Netflix, antara Sillicon Valley dan Hollywood
A
A
A
SINGAPURA - Tahun ini Netflix menghabiskan USD8 miliar di konten. Bujet raksasa itu dipakai untuk melisensi dan memproduksi film ataupun serial mereka sendiri.
Namun, sukses Netflix yang kini memiliki kapitalisasi pasar USD142,3 miliar (lebih besar dari Disney) itu justru terletak pada perhatiannya tinggi dan sangat mendetail pada teknologi.
Seperti apa? Di Netflix, Todd Yellin punya tugas berat. Sebagai vice president of product, dia harus memastikan proses streaming video terbaik yang bisa didapat oleh 138 juta pelanggan di seluruh dunia.
Baik itu di ponsel, di komputer, tablet, TV, bahkan PlayStation. Entah itu menggunakan Wi-Fi dan internet kecepatan tinggi, atau jaringan seluler dengan kecepatan beberapa ratus kbps.
“Bagi kami, teknologi sama pentingnya dengan storytelling (konten),” katanya. Area teknologi ini terusmenerus mereka sempurnakan sejak 2010, ketika mereka mulai berfokus di perangkat mobile.
Dalam keynote-nya di Singapura, penjelasan Todd menegaskan bahwa terlepas dari Netflix yang disebut-sebut akan “mengalahkan” Hollywood, mereka adalah perusahaan teknologi. Inilah sebabnya:
Jadi Pionir
Sepekan setelah Apple merilis iPhone pertama pada 9 Januari 2007, Netflix pertama mengenalkan layanan video streaming mereka. Meski baru pada 2010 perusahaan tersebut fokus ke perangkat mobile . “Ponsel paling penting, juga paling menantang. Karena itu, kami terus berupaya memperbaiki layanan kami,” ucap Todd.
Memikirkan setiap Detail
Desain user experience (UX) sangat penting bagi Neflix. Bahkan, sampai hal yang paling kecil sekalipun. Misalnya pemilihan teks “Adrenaline Rush”, “Martial Arts”, dan “Indonesia” di bawah poster film The Night Comes for Us (2018) arahan Timo Tjahjanto yang dipikirkan masak-masak.
Termasuk juga pengelompokan film berdasarkan nama seperti “Exciting Films”, Thriller Programs”, atau “American Programs” yang menurut Todd sangat penting. “Semua hal-hal kecil itu sangat memengaruhi film atau tontonan mana yang akan dipilih pelanggan,” sebutnya.
Hal lain, Netflix sengaja mengubah gambar cover film secara individual untuk menyesuaikan masing-masing pengguna. “Beda gambar, beda pula keinginan pengguna untuk mengklik sebuah film atau enggak,” imbuhnya.
Selalu Uji Coba Fitur Baru
Untuk memastikan sebuah fitur baru benar-benar dipakai dan disukai pengguna, Todd Yellin melakukan pengujian tidak hanya pada puluhan atau ratusan user . Namun, hingga 100.000 pengguna sekaligus dan mendapat masukan.
Contohnya ketika mereka menentukan berapa lama trailer video baru paling nyaman ditonton pengguna di ponsel mereka dalam format vertikal. “Durasi trailer film pada umumnya adalah 2 menit. Kami bereksperimen di 1 menit, 30 detik, hingga akhirnya mendapat hasil akhir video preview experience terbaik adalah 20 detik,” katanya.
Menyesuaikan Keinginan Pasar
“Smart Download” adalah fitur Netflix yang dirancang untuk pengguna di Asia dan India. “Di Amerika, mereka tidak butuh mengunduh film karena jaringan internet yang lancar. Tapi, fitur download sangat penting bagi konsumen Asia.
Mereka suka mengunduh film ketika terhubung jaringan Wi-Fi dan menontonnya pada lain waktu. Di beberapa daerah streaming juga sulit karena kualitas jaringan internet yang terbatas,” ujar Todd.
Bahkan, mereka menyempurnakannya lewat fitur smart download . “Fitur ini akan menghapus episode yang telah ditonton dan secara otomatis mengunduh episode selanjutnya ketika terhubung Wi-Fi. Memori ponsel pun tidak cepat penuh,” beber Todd.
Menyempurnakan Teknologi Streaming
Satu episode A Series of Unfortunate Events di Netflix memiliki ukuran file raw 256 GB. File sebesar itu harus dimampatkan hingga 1.000 kali lebih kecil tanpa mengurangi kualitas gambar. Proses ini, disebut video encoding .
Pada 2011, mereka bisa mengompres resolusi standar definition (SD) di 1.000 kbps untuk mendapat kualitas baik. Pada 2015 Netflix memilah lagi proses kompresi berdasarkan genrenya. Untuk kartun/anime dapat dimampatkan hingga 640 kbps, genre drama 710 kbps, dan genre action 910 kbps.
Film action butuh streaming lebih karena pergantian adegan sangat cepat. Tahun ini, mereka mengenalkan teknologi baru bernama dynamic optimizer encoding. Menurut Director of Video Algorithms Netflix Anne Aaron, proses encoding atau kompresi kini dilakukan di setiap adegan.
“Hasilnya, kami bisa memangkas proses streaming menjadi hanya 270 kbps. Sehingga jika Anda memiliki paket data 4 GB, maka cukup untuk streaming selama 26 jam atau film seri selama dua musim,” sebutnya.
Machine Learning
Netflix menaruh perhatian besar pada personalisasi. Setiap pengguna dianggap sangat berbeda. Karena itu, rekomendasi yang didapat juga harus berbeda. “Untuk itu, kami meng gu nakan machine learning dan algoritma tertentu untuk mempermudah pengguna mencari serta mendapat konten terbaik untuk mereka,” sebutnya.
Menurut Todd, di ponsel setiap orang rata-rata hanya melihat 40 judul-50 judul film sebelum memutuskan untuk menonton. Padahal, di halaman utama ponsel hanya ada 9 judul film. Algoritma harus bisa menunjukkan konten yang paling relevan.
Danang Arradian
Laporan Wartawan KORAN SINDO
Namun, sukses Netflix yang kini memiliki kapitalisasi pasar USD142,3 miliar (lebih besar dari Disney) itu justru terletak pada perhatiannya tinggi dan sangat mendetail pada teknologi.
Seperti apa? Di Netflix, Todd Yellin punya tugas berat. Sebagai vice president of product, dia harus memastikan proses streaming video terbaik yang bisa didapat oleh 138 juta pelanggan di seluruh dunia.
Baik itu di ponsel, di komputer, tablet, TV, bahkan PlayStation. Entah itu menggunakan Wi-Fi dan internet kecepatan tinggi, atau jaringan seluler dengan kecepatan beberapa ratus kbps.
“Bagi kami, teknologi sama pentingnya dengan storytelling (konten),” katanya. Area teknologi ini terusmenerus mereka sempurnakan sejak 2010, ketika mereka mulai berfokus di perangkat mobile.
Dalam keynote-nya di Singapura, penjelasan Todd menegaskan bahwa terlepas dari Netflix yang disebut-sebut akan “mengalahkan” Hollywood, mereka adalah perusahaan teknologi. Inilah sebabnya:
Jadi Pionir
Sepekan setelah Apple merilis iPhone pertama pada 9 Januari 2007, Netflix pertama mengenalkan layanan video streaming mereka. Meski baru pada 2010 perusahaan tersebut fokus ke perangkat mobile . “Ponsel paling penting, juga paling menantang. Karena itu, kami terus berupaya memperbaiki layanan kami,” ucap Todd.
Memikirkan setiap Detail
Desain user experience (UX) sangat penting bagi Neflix. Bahkan, sampai hal yang paling kecil sekalipun. Misalnya pemilihan teks “Adrenaline Rush”, “Martial Arts”, dan “Indonesia” di bawah poster film The Night Comes for Us (2018) arahan Timo Tjahjanto yang dipikirkan masak-masak.
Termasuk juga pengelompokan film berdasarkan nama seperti “Exciting Films”, Thriller Programs”, atau “American Programs” yang menurut Todd sangat penting. “Semua hal-hal kecil itu sangat memengaruhi film atau tontonan mana yang akan dipilih pelanggan,” sebutnya.
Hal lain, Netflix sengaja mengubah gambar cover film secara individual untuk menyesuaikan masing-masing pengguna. “Beda gambar, beda pula keinginan pengguna untuk mengklik sebuah film atau enggak,” imbuhnya.
Selalu Uji Coba Fitur Baru
Untuk memastikan sebuah fitur baru benar-benar dipakai dan disukai pengguna, Todd Yellin melakukan pengujian tidak hanya pada puluhan atau ratusan user . Namun, hingga 100.000 pengguna sekaligus dan mendapat masukan.
Contohnya ketika mereka menentukan berapa lama trailer video baru paling nyaman ditonton pengguna di ponsel mereka dalam format vertikal. “Durasi trailer film pada umumnya adalah 2 menit. Kami bereksperimen di 1 menit, 30 detik, hingga akhirnya mendapat hasil akhir video preview experience terbaik adalah 20 detik,” katanya.
Menyesuaikan Keinginan Pasar
“Smart Download” adalah fitur Netflix yang dirancang untuk pengguna di Asia dan India. “Di Amerika, mereka tidak butuh mengunduh film karena jaringan internet yang lancar. Tapi, fitur download sangat penting bagi konsumen Asia.
Mereka suka mengunduh film ketika terhubung jaringan Wi-Fi dan menontonnya pada lain waktu. Di beberapa daerah streaming juga sulit karena kualitas jaringan internet yang terbatas,” ujar Todd.
Bahkan, mereka menyempurnakannya lewat fitur smart download . “Fitur ini akan menghapus episode yang telah ditonton dan secara otomatis mengunduh episode selanjutnya ketika terhubung Wi-Fi. Memori ponsel pun tidak cepat penuh,” beber Todd.
Menyempurnakan Teknologi Streaming
Satu episode A Series of Unfortunate Events di Netflix memiliki ukuran file raw 256 GB. File sebesar itu harus dimampatkan hingga 1.000 kali lebih kecil tanpa mengurangi kualitas gambar. Proses ini, disebut video encoding .
Pada 2011, mereka bisa mengompres resolusi standar definition (SD) di 1.000 kbps untuk mendapat kualitas baik. Pada 2015 Netflix memilah lagi proses kompresi berdasarkan genrenya. Untuk kartun/anime dapat dimampatkan hingga 640 kbps, genre drama 710 kbps, dan genre action 910 kbps.
Film action butuh streaming lebih karena pergantian adegan sangat cepat. Tahun ini, mereka mengenalkan teknologi baru bernama dynamic optimizer encoding. Menurut Director of Video Algorithms Netflix Anne Aaron, proses encoding atau kompresi kini dilakukan di setiap adegan.
“Hasilnya, kami bisa memangkas proses streaming menjadi hanya 270 kbps. Sehingga jika Anda memiliki paket data 4 GB, maka cukup untuk streaming selama 26 jam atau film seri selama dua musim,” sebutnya.
Machine Learning
Netflix menaruh perhatian besar pada personalisasi. Setiap pengguna dianggap sangat berbeda. Karena itu, rekomendasi yang didapat juga harus berbeda. “Untuk itu, kami meng gu nakan machine learning dan algoritma tertentu untuk mempermudah pengguna mencari serta mendapat konten terbaik untuk mereka,” sebutnya.
Menurut Todd, di ponsel setiap orang rata-rata hanya melihat 40 judul-50 judul film sebelum memutuskan untuk menonton. Padahal, di halaman utama ponsel hanya ada 9 judul film. Algoritma harus bisa menunjukkan konten yang paling relevan.
Danang Arradian
Laporan Wartawan KORAN SINDO
(nfl)