Jawa Barat Masih Banyak Penguat Signal Ilegal
A
A
A
BANDUNG - Wilayah Jawa Barat, masih banyak tercatat adanya repeater atau penguat signal illegal yang mengganggu dan merugikan industri telekomunikasi.
Bukan hanya itu, sebelumnya sudah ada frekuensi radio maupun handy talkie (HT) yang dikategorikan illegal.
Hal ini dikatakan Kepala Balai Monitoring Frekwensi Balai Monitor Kelas II Bandung Hercules Sitorus. Meskipun tidak menyebutkan angka spesifik, menurutnya, jumlah repeater maupun frekuensi illegal sangat banyak bahkan mencapai ribuan.
"Keberadaan frekuensi illegal bisa mengganggu frekuensi legal. Tidak hanya itu, tetapi juga mengganggu penerbangan yakni komunikasi pilot yang akan mendaratkan pesawatnya dengan operator bandara," katanya kepada wartawan, Kamis (18/9/2014).
Menurutnya, sudah banyak kasus gangguan seperti itu terjadi. Tidak jarang timnya harus turun tangan langsung membantu agar pilot bisa berkomunikasi dengan bandara saat akan mendarat. Meskipun pada akhirnya bisa melakukan komunikasi.
"Kami langsung turun tangan saat bandara melapor dan meminta bantuan mengatasi gangguan yang bisa setiap hari terjadi tersebut. Kami memiliki alat khusus untuk mengatasi gangguan semacam itu, jadi pada akhirnya gangguan tersebut bisa diatasi," katanya.
Dia menyebutkan, radio siaran yang terdaftar di Jawa Barat sekitar 100 dan frekwensi HT yang terdaftar jumlahnya sekitar 2000. Pengajuan ijin frekwensi setiap hari terus berdatangan. Tidak muda mendapatkan ijin sebab ada prosedur serta syarat yang harus dipenuhi.
"Pemasangan repeater (penguat sinyal) dan jammer signal (alat penghilang sinyal) saat ini sedang marak. Repeater merugikan industri telekomunikasi karena bisa mengganggu kenyamanan konsumen dalam menggunakan telepon seluler," tuturnya.
Keberadaan repeater bisa mengganggu sinyal yang dipancarkan BTS ke ponsel pelanggan. Sementara, keberadaan jammer signal biasanya digunakan untuk keperluan militer serta digunakan di lingkungan penjara.
"Belakangan, banyak yang menggunakan alat ini dengan dalih untuk kenyamanan dan ketenangan," katanya.
Padahal, jelasnya, berdasarkan undang-undang telekomunikasi, pengunaan jammer maupun repeater harus seizin Kementerian Komunikasi dan Informatika (KEMENKOMINFO).
"Hal itu sudah diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Setiap pelanggar bisa dikenakan pidana kurungan maupun denda ratusan juta rupiah, termasuk penggunaan frekwensi ilegal," pungkasnya.
Bukan hanya itu, sebelumnya sudah ada frekuensi radio maupun handy talkie (HT) yang dikategorikan illegal.
Hal ini dikatakan Kepala Balai Monitoring Frekwensi Balai Monitor Kelas II Bandung Hercules Sitorus. Meskipun tidak menyebutkan angka spesifik, menurutnya, jumlah repeater maupun frekuensi illegal sangat banyak bahkan mencapai ribuan.
"Keberadaan frekuensi illegal bisa mengganggu frekuensi legal. Tidak hanya itu, tetapi juga mengganggu penerbangan yakni komunikasi pilot yang akan mendaratkan pesawatnya dengan operator bandara," katanya kepada wartawan, Kamis (18/9/2014).
Menurutnya, sudah banyak kasus gangguan seperti itu terjadi. Tidak jarang timnya harus turun tangan langsung membantu agar pilot bisa berkomunikasi dengan bandara saat akan mendarat. Meskipun pada akhirnya bisa melakukan komunikasi.
"Kami langsung turun tangan saat bandara melapor dan meminta bantuan mengatasi gangguan yang bisa setiap hari terjadi tersebut. Kami memiliki alat khusus untuk mengatasi gangguan semacam itu, jadi pada akhirnya gangguan tersebut bisa diatasi," katanya.
Dia menyebutkan, radio siaran yang terdaftar di Jawa Barat sekitar 100 dan frekwensi HT yang terdaftar jumlahnya sekitar 2000. Pengajuan ijin frekwensi setiap hari terus berdatangan. Tidak muda mendapatkan ijin sebab ada prosedur serta syarat yang harus dipenuhi.
"Pemasangan repeater (penguat sinyal) dan jammer signal (alat penghilang sinyal) saat ini sedang marak. Repeater merugikan industri telekomunikasi karena bisa mengganggu kenyamanan konsumen dalam menggunakan telepon seluler," tuturnya.
Keberadaan repeater bisa mengganggu sinyal yang dipancarkan BTS ke ponsel pelanggan. Sementara, keberadaan jammer signal biasanya digunakan untuk keperluan militer serta digunakan di lingkungan penjara.
"Belakangan, banyak yang menggunakan alat ini dengan dalih untuk kenyamanan dan ketenangan," katanya.
Padahal, jelasnya, berdasarkan undang-undang telekomunikasi, pengunaan jammer maupun repeater harus seizin Kementerian Komunikasi dan Informatika (KEMENKOMINFO).
"Hal itu sudah diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Setiap pelanggar bisa dikenakan pidana kurungan maupun denda ratusan juta rupiah, termasuk penggunaan frekwensi ilegal," pungkasnya.
(dol)