberapa bulan terakhir.
“Kami sudah terbiasa dengan situasi ini dan tidak lagi bergantung pada GPS. Kami kembali ke cara lama menggunakan kompas dan mencetak peta,” jelasnya.
Ia menambahkan, ketiadaan GPS bahkan sebagai sistem cadangan sebenarnya cukup membingungkan.
“Anda bisa tiba-tiba panik ketika ada kesalahan pada data geolokasi atau visibilitas yang buruk. Beresiko menimbulkan 'bencana' atau kecelakaan,” imbuhnya.
(wbs)