Awal 2019, Facebook Kesandung Masalah di Vietnam
A
A
A
HANOI - Facebook kembali dituding melanggar undang-undang keamanan siber. Kali ini Facebook dianggap melanggar aturan baru Vietnam setelah mengizinkan penggunanya mengunggah komentar anti-pemerintah.
Seperti dilansir dari Reuters, menurut Kantor Berita Vietnam, Kementerian Komunikasi dan Informasi mengatakan Facebook dilaporkan tidak menanggapi melemparkan fanpage yang memicu aktivitas melawan pemerintah.
Hukum kontroversial baru mulai berlaku di negara itu kemarin.
Tahun 2018 lalu, Facebook digugat 37 negara, Badan hukum perlindungan konsumen dan jaksa yang mewakili 37 negara bagian di Amerika Serikat (AS) mendesak Facebook memberikan keterangan. Permintaan itu terkait bagaimana informasi data 50 juta penggunanya bisa berada di tangan konsultan politik asal Inggris, Cambridge Analytica.
Skandal Facebook membuat Komisi Perdagangan Federal AS buka suara. Mereka membuka penyelidikan terhadap Facebook yang biasanya hanya dilakukan dalam kasus besar yang menarik banyak perhatian publik. Mereka mengutip laporan media massa yang menyatakan praktik privasi Facebook merupakan keprihatinan substansial.
Koalisi bipartisan 37 jaksa negara bagian AS juga menulis surat tuntutan. Mereka ingin mengetahui lebih banyak mengenai peran Facebook dalam memanipulasi data pengguna yang digunakan Cambridge Analytica. Data itu digunakan untuk menggiring para pemilih AS dan Inggris menjelang pilpres 2016 dan referendum Brexit.
“Penguakan itu menimbulkan pertanyaan serius mengenai kebijakan dan praktik Facebook. Langkah ini perlu diambil untuk memastikan Facebook mengikuti aturan,” bunyi surat itu, dikutip Reuters. “Kami perlu tahu agar pengguna bisa mempercayai Facebook. Dengan informasi yang sekarang kami miliki, kepercayaan kami sirna.”
Atas skandal ini, saham Facebook jatuh sebesar 6,5% di bawah USD150 untuk pertama kali sejak Juli 2017. Saham Facebook sudah berada di bawah 13% sejak Facebook mengakui data pengguna diberikan kepada Cambridge Analytica pada 16 Maret. Sejak saat itu, perusahaan menelan kerugian nilai pasar lebih dari USD70 miliar.
Saham Facebook sempat pulih pada awal pekan ini sebesar 0,4% di USD160,06. Pemulihan tersebut dinilai kemungkinan besar dimanfaatkan sebagian investor yang mengambil keuntungan dari rendahnya harga saham Facebook. Mereka yakin kasus regulasi ini tidak akan melukai prospek pertumbuhan jangka panjang Facebook.
Komisi Perdagangan Federal ingin mengetahui apakah Facebook melanggar perjanjian pada 2011 seputar praktik privasi. Jika FTC menemukan Facebook melanggar dekrit itu, mereka memiliki wewenang untuk memberikan sanksi denda ribuan dollar per hari dalam satu kasus pelanggaran yang bisa mencapai miliaran dollar.
Namun, Facebook yakin mereka tidak melakukan kesalahan dan berjalan sesuai aturan. “Kami tetap teguh berkomitmen untuk melindungi informasi masyarakat,” ujar Wakil Kepala Privasi Facebook Rob Sherman dalam keterangan pers. “Kami menghargai kesempatan untuk menjawab pertanyaan yang diperlukan FTC,” tambahnya.
Para pembuat Undang Undang di AS dan Eropa terus mendesak Facebook dan CEO Mark Zuckerberg untuk menjelaskan praktik privacy perusahaan. Senate Judiciary Committee menyatakan telah mengundang Zuckerberg, CEO Alphabet Inc, dan CEO Twitter untuk memberikan pernyataan pada 10 April mengenai data privasi.
House Energy and Commerce Committee dan Senate Commerce Committee juga meminta Zuckerberg secara formal untuk hadir di sidang kongres. “Facebook gagal melindungi informasi rahasia pengguna yang tampaknya melanggar komitmen hukum tertentu, juga norma dan standar dasar,” imbuh Senator Demokrat Richard Blumenthal.
Di samping AS, European Union Justice Commissioner juga meminta Facebook agar skandal Cambridge Analytica tidak terulang lagi. Pada pekan lalu, Zuckerberg meminta maaf melalui pemasangan iklan di satu halaman penuh dalam surat kabar AS dan Inggris. Dia berjanji akan memperketat akses developer terhadap informasi pengguna.
Bagaimana pun, permintaan maaf Zuckerberg tidak mampu meredam keprihatinan pemerintah dan masyarakat. Menteri Keadilan Jerman mengatakan hal itu masih tidak cukup. “Di masa depan, kita perlu mengatur perusahaan seperti Facebook jauh lebih ketat,” kata Katarina Barley setelah berbicara dengan eksekutif Facebook.
Seperti dilansir dari Reuters, menurut Kantor Berita Vietnam, Kementerian Komunikasi dan Informasi mengatakan Facebook dilaporkan tidak menanggapi melemparkan fanpage yang memicu aktivitas melawan pemerintah.
Hukum kontroversial baru mulai berlaku di negara itu kemarin.
Tahun 2018 lalu, Facebook digugat 37 negara, Badan hukum perlindungan konsumen dan jaksa yang mewakili 37 negara bagian di Amerika Serikat (AS) mendesak Facebook memberikan keterangan. Permintaan itu terkait bagaimana informasi data 50 juta penggunanya bisa berada di tangan konsultan politik asal Inggris, Cambridge Analytica.
Skandal Facebook membuat Komisi Perdagangan Federal AS buka suara. Mereka membuka penyelidikan terhadap Facebook yang biasanya hanya dilakukan dalam kasus besar yang menarik banyak perhatian publik. Mereka mengutip laporan media massa yang menyatakan praktik privasi Facebook merupakan keprihatinan substansial.
Koalisi bipartisan 37 jaksa negara bagian AS juga menulis surat tuntutan. Mereka ingin mengetahui lebih banyak mengenai peran Facebook dalam memanipulasi data pengguna yang digunakan Cambridge Analytica. Data itu digunakan untuk menggiring para pemilih AS dan Inggris menjelang pilpres 2016 dan referendum Brexit.
“Penguakan itu menimbulkan pertanyaan serius mengenai kebijakan dan praktik Facebook. Langkah ini perlu diambil untuk memastikan Facebook mengikuti aturan,” bunyi surat itu, dikutip Reuters. “Kami perlu tahu agar pengguna bisa mempercayai Facebook. Dengan informasi yang sekarang kami miliki, kepercayaan kami sirna.”
Atas skandal ini, saham Facebook jatuh sebesar 6,5% di bawah USD150 untuk pertama kali sejak Juli 2017. Saham Facebook sudah berada di bawah 13% sejak Facebook mengakui data pengguna diberikan kepada Cambridge Analytica pada 16 Maret. Sejak saat itu, perusahaan menelan kerugian nilai pasar lebih dari USD70 miliar.
Saham Facebook sempat pulih pada awal pekan ini sebesar 0,4% di USD160,06. Pemulihan tersebut dinilai kemungkinan besar dimanfaatkan sebagian investor yang mengambil keuntungan dari rendahnya harga saham Facebook. Mereka yakin kasus regulasi ini tidak akan melukai prospek pertumbuhan jangka panjang Facebook.
Komisi Perdagangan Federal ingin mengetahui apakah Facebook melanggar perjanjian pada 2011 seputar praktik privasi. Jika FTC menemukan Facebook melanggar dekrit itu, mereka memiliki wewenang untuk memberikan sanksi denda ribuan dollar per hari dalam satu kasus pelanggaran yang bisa mencapai miliaran dollar.
Namun, Facebook yakin mereka tidak melakukan kesalahan dan berjalan sesuai aturan. “Kami tetap teguh berkomitmen untuk melindungi informasi masyarakat,” ujar Wakil Kepala Privasi Facebook Rob Sherman dalam keterangan pers. “Kami menghargai kesempatan untuk menjawab pertanyaan yang diperlukan FTC,” tambahnya.
Para pembuat Undang Undang di AS dan Eropa terus mendesak Facebook dan CEO Mark Zuckerberg untuk menjelaskan praktik privacy perusahaan. Senate Judiciary Committee menyatakan telah mengundang Zuckerberg, CEO Alphabet Inc, dan CEO Twitter untuk memberikan pernyataan pada 10 April mengenai data privasi.
House Energy and Commerce Committee dan Senate Commerce Committee juga meminta Zuckerberg secara formal untuk hadir di sidang kongres. “Facebook gagal melindungi informasi rahasia pengguna yang tampaknya melanggar komitmen hukum tertentu, juga norma dan standar dasar,” imbuh Senator Demokrat Richard Blumenthal.
Di samping AS, European Union Justice Commissioner juga meminta Facebook agar skandal Cambridge Analytica tidak terulang lagi. Pada pekan lalu, Zuckerberg meminta maaf melalui pemasangan iklan di satu halaman penuh dalam surat kabar AS dan Inggris. Dia berjanji akan memperketat akses developer terhadap informasi pengguna.
Bagaimana pun, permintaan maaf Zuckerberg tidak mampu meredam keprihatinan pemerintah dan masyarakat. Menteri Keadilan Jerman mengatakan hal itu masih tidak cukup. “Di masa depan, kita perlu mengatur perusahaan seperti Facebook jauh lebih ketat,” kata Katarina Barley setelah berbicara dengan eksekutif Facebook.
(wbs)