Dua Cara Menata Ulang Frekuensi 1.800 MHz

Dua Cara Menata Ulang Frekuensi 1.800 MHz
A
A
A
JAKARTA - Pengamat telekomunikasi Teguh Prasetya menilai ada dua cara dalam menata ulang pita frekuensi 1.800 MHz yang saat ini tidak contiguous (berurutan).
Tujuannya agar berlangsung secara seamless dan tidak mengganggu 180 juta pelanggan 2G yang menempati frekuensi tersebut. Cara pertama, menurut Teguh, adalah memulai proses migrasi di area yang memiliki trafik kecil terlebih dahulu untuk meminimalisasi risiko (risk management dan risk assessment). Misalnya kawasan di luar pulau Jawa.
”Sehingga jika terjadi kegagalan atau anomali, proses fallback (kembali lagi) akan lebih mudah,” katanya pada Sindonews, Jumat (16/1/2015).
Kedua, selama proses migrasi ini operator harus memiliki apa yang disebut dengan frekuensi penyangga. ”Frekuensi tersebut berfungsi seperti halte bis untuk transit sebelum berpindah ke alokasi sebenarnya (tempat permanen),” ungkapnya.
Karena itu, Teguh menyebut bahwa implementasi migrasi frekuensi ini harus dilakukan terkoordinir, baik secara teknis maupun pemilihan waktunya antara operator seluler dengan regulator (pemerintah).
Apa yang terjadi jika proses migrasi tidak dilakukan secara matang?
Menurut Teguh, komunikasi pelanggan 2G yang menggunakan layana suara, SMS, maupun data di pita frekuensi 1.800 MHz yang sedang dimigrasikan dapat terganggu.
”Misalnya pelanggan 2G yang sedang menelpon bisa terputus ketika sedang terhubung ke frekuensi yang sedang bermasalah tersebut,” katanya.
Total ada 180 juta pelanggan 2G di Indonesia yang masih terikat di spektrum 1.800 MHz. Antara lain Telkomsel sebanyak 90 juta pelanggan, Indosat 35 juta, XL Axiata 30, serta Tri 20 juta pelanggan.
Tujuannya agar berlangsung secara seamless dan tidak mengganggu 180 juta pelanggan 2G yang menempati frekuensi tersebut. Cara pertama, menurut Teguh, adalah memulai proses migrasi di area yang memiliki trafik kecil terlebih dahulu untuk meminimalisasi risiko (risk management dan risk assessment). Misalnya kawasan di luar pulau Jawa.
”Sehingga jika terjadi kegagalan atau anomali, proses fallback (kembali lagi) akan lebih mudah,” katanya pada Sindonews, Jumat (16/1/2015).
Kedua, selama proses migrasi ini operator harus memiliki apa yang disebut dengan frekuensi penyangga. ”Frekuensi tersebut berfungsi seperti halte bis untuk transit sebelum berpindah ke alokasi sebenarnya (tempat permanen),” ungkapnya.
Karena itu, Teguh menyebut bahwa implementasi migrasi frekuensi ini harus dilakukan terkoordinir, baik secara teknis maupun pemilihan waktunya antara operator seluler dengan regulator (pemerintah).
Apa yang terjadi jika proses migrasi tidak dilakukan secara matang?
Menurut Teguh, komunikasi pelanggan 2G yang menggunakan layana suara, SMS, maupun data di pita frekuensi 1.800 MHz yang sedang dimigrasikan dapat terganggu.
”Misalnya pelanggan 2G yang sedang menelpon bisa terputus ketika sedang terhubung ke frekuensi yang sedang bermasalah tersebut,” katanya.
Total ada 180 juta pelanggan 2G di Indonesia yang masih terikat di spektrum 1.800 MHz. Antara lain Telkomsel sebanyak 90 juta pelanggan, Indosat 35 juta, XL Axiata 30, serta Tri 20 juta pelanggan.
(dyt)