Cegah Hoaks Pesan Terusan WA Dibatasi

Rabu, 23 Januari 2019 - 08:06 WIB
Cegah Hoaks Pesan Terusan WA Dibatasi
Cegah Hoaks Pesan Terusan WA Dibatasi
A A A
JAKARTA - Penggunaan WhatsApp (WA) kini tidak bisa semaunya mengirim pesan berantai kepada pihak lain. Mulai kemarin, platform aplikasi pesan instan tersebut membatasi pesan terusan (forward message) kepada maksimal lima pengguna lainnya.

Langkah ini dilakukan sebagai upaya mengurangi penyebaran hoaks melalui media sosial (medsos). Keputusan ini diambil penyedia platform aplikasi WA setelah berdiskusi dengan pemerintah—dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)—sejak September 2017. Langkah sama juga dilakukan dengan pemimpin tiga negara lainnya yang sama-sama memprihatinkan dampak hoaks yakni India, Meksiko, dan Brasil.

Dengan adanya pembatasan ini, konten negatif tersebut diharapkan tidak serta merta menjadi viral, bahkan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa seperti terjadi di India. Namun, sejumlah pengamat medsos pesi mistis kebijakan tersebut akan mampu membendung berita hoaks.

Walaupun mengapresiasi pembatasan forward message, menurut mereka seharusnya pemerintah memaksa WA dan penyedia aplikasi lainnya membangun pusat data (server) di Tanah Air. Karena persoalannya terkait keamanan informasi dan hukum nasional. Sebagai informasi, WA merupakan salah satu aplikasi komunikasi yang paling banyak dipasang di dunia.

Pada 2017, jumlah pengguna WhatsApp mencapai 1,5 miliar, 200 juta di antaranya berasal dari India. Tiga tahun sebelumnya, pengguna WA telah membagikan 700 juta foto, 100 juta video, dan 10 miliar pesan per hari. Pembatasan jumlah pesan terusan berlaku mulai kemarin, 22 Januari2019 Waktu Indonesia Barat.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengakui, fitur yang membatasi forward message tidak bisa menjamin 100% hoaks tidak akan tersebar. Namun, langkah ini perlu dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk mengurangi penyebaran berita hoaks sehingga tidak semakin parah.

“Tugas kita adalah mitigasi risiko. Bagaimana menekan penyebaran, membuat angkanya serendah mungkin,” jelasnya. Dia mengaku pemerintah sebenarnya tidak akan membatasi pesan terusan. Pasalnya, forward tidak terbatas juga bisa bermanfaat untuk penyebaran konten positif. “Namun, pembatasan diperlukan karena ditemu kenali platform aplikasi WhatsApp ternyata digunakan untuk menyebarkan konten hoaks dan konten negatif lainnya. Kalau berkaitan dengan konten negatif atau hoaks akan kita batasi,” tandas Rudiantara.

VP Public Policy & Communications WhatsApp Victoria Grand menyatakan aplikasi pesan instan WA di sediakan untuk melayani penggunaan one toone. “Berdasar riset dan diskusi dengan beberapa pemimpin dunia, kami menemukan angka pembatasan limaitu yang paling ideal untuk menghindari penyebaran hoaks,” ungkapnya.

Pengamat keamanan siber Pratama Persada dan pengamat telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mengapresiasi kebijakan WA tersebut. Namun, mereka pesimistis langkah tersebut efektif meredam penyebaran berita hoaks. Pratama Persada mengungkapkan, berdasarkan penelitian dari tim riset WA, pembatasan pesan terusan bisa mengurangi 10-20% upaya menyebarkan pesan yang tidak jelas sumbernya.

“Tapi ini adalah ikhtiar yang patut diapresiasi,” ungkapnya kepada KORAN SINDO kemarin. Dia memaparkan, pangkal masalah yang terjadi karena privasi WA sangat lemah. Di WA, siapa pun yang mempunyai nomor kita bisa melakukan kontak, baik teks maupun call dan video call.

Berbeda dengan BBM yang menggunakan PIN sebagai identitas dan me merlukan approval dari setiap akun. “Ini masalah serius, namun juga rumit. Karena kemudahan memakai WA dan aplikasi chat lain, harus ditebus dengan kurangnya privasi. Apalagi, WA berencana membagikan iklan di aplikasinya. Artinya ada proses keluar-masuk data yang diolah oleh WA, sehingga kita akan melihat iklan yang sesuai dengan aktivitas kita di smartphone,” jelasnya.

Di sisi lain, idealnya WA dan penyedia aplikasi lain harus membangun server di Tanah Air. “Kenapa? Karena terkait keamanan informasi dan juga hukum. Bila terjadi kasus tertentu yang ada kaitan dengan aplikasi chat maka akan mengikuti aturan hukum di Tanah Air, karena pusat datanya di dalam negeri. Ini akan memu dahkan aparat berwenang.”

Namun praktiknya, kata Pratama, saat ini malah Kominfo melonggarkan aturan dengan membolehkan para pelaku bisnis teknologi memakai layanan pusat data di luar negeri. “Sebenarnya ini akan memudahkan koordinasi dan request pemerintah untuk mengurangi hoaks, bila pusat data di dalam negeri.” Dia menekankan perlunya regulasi yang bersifat mengikat.

Seperti di Inggris dan Jerman, bila ada konten hoaks muncul dan dibiarkan oleh Facebook maka penyedia platform tersebut harus membayar denda yang cukup besar kepada pemerintah setempat. Dalam pemberantasan hoaks, Pratama menekankan bahwa pendekatan hukum dengan menangkap pelaku penyebar hoaks terbukti cukup ampuh, meski tidak bisa membuat hoaks hilang.

“Konsekuensinya, hoaks akan banyak muncul di platform tertutup seperti WhatsApp.” Selain itu, kata Pratama, pendekatan kultural juga wajib dilakukan dengan edukasi dini lewat kurikulum pendidikan. Yang mengkhawatirkan adalah generasi tua cenderung menjadi penyebar hoaks, karena teknologi adalah hal baru bagi mereka. “Di grup keluarga misalnya, bisa dilihat bagaimana banyaknya kabar hoaks yang di-forward oleh orang yang lebih tua. Kuncinya dua hal, pendekatan hukum dan diikuti dengan pendekatan kultural. Bukan pekerjaan 1-2 hari, ini pekerjaan yang setiap hari harus digeber.”

Perlu Pusat Data
Heru Sutadi menyatakan memberantas hoaks tidak sebatas dengan pem batas an pesan terusan di WA. Menurut dia, yang diperlukan adalah strategi akhir pemerintah melawan hoaks.

“Itu kan hanya untuk keperluan WhatsApp agar jaringannya tidak penuh atau membeludak akibat persebaran message yang sama. Menkominfo kan karena bukan CTO WhatsApp atau Facebook, seharusnya jangan ikut permainan atau kepentingan WhatsApp karena ada hal lebih penting,” jelasnya.

Menurut dia, hal lebih penting dilakukan pemerintah adalah memaksa WA menggunakan pusat data untuk menerima pesan, memproses dan menyebar kan konten yang berasal dari orang Indonesia atau yang diproduksi di Indonesia.

Dalam pandangannya, langkah ini lebih substantif dan bermanfaat besar bagi bangsa. “Ini untuk menjaga privasi dan perlindungan data pengguna, keamanan nasional, dengan data center di Indonesia juga memancing investasi. Dan, ini berlaku untuk semua OTT. Tekan mereka dengan membuat badan usaha tetap di Indonesia, tempatkan data center di sini dan tentu nya monitor kewajiban pajak para penyedia platform tersebut.”

Di sisi lain, untuk memberantas hoaks, menurut Heru perlu dilihat akar masalah. Pada musim kam panye saat ini misalnya, para kan didat perlu menekan kan siapa pun pen dukung untuk tidak menyebar hoaks. Literasi masyarakat perlu ditingkatkan karena banyak yang merasa mereka menulis biasa kok, tapi tidak tahu bahwa menulis tidakbolehsembarangantapiada aturannya.”

Lebih jauh dia mengungkapkan, hoaks di Indonesia bisa diatasi dengan teknologi di Kominfo, yakni alat pantau Automatic Identification System (AIS). Alat ini bisa menjejak perkembangan konten di media sosial, terutama jika ada yang hoaks yang harus segera diatasi. dia pun merekomendasikan untuk dibentuk tim menjelang pemilu untuk memantau hoaks.

“Jelang pemilu gini, bentuklah tim adhoc yang terdiri atas Kominfo, kepolisian, Bawaslu, KPU, Mastel, dan para penyedia platform media sosial dan pesan instan, bilamana ada penyebaran hoaks langsung di-suspend,” katanya.

Belajar dari India
Kebijakan pembatasan pesan terusan WA pertama kali diterapkan di India. Kasus ini muncul bermula dari adanya pesan hoaks penculikan anak lengkap dengan ciri-ciri pelakunya, yang memicu keresahan masyarakat dan berujung penghakiman paksa. Kasus penghakiman massa terhadap orang tak bersalah akibat hoaks mulai terjadi di India sejak Mei 2017.

Saat itu dua orang tewas dipukuli di wilayah Jadugora. Bahkan, dampak hoaks di India jauh lebih mem prihatinkan. Sedikitnya 46 orang tewas dan 43 orang luka-luka di tempat dan waktu yang berbeda akibat dihakimi massa. Berdasarkan penyelidikan polisi lokal, para korban tidak bersalah sebab tidak ada satu pun anak yang menjadi korban penculikan dalam tiga bulan terakhir.

Sejauh ini, hasil pembatasan message-sharing di India dalam menangkal hoaks selama enam bulan terakhir tidak diketahui. Namun, WhatsApp tampak puas dan telah menerapkannya di tataran global mulai pekan ini. WhatsApp berharap dapat menjadi platform komunikasi yang memberikan manfaat positif. “Pembatasan ini kami lakukan untuk mengurangi penyebaran pesan di seluruh dunia dan membantu menjadikan WA sebagai platform komunikasi pribadi antar orang-orang yang kita cintai,” ungkap WhatsApp dikutip cnn.com. “Kami akan terus mendengarkan masukan dari para peng guna dan mencari solusi nya.”

Pemerintah India men desak WhatsApp mengambil langkah lain yang lebih besar. Namun, WhatsApp menolak, termasuk dalam melacak pesan aslinya. Kebijakan itu juga dikeluarkan setelah tingginya protes dari sejumlah negara, termasuk Brasil, yang menuduh Whats App memfasilitasi hoaks selama pemilu pada 2018 lalu. Meski dibatasi, pengguna WA diperhitungkan masih dapat menyebarkan satu pesan hingga 1.280 orang mengingat satu kali chat dapat disebarkan ke 256 orang. (Heru Febrianto/kunthi Fahmar sandy/Muh Shamil/ Binti Mufarida)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1273 seconds (0.1#10.140)