Akun Anonim Bisa Kacaukan Pemilu
A
A
A
JAKARTA - Fenomena Botmageddon atau Gelombang Pasang kemunculan akun anonim Twitter di Asia Tenggara dikhawatirkan dapat mengacaukan Pemilu 2019.
Terlebih, Indonesia termasuk satu di antara negara dengan jumlah pengguna aktif Twitter terbesar di dunia. Berbagai pihak sudah saatnya menaruh perhatian besar terhadap ada upaya propaganda politik dan penggiringan opini publik secara massal melalui media sosial (medsos).
Aksi-aksi seperti ini disinyalir bakal kian masif mendekati pemilu legislatif dan pemilu presiden yang akan digelar serentak tahun depan. Twitter adalah satu diantara medsos yang berpotensi tinggi memengaruhi masyarakat karena ba nyak penggunanya yang merupakan pembuat opini dan rajin berkicau/retweet misalnya kalangan akademisi, jurnalis, dan politisi.
“Berkaca pada Pilkada DKI 2012 dan 2017 dan Pemilu 2014, medsos baik jejaring sosial seperti Twitter mau pun aplikasi perbincangan menjadi ‘arena pertempuran’ yang sangat diperhitungkan oleh kubu-kubu berkepentingan. Semua berlomba jadi trending topic. Itu karena persepsi warganet berdampak signifikan terhadap pilihannya di bilik suara nanti,” papar pengamat medsos dari Indonesia Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi di Jakarta kemarin.
Tujuan penggiringan opini, selain untuk membangun antipati atau simpati terhadap calon dan kelompok tertentu, bisa juga untuk menimbulkan kebingungan massal yang berujung kekacauan dan perpecahan.
Selain menggandeng selebritas media sosial dan tokoh populer yang punya banyak follower sebagai buzzer, pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil pemilu juga membuat banyak akun pseudonim, akun anonim alias bot, untuk memperkuat “pasukan siber” mereka.
Akun anonim ini biasa “bertugas” menggencarkan kampanye hitam dan kampanye negatif agar aman dari jerat UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sedangkan akun yang jelas penggunanya digunakan untuk menggalang simpati atau kampanye positif.
Dalang di balik serangan pasukan siber di jagat media sosial Indonesia bisa dari dalam negeri, bisa juga dari luar. Maka itu, fenomena Botmageddon yang telah memunculkan kekhawatiran luas di Asia Tenggara dan Asia Timur bahwa kawasan ini sedang dalam ancaman besar manipulasi medsos seperti dialami AS dan Eropa memang perlu diantisipasi sejak dini.
Menurut Heru, fenomena Botmageddon di Asia Tenggara tentu tak lepas dari agendaagen da politik besar. Selain Indonesia yang akan menggelar Pemilu 2019, ada tiga negara lain yang segera menggelar pemilu, yakni Malaysia, Kamboja, dan Thailand.
Fenomena Botmageddon telah dilaporkan para pengguna Twitter di Hong Kong, Taiwan, Thailand, Vietnam, Burma, dan Sri Lanka. Saat pemilu presiden Filipina 2016 terjadi peningkatan jumlah bot dan troll terorganisasi untuk mendukung tokoh yang akhirnya menang dalam pemilu, yakni Rodrigo Duterte.
Di Myanmar, setelah otoritas setempat menggelar operasi militer terhadap minoritas mus lim Rohingnya terjadi peningkatan jumlah akun Twitter yang kicauannya mendukung pemerintah. Padahal, Twitter merupakan platform medsos yang jarang digunakan masyarakat Myanmar.
Di AS, Twitter Audit Report menemukan bahwa 16 juta dari 51 juta followerPresiden AS Donald Trump adalah tidak nyata alias bot. “Jadi, pemerintah perlu serius memantau dan mengantisipasi fenomena ini. Termasuk para pemangku kepentingan Pemilu 2019. Bagaimana agar botbot tersebut bisa dihentikan sebelum dioperasikan dan berdaya rusak tinggi,” tegas Heru.
Berdasarkan data Statista.com, jumlah pengguna aktif Twitter di Indonesia pada 2016 berada di posisi ketiga di dunia (24,34 juta) setelah AS dan India. Sementara itu, jumlah akun Facebook di Indonesia terbanyak ketiga di dunia (140 juta) setelah India dan AS.
Pengguna Instagram di Tanah Air terbanyak nomor empat secara global (56 juta) setelah AS, Brasil, dan India. Direktur Eksekutif ICT Institute ini menambahkan, para pengguna Twitter dan medsos idealnya lebih memproteksi akun mereka. Waspadai ada penam bahan follower yang banyak hampir bersamaan dalam satu waktu. Bot kebanyakan tidak memiliki foto profil, baru di buat, dan punya nama yang mirip.
“Kalau itu terjadi pada akun kita, artinya sesuatu tidak nor mal sedang bekerja. Jangan senang dulu karena tiba-tiba dapat banyak tambahan follower, teliti akun-akun itu,” ingat Heru.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja menyatakan, institusinya telah melakukan sejumlah langkah untuk menangkal kekacauan akibat perang siber.
Bawaslu juga tidak menutup mata Botmageddon terjadi di Indonesia dan sedang menunggu waktu untuk “bekerja”. “Kami terus menggencarkan literasi medsos dan antihoaks kepada masyarakat. Bawaslu pun telah berkoordinasi dengan Direktorat Cyber Crime Badan Reserse Kriminal Mabes Polri apabila ada akun yang menimbulkan keresahan dan kegaduhan di masyarakat. Itu lekat dengan tindak pidana pemilu,” terang Rahmat.
Plt Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Noor Iza mengakui tingkat literasi digital para pengguna medsos di Tanah Air terhadap konten internet yang bermuatan negatif masih cukup rendah. Masih banyak masyarakat yang mudah terprovokasi terhadap arus informasi yang tidak jelas sumber kebenarannya atau hoaks.
“Pemerintah terus mendorong ada konten positif untuk mendukung kesejahteraan dan pengetahuan sehingga media sosial ini akan memperoleh ke baikan bagi masyarakat," katanya.
Sementara itu, pihak Twitter pusat dalam e-mail balasannya kepada KORAN SINDO menyatakan bahwa mereka menyadari baru-baru ini ada banyak penggunanya di Asia Pasifik yang tiba-tiba jumlah follower-nya melonjak secara tidak wajar. Dalam tiga bulan terakhir Twitter telah menghapus lebih dari 142.000 akun karena melanggar aturan dan dianggap bertanggung jawab terhadap lebih dari 130 juta tweet berkualitas rendah.
“Lebih dari separuh akun yang dihapus tersebut terjadi pada kuartal pertama 2018. Mereka dihapus sepekan setelah pendaftaran, sebagian besar bahkan dalam hitungan jam,” demikian keterangan pihak Twitter.
Pada Maret 2018 sistem di Twitter mengidentifikasi dan menandai lebih dari 8 juta akun secara global per pekan. Twitter telah melakukan se jumlah upaya untuk mencegah Botmageddon terus meluas. “Kami mengoperasikan sistem baru. Para ahli kami tak berhenti mengawasi, mengidentifikasi, dan meng hapus akun jadi-jadian yang muncul,” sebut pihak Twitter.
Twitter memperkuat lapisan pertahanan dengan meningkatkan metode pendeteksian yang proaktif dan menggunakan automasi untuk menemukan pelanggaran. Setiap akun yang diketahui melakukan spamakan segera diidentifikasi dan dihapus. Hal ini dilakukan demi menjaga reputasi Twitter sebagai jejaring sosial. Twitter juga mengaku tidak memandang sebelah mata isu akun palsu. Mereka akan mengambil tindakan tegas.
“Kami berkomitmen menjadi plat form yang dapat memelihara wacana publik yang sehat dan debat yang demokratis. Kami akan terus melawan setiap automasi malicious dan akun spam,” ungkap Twitter. Saat ini Twitter fokus mengidentifikasi dan menghapus akun palsu. (Dita Angga/ Muh Shamil)
Terlebih, Indonesia termasuk satu di antara negara dengan jumlah pengguna aktif Twitter terbesar di dunia. Berbagai pihak sudah saatnya menaruh perhatian besar terhadap ada upaya propaganda politik dan penggiringan opini publik secara massal melalui media sosial (medsos).
Aksi-aksi seperti ini disinyalir bakal kian masif mendekati pemilu legislatif dan pemilu presiden yang akan digelar serentak tahun depan. Twitter adalah satu diantara medsos yang berpotensi tinggi memengaruhi masyarakat karena ba nyak penggunanya yang merupakan pembuat opini dan rajin berkicau/retweet misalnya kalangan akademisi, jurnalis, dan politisi.
“Berkaca pada Pilkada DKI 2012 dan 2017 dan Pemilu 2014, medsos baik jejaring sosial seperti Twitter mau pun aplikasi perbincangan menjadi ‘arena pertempuran’ yang sangat diperhitungkan oleh kubu-kubu berkepentingan. Semua berlomba jadi trending topic. Itu karena persepsi warganet berdampak signifikan terhadap pilihannya di bilik suara nanti,” papar pengamat medsos dari Indonesia Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi di Jakarta kemarin.
Tujuan penggiringan opini, selain untuk membangun antipati atau simpati terhadap calon dan kelompok tertentu, bisa juga untuk menimbulkan kebingungan massal yang berujung kekacauan dan perpecahan.
Selain menggandeng selebritas media sosial dan tokoh populer yang punya banyak follower sebagai buzzer, pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil pemilu juga membuat banyak akun pseudonim, akun anonim alias bot, untuk memperkuat “pasukan siber” mereka.
Akun anonim ini biasa “bertugas” menggencarkan kampanye hitam dan kampanye negatif agar aman dari jerat UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sedangkan akun yang jelas penggunanya digunakan untuk menggalang simpati atau kampanye positif.
Dalang di balik serangan pasukan siber di jagat media sosial Indonesia bisa dari dalam negeri, bisa juga dari luar. Maka itu, fenomena Botmageddon yang telah memunculkan kekhawatiran luas di Asia Tenggara dan Asia Timur bahwa kawasan ini sedang dalam ancaman besar manipulasi medsos seperti dialami AS dan Eropa memang perlu diantisipasi sejak dini.
Menurut Heru, fenomena Botmageddon di Asia Tenggara tentu tak lepas dari agendaagen da politik besar. Selain Indonesia yang akan menggelar Pemilu 2019, ada tiga negara lain yang segera menggelar pemilu, yakni Malaysia, Kamboja, dan Thailand.
Fenomena Botmageddon telah dilaporkan para pengguna Twitter di Hong Kong, Taiwan, Thailand, Vietnam, Burma, dan Sri Lanka. Saat pemilu presiden Filipina 2016 terjadi peningkatan jumlah bot dan troll terorganisasi untuk mendukung tokoh yang akhirnya menang dalam pemilu, yakni Rodrigo Duterte.
Di Myanmar, setelah otoritas setempat menggelar operasi militer terhadap minoritas mus lim Rohingnya terjadi peningkatan jumlah akun Twitter yang kicauannya mendukung pemerintah. Padahal, Twitter merupakan platform medsos yang jarang digunakan masyarakat Myanmar.
Di AS, Twitter Audit Report menemukan bahwa 16 juta dari 51 juta followerPresiden AS Donald Trump adalah tidak nyata alias bot. “Jadi, pemerintah perlu serius memantau dan mengantisipasi fenomena ini. Termasuk para pemangku kepentingan Pemilu 2019. Bagaimana agar botbot tersebut bisa dihentikan sebelum dioperasikan dan berdaya rusak tinggi,” tegas Heru.
Berdasarkan data Statista.com, jumlah pengguna aktif Twitter di Indonesia pada 2016 berada di posisi ketiga di dunia (24,34 juta) setelah AS dan India. Sementara itu, jumlah akun Facebook di Indonesia terbanyak ketiga di dunia (140 juta) setelah India dan AS.
Pengguna Instagram di Tanah Air terbanyak nomor empat secara global (56 juta) setelah AS, Brasil, dan India. Direktur Eksekutif ICT Institute ini menambahkan, para pengguna Twitter dan medsos idealnya lebih memproteksi akun mereka. Waspadai ada penam bahan follower yang banyak hampir bersamaan dalam satu waktu. Bot kebanyakan tidak memiliki foto profil, baru di buat, dan punya nama yang mirip.
“Kalau itu terjadi pada akun kita, artinya sesuatu tidak nor mal sedang bekerja. Jangan senang dulu karena tiba-tiba dapat banyak tambahan follower, teliti akun-akun itu,” ingat Heru.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja menyatakan, institusinya telah melakukan sejumlah langkah untuk menangkal kekacauan akibat perang siber.
Bawaslu juga tidak menutup mata Botmageddon terjadi di Indonesia dan sedang menunggu waktu untuk “bekerja”. “Kami terus menggencarkan literasi medsos dan antihoaks kepada masyarakat. Bawaslu pun telah berkoordinasi dengan Direktorat Cyber Crime Badan Reserse Kriminal Mabes Polri apabila ada akun yang menimbulkan keresahan dan kegaduhan di masyarakat. Itu lekat dengan tindak pidana pemilu,” terang Rahmat.
Plt Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Noor Iza mengakui tingkat literasi digital para pengguna medsos di Tanah Air terhadap konten internet yang bermuatan negatif masih cukup rendah. Masih banyak masyarakat yang mudah terprovokasi terhadap arus informasi yang tidak jelas sumber kebenarannya atau hoaks.
“Pemerintah terus mendorong ada konten positif untuk mendukung kesejahteraan dan pengetahuan sehingga media sosial ini akan memperoleh ke baikan bagi masyarakat," katanya.
Sementara itu, pihak Twitter pusat dalam e-mail balasannya kepada KORAN SINDO menyatakan bahwa mereka menyadari baru-baru ini ada banyak penggunanya di Asia Pasifik yang tiba-tiba jumlah follower-nya melonjak secara tidak wajar. Dalam tiga bulan terakhir Twitter telah menghapus lebih dari 142.000 akun karena melanggar aturan dan dianggap bertanggung jawab terhadap lebih dari 130 juta tweet berkualitas rendah.
“Lebih dari separuh akun yang dihapus tersebut terjadi pada kuartal pertama 2018. Mereka dihapus sepekan setelah pendaftaran, sebagian besar bahkan dalam hitungan jam,” demikian keterangan pihak Twitter.
Pada Maret 2018 sistem di Twitter mengidentifikasi dan menandai lebih dari 8 juta akun secara global per pekan. Twitter telah melakukan se jumlah upaya untuk mencegah Botmageddon terus meluas. “Kami mengoperasikan sistem baru. Para ahli kami tak berhenti mengawasi, mengidentifikasi, dan meng hapus akun jadi-jadian yang muncul,” sebut pihak Twitter.
Twitter memperkuat lapisan pertahanan dengan meningkatkan metode pendeteksian yang proaktif dan menggunakan automasi untuk menemukan pelanggaran. Setiap akun yang diketahui melakukan spamakan segera diidentifikasi dan dihapus. Hal ini dilakukan demi menjaga reputasi Twitter sebagai jejaring sosial. Twitter juga mengaku tidak memandang sebelah mata isu akun palsu. Mereka akan mengambil tindakan tegas.
“Kami berkomitmen menjadi plat form yang dapat memelihara wacana publik yang sehat dan debat yang demokratis. Kami akan terus melawan setiap automasi malicious dan akun spam,” ungkap Twitter. Saat ini Twitter fokus mengidentifikasi dan menghapus akun palsu. (Dita Angga/ Muh Shamil)
(nfl)