Rupiah Melemah, Operator Antisipasi Dinamika Industri Seluler
A
A
A
JAKARTA - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga Rp15.000 bakal berimbas pada kinerja perusahaan telekomunikasi. Karena itu, Asosiasi penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyatakan, para anggotanya sudah menyiapkan sejumlah jurus untuk mengantisipasi penurunan kinerja industri seluler.
"Penurunan kinerja 'telco' sudah diantisipasi. Kami harapkan penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah tidak menambah buruknya angka penurunan. Sebab hingga semester I 2018, industri ini sudah negative growth," ungkap Wakil Ketua Umum ATSI Merza Fachys di Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Diakuinya, masa sekarang merupakan tahun sulit bagi industri seluler karena ada faktor makro ekonomi dan regulasi yang membuat pelaku usaha melakukan konsolidasi dalam strategi bisnis. "Tetapi saya percaya masing-masing operator mempunyai jurus selamat dan nanti akan more than survive dari kondisi sulit ini," ucapnya yakin.
Presiden Direktur & CEO XL Axiata Dian Siswarini mengungkapkan, industri seluler hingga semester pertama 2018 mengalami negative growth baik dari sisi pendapatan atau Earning Before Interest Tax Depreciation Amortization (EBITDA). "Secara industri, negative growth terjadi di pendapatan -12,3% dan EBITDA -24,3%," paparnya.
Terpisah, pengamat pasar modal Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI), Reza Priyambada menilai, tantangan bagi operator ketika nilai tukar rupiah melemah adalah menghadapi biaya operasional yang tinggi. "Apalagi kalau ada peralatan yang sistemnya sewa dan bayar dengan dolar AS. Belum lagi jika ada kewajiban bond atau lainnya dalam bentuk USD. Jika simpanan dolar AS gak cukup bisa missmatch," analisa Reza.
Diharapkannya, dengan meredanya perang tarif sejak semester pertama 2018 akan membantu operator menghadapi sisa semester dua 2018. "Adanya penyesuaian tarif bisa membantu mengurangi dampak perang tarif. Ditambah promosi yang menarik, orang akan mau ambil paket yang ditawarkan oleh operator karena merasa mendapat lebih. Operator harus bisa menggenjot pendapatan dari data dan internet untuk menutupi penurunan pendapatan voice dan SMS," pungkasnya.
Sekadar informasi, sepanjang semester pertama 2018 kinerja operator di Indonesia tertekan. Selain faktor makro ekonomi dan regulasi, juga dipicu adanya perubahan perilaku pelanggan yang banyak menggunakan produk substitusi messenger sehingga menggerus pendapatan suara dan SMS.
Telkom tercatat membukukan keuntungan Rp8,7 triliun di semester pertama 2018 (H1-2018). Atau turun 28,1% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp12,1 triliun.
Operator pelat merah ini membukukan pendapatan sebesar Rp64,37 triliun pada semester I 2018 naik tipis 0,5% dibanding periode sama tahun lalu yakni Rp64,02 triliun.
Lalu Telkomsel sepanjang semester pertama 2018 meraih pendapatan sebesar Rp42,7 triliun atau turun 7,1% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp45,99 triliun. Laba bersih sepanjang semester pertama 2018 hanya Rp11,7 triliun atau anjlok 24,4% dibandingkan periode sama 2017 sebesar Rp15,5 triliun.
Indosat adalah operator yang paling tertekan. Anak usaha Ooredoo ini di periode berakhir Juni 2018 hanya memiliki pendapatan Rp11 triliun atau anjlok 26,8% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp15,11 triliun. Dampak dari buruknya kinerja operasional terasa di bottom line dimana pada periode semester I 2018 perseroan mengalami kerugian Rp693,7 miliar berbanding terbalik dengan periode sama tahun lalu yang untung Rp784,2 miliar.
XL Axiata masih meraih pendapatan Rp11,06 triliun sepanjang semester I 2018 atau naik 1% dibandingkan periode sama 2017 sebesar Rp10,95 triliun. XL Axiata mencatat kerugian sebesar Rp82 miliar di semester pertama 2018 berbanding terbalik dengan periode sama tahun lalu yang mencicipi laba Rp143 miliar.
Berdasarkan laporan keuangan hingga semester pertama 2018, Telkomsel malah menikmati laba kurs sebesar Rp48 miliar. Sementara Indosat dan XL mengalami rugi kurs masing-masing Rp112 miliar dan Rp44 miliar.
Debt to Equity Ratio (DER) dari pemain pun masih 'sehat' alias masih bisa mencari pendanaan di mana Telkomsel sebesar 58%, Indosat (142%), dan XL (62%).
"Penurunan kinerja 'telco' sudah diantisipasi. Kami harapkan penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah tidak menambah buruknya angka penurunan. Sebab hingga semester I 2018, industri ini sudah negative growth," ungkap Wakil Ketua Umum ATSI Merza Fachys di Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Diakuinya, masa sekarang merupakan tahun sulit bagi industri seluler karena ada faktor makro ekonomi dan regulasi yang membuat pelaku usaha melakukan konsolidasi dalam strategi bisnis. "Tetapi saya percaya masing-masing operator mempunyai jurus selamat dan nanti akan more than survive dari kondisi sulit ini," ucapnya yakin.
Presiden Direktur & CEO XL Axiata Dian Siswarini mengungkapkan, industri seluler hingga semester pertama 2018 mengalami negative growth baik dari sisi pendapatan atau Earning Before Interest Tax Depreciation Amortization (EBITDA). "Secara industri, negative growth terjadi di pendapatan -12,3% dan EBITDA -24,3%," paparnya.
Terpisah, pengamat pasar modal Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI), Reza Priyambada menilai, tantangan bagi operator ketika nilai tukar rupiah melemah adalah menghadapi biaya operasional yang tinggi. "Apalagi kalau ada peralatan yang sistemnya sewa dan bayar dengan dolar AS. Belum lagi jika ada kewajiban bond atau lainnya dalam bentuk USD. Jika simpanan dolar AS gak cukup bisa missmatch," analisa Reza.
Diharapkannya, dengan meredanya perang tarif sejak semester pertama 2018 akan membantu operator menghadapi sisa semester dua 2018. "Adanya penyesuaian tarif bisa membantu mengurangi dampak perang tarif. Ditambah promosi yang menarik, orang akan mau ambil paket yang ditawarkan oleh operator karena merasa mendapat lebih. Operator harus bisa menggenjot pendapatan dari data dan internet untuk menutupi penurunan pendapatan voice dan SMS," pungkasnya.
Sekadar informasi, sepanjang semester pertama 2018 kinerja operator di Indonesia tertekan. Selain faktor makro ekonomi dan regulasi, juga dipicu adanya perubahan perilaku pelanggan yang banyak menggunakan produk substitusi messenger sehingga menggerus pendapatan suara dan SMS.
Telkom tercatat membukukan keuntungan Rp8,7 triliun di semester pertama 2018 (H1-2018). Atau turun 28,1% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp12,1 triliun.
Operator pelat merah ini membukukan pendapatan sebesar Rp64,37 triliun pada semester I 2018 naik tipis 0,5% dibanding periode sama tahun lalu yakni Rp64,02 triliun.
Lalu Telkomsel sepanjang semester pertama 2018 meraih pendapatan sebesar Rp42,7 triliun atau turun 7,1% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp45,99 triliun. Laba bersih sepanjang semester pertama 2018 hanya Rp11,7 triliun atau anjlok 24,4% dibandingkan periode sama 2017 sebesar Rp15,5 triliun.
Indosat adalah operator yang paling tertekan. Anak usaha Ooredoo ini di periode berakhir Juni 2018 hanya memiliki pendapatan Rp11 triliun atau anjlok 26,8% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp15,11 triliun. Dampak dari buruknya kinerja operasional terasa di bottom line dimana pada periode semester I 2018 perseroan mengalami kerugian Rp693,7 miliar berbanding terbalik dengan periode sama tahun lalu yang untung Rp784,2 miliar.
XL Axiata masih meraih pendapatan Rp11,06 triliun sepanjang semester I 2018 atau naik 1% dibandingkan periode sama 2017 sebesar Rp10,95 triliun. XL Axiata mencatat kerugian sebesar Rp82 miliar di semester pertama 2018 berbanding terbalik dengan periode sama tahun lalu yang mencicipi laba Rp143 miliar.
Berdasarkan laporan keuangan hingga semester pertama 2018, Telkomsel malah menikmati laba kurs sebesar Rp48 miliar. Sementara Indosat dan XL mengalami rugi kurs masing-masing Rp112 miliar dan Rp44 miliar.
Debt to Equity Ratio (DER) dari pemain pun masih 'sehat' alias masih bisa mencari pendanaan di mana Telkomsel sebesar 58%, Indosat (142%), dan XL (62%).
(mim)