Akun Anonim Twitter Banjiri Asia Tenggara

Senin, 30 April 2018 - 07:00 WIB
Akun Anonim Twitter Banjiri Asia Tenggara
Akun Anonim Twitter Banjiri Asia Tenggara
A A A
SAN FRANCISCO - Sejumlah kalangan menilai fenomena Botmageddon atau lonjakan tajam kemunculan akun Twitter baru yang anonim harus diwaspadai. Pihak tertentu disinyalir berniat memanipulasi publik secara massal lewat media sosial untuk mengegolkan kepentingannya, termasuk agenda politik.

Anda pengguna Twitter? Apakah jumlah follower Anda dua bulan terakhir ini melonjak tajam hingga ratusan bahkan ribuan akun? Jangan senang dulu. Apabila sebagian besar akun follower Anda tanpa foto profil, banyak yang namanya mirip dan baru melakukan 1-2 tweet (kicauan), Anda justru patut curiga.

Inilah fenomena Botmageddon atau "gelombang pasang" kemunculan akun anonim Twitter yang sedang melanda Asia Tenggara dan Asia Timur. Akun-akun anonim yang lazim disebut bot ini disinyalir dikerahkan pihak tertentu untuk sewaktu-waktu berkicau atau melakukan re-tweet agar dapat mempengaruhi persepsi masyarakat atas sebuah isu.

Entrepreneur teknologi asal Kamboja Maya Gilliss-Chapman yang kini bekerja di Silicon Valley memperingatkan bahwa sesuatu yang aneh sedang terjadi Maret-April ini. Akun Twitter dia, @MayaGC, dibanjiri follower pengguna baru Twitter dalam jumlah banyak. "Saya mendapat lebih dari 1.000 follower baru sejak awal Maret. Jadi, itu kira-kira meningkat 227% dalam hanya sebulan," katanya dikutip Hongkongfp.com.

Meski banyak orang mungkin akan senang dengan peningkatan popularitas semacam ini, Maya justru curiga. Apalagi dia sebelumnya pernah bekerja di perusahaan teknologi untuk memberantas spam. Maya tak langsung melakukan follow back (balas mengikuti) akun-akun tersebut. Dia justru melaklukan riset, menyelidiki satu per satu. Hasilnya, ada kesamaan yang mencurigakan!

Akun-akun baru ini kebanyakan tidak memiliki foto profil, punya nama yang mirip, baru dibuat dan sangat jarang berkicau. Di sisi lain, akun-akun tersebut ternyata mengikuti seorang pengguna Twitter ternama di Kamboja termasuk para jurnalis, tokoh bisnis, akademisi dan selebritas.

Maya lantas merilis temuannya secara online. Dia menjelaskan bagaimana akun-akun itu dibuat oleh sejumlah operator tak dikenal yang berupaya keras menyembunyikan identitas asli mereka. Beberapa waktu kemudian, para pengguna Twitter di Thailand, Vietnam, Myanmar, Taiwan, Hong Kong dan Sri Lanka juga menemukan fenomena yang sama. Jumlah follower mereka meningkat drastis. Rata-rata menggunakan nama lokal dan jarang aktif berkicau. Seolah menunggu komando untuk berkicau bersama dan menjalankan misi tertentu.

Saat Facebook menerima kritik atas kebocoran data pengguna dalam beberapa bulan terakhir, Twitter juga menghadapi tuduhan bahwa perusahaan itu tidak cukup bertindak untuk memberantas bot. Sebagian besar bot digunakan untuk spam komersial. Tapi banyak pula yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan politik di Asia. Saat pemilu presiden Filipina 2016, terjadi peningkatan jumlah bot dan troll terorganisir untuk mendukung tokoh yang akhirnya menang dalam pemilu yakni Rodrigo Duterte.

Di Myanmar, setelah otoritas setempat menggelar operasi militer terhadap minoritas Muslim Rohingya, terjadi peningkatan jumlah akun Twitter yang kicauannya mendukung pemerintah. Padahal Twitter merupakan platform media sosial yang jarang digunakan masyarakat Myanmar.

Dalam waktu dekat, Indonesia, Kamboja, Malaysia dan Thailand akan menggelar pemilu. Maka, fenomena Botmageddon tidak bisa dianggap sepele. Juru bicara Twitter pusat menyatakan bahwa para pakar sedang mengamati fenomena ini dan akan mengambil langkah yang diperlukan terhadap semua akun yang melanggar aturan Twitter. Menurut sumber di Twitter, perusahaaan medsos yang didirikan Jack Dorsey pada 2006 ini meyakini bahwa sebagian besar akun baru yang dianggap anonim tersebut adalah akun asli, organik alias ada manusia penggunanya.

"Pengguna akun baru ini tampaknya ingin menjadi follower para tokoh ternama di penjuru Asia saat mereka baru mendaftar. Ini sesuatu yang tetap kami perhatkan. Tapi untuk sekarang, sepertinya ini masalah standar terkait pendaftaran seperti sign-up dan onboarding," papar sumber itu.

Meski demikian, banyak pakar yang tidak yakin dengan penjelasan tersebut. "Apakah benar-benar ada pengguna baru yang asli dan membiarkan dirinya memiliki ciri-ciri akun palsu?" tanya Raymond Serrato, pakar di Democracy Reporting International yang memantau akun-akun mencurigakan. Serrato menekankan, akun-akun palsu ini merupakan ancaman meski sekarang tidak begitu aktif. "Akun-akun itu dapat digunakan di kemudian hari untuk memopulerkan tweet tertentu, membajak tagar hingga mempermalukan orang," kata dia.

Persoalan akun anonim atau akun palsu ini sangat sensitif bagi Twitter karena dapat merusak kepercayaan sekitar 330 juta pengguna aktif mereka. Pada 2014, laporan Twitter kepada Komisi Bursa dan Sekuritas Amerika Serikat menyatakan sekitar 5-8,5% pengguna mereka adalah bot. Namun, hasil riset Emilio Ferrara, seorang profesor di University of Southern California menunjukkan bahwa jumlah bot di Twitter dapat naik dua kali lipat menjadi 9-15%.

Pertengahan April 2018, Pew Research Center baru saja merilis laporan yang menganalisis 1,2 juta tweet bahasa Inggris berisi link ke situs populer. Dua per tiga tweet itu diperkirakan dari akun-akun bot. Twitter Audit Report, perusahaan pihak ketiga yang memindai follower menggunakan software khusus, mengungkapkan bahwa sebanyak 16 juta dari 51 juta follower Presiden AS Donald Trump adalah tidak nyata alias bot.

Jennifer Grygiel, pakar media sosial di Syracuse University, New York, mengungkapkan, peran medsos dalam pemilu presiden AS 2016 memberi "cetak biru" kepada banyak pihak di lingkup global untuk menirunya. "Aktor-aktor buruk di penjuru dunia telah benar-benar mengikuti potensi media sosial untuk mempengaruhi proses politik," sesalnya.

Jumlah akun Twitter, menurut Grygiel, memang lebih kecil dibandingkan jumlah pengguna Facebook yang mencapai dua miliar akun. Namun Twitter berpotensi tinggi mempengaruhi masyarakat karena banyak kalangan pembuat opini menjadi penggunanya dan rajin berkicau/re-tweet. Misalnya kalangan akademisi, jurnalis dan politisi. Dia mengumpamakan keberadaan bot sebagai kanker. Siap menggerogoti kapan saja dan menimbulkan bencana besar.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3244 seconds (0.1#10.140)
pixels