Rebut Frekuensi 2.3 GHz, Telkomsel Bakal Raup Untung Besar
A
A
A
JAKARTA - Jika tak ada aral melintang, bisa dipastikan Telkomsel akan menjadi pemenang lelang frekuensi radio 2.3 GHz dengan harga harga Rp1,007 triliun. Jika pekan ini pemerintah sudah mengeluarkan surat penetapan pemenang lelang, maka Telkomsel sudah dapat segera memanfaatkan frekuensi radio 2.3 GHz.
Namun sebagian pihak menilai harga lelang frekuensi radio 2.3 GHz yang harus dibayarkan oleh Telkomsel terbilang mahal. Lalu bagaimanakah sebenarnya harga frekuensi radio 2.3 GHz di mata pengamat ekonomi?
Kahlil Rowter, Pengamat Ekonomi dan Chief Economist dari Danareksa menilai, harga lelang frekuensi radio 2.3 GHz yang dimenangkan oleh Telkomsel terbilang wajar dan relatif murah. Dia menilai kebutuhan akan frekuensi radio bagi perusahaan telekomunikasi sangat besar.
Terlebih lagi frekuensi yang dilelang oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika merupakan sumberdaya terbatas dan kanal terakhir yang terasedia di frekuensi radio 2.3 GHz. Kahlil optimistis dengan menggeluarkan dana Rp1 triliun untuk mendapatkan 30 Mhz frekuensi radio 2.3 GHz, maka potensi pendapatan Telkomsel dikemudian hari akan mengingkat.
“Saya optimistis mungkin dalam waktu beberapa tahun saja Telkomsel sudah dapat balik modal. Sehingga masih masuk akal harga lelang yang dimenangkan oleh Telkomsel. Jika dihitung secara cermat, maka biaya frekuensi yang dikeluarkan oleh Telkomsel tidak lebih dari 10% pendapatannya. Hingga saat ini frekuensi di Indonesia masih terbilang murah dan tak akan membebani konsumen,” papar Kahlil, Jumat (20/10/2017).
Analisa Kahlil tadi bukanlah tanpa dasar. Jika merujuk laporan keuangan Telkom di tahun 2016, disebutkan kepemilikan frekuensi Telkomsel hanya 52.5 Mhz. Pendapatan yang bisa dibukukan dari frekuensi tersebut mencapai Rp86,7 triliun dengan laba bersih mencapai Rp28,1 triliun.
Sementara biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar frekuensi di tahun 2016 mencapai Rp3,6 triliun atau setara dengan Rp0,07 per Mhz. Sedangkan harga frekuensi 2.3 Ghz adalah Rp1,007 triliun untuk 30 Mhz atau setara Rp0,033 per Mhz.
Hal senada dikatakan Muhammad Ridwan Effendi, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB. Dikatakannya, harga frekuensi yang dimenangkan oleh Telkomsel masih lebih murah jika dibandingkan negara di kawasan Asia Tenggara. “Bahkan harga yang mereka bayarkan bisa lima kali lebih mahal dibandingkan harga frekuensi yang dilelang di Indonesia,” ujar Ridwan.
Karena murahnya harga frekuensi di Indonesia, Kahlil meminta kepada Kementerian agar mengikat para operator telekomunikasi dengan komitmen pembangunan minimal 10 tahun. Sehingga pemerintah harus bisa memastikan yang akan memenangkan lelang frekuensi bukanlah broker.
Tetapi perusahaan yang benar-benar ingin mengembangkan usaha telekomunikasi di Indonesia. “Jika dikelola dengan baik maka frekuensi akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, negara dan perusahaan telekomunikasi. Namun jika niatnya hanya untuk dijual kembali maka bisa dipastikan mereka akan mengalami kerugian. Sehingga harus bisa dipastikan perusahaan yang memenangkan lelang frekuensi harus memiliki perencanaan minimal 10 tahun ke depan. Saya berharap lelang frekuensi 2.1 Ghz mendatang juga bisa memberikan harga yang terbaik bagi negara,” ujar Ridwan.
Namun sebagian pihak menilai harga lelang frekuensi radio 2.3 GHz yang harus dibayarkan oleh Telkomsel terbilang mahal. Lalu bagaimanakah sebenarnya harga frekuensi radio 2.3 GHz di mata pengamat ekonomi?
Kahlil Rowter, Pengamat Ekonomi dan Chief Economist dari Danareksa menilai, harga lelang frekuensi radio 2.3 GHz yang dimenangkan oleh Telkomsel terbilang wajar dan relatif murah. Dia menilai kebutuhan akan frekuensi radio bagi perusahaan telekomunikasi sangat besar.
Terlebih lagi frekuensi yang dilelang oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika merupakan sumberdaya terbatas dan kanal terakhir yang terasedia di frekuensi radio 2.3 GHz. Kahlil optimistis dengan menggeluarkan dana Rp1 triliun untuk mendapatkan 30 Mhz frekuensi radio 2.3 GHz, maka potensi pendapatan Telkomsel dikemudian hari akan mengingkat.
“Saya optimistis mungkin dalam waktu beberapa tahun saja Telkomsel sudah dapat balik modal. Sehingga masih masuk akal harga lelang yang dimenangkan oleh Telkomsel. Jika dihitung secara cermat, maka biaya frekuensi yang dikeluarkan oleh Telkomsel tidak lebih dari 10% pendapatannya. Hingga saat ini frekuensi di Indonesia masih terbilang murah dan tak akan membebani konsumen,” papar Kahlil, Jumat (20/10/2017).
Analisa Kahlil tadi bukanlah tanpa dasar. Jika merujuk laporan keuangan Telkom di tahun 2016, disebutkan kepemilikan frekuensi Telkomsel hanya 52.5 Mhz. Pendapatan yang bisa dibukukan dari frekuensi tersebut mencapai Rp86,7 triliun dengan laba bersih mencapai Rp28,1 triliun.
Sementara biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar frekuensi di tahun 2016 mencapai Rp3,6 triliun atau setara dengan Rp0,07 per Mhz. Sedangkan harga frekuensi 2.3 Ghz adalah Rp1,007 triliun untuk 30 Mhz atau setara Rp0,033 per Mhz.
Hal senada dikatakan Muhammad Ridwan Effendi, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB. Dikatakannya, harga frekuensi yang dimenangkan oleh Telkomsel masih lebih murah jika dibandingkan negara di kawasan Asia Tenggara. “Bahkan harga yang mereka bayarkan bisa lima kali lebih mahal dibandingkan harga frekuensi yang dilelang di Indonesia,” ujar Ridwan.
Karena murahnya harga frekuensi di Indonesia, Kahlil meminta kepada Kementerian agar mengikat para operator telekomunikasi dengan komitmen pembangunan minimal 10 tahun. Sehingga pemerintah harus bisa memastikan yang akan memenangkan lelang frekuensi bukanlah broker.
Tetapi perusahaan yang benar-benar ingin mengembangkan usaha telekomunikasi di Indonesia. “Jika dikelola dengan baik maka frekuensi akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, negara dan perusahaan telekomunikasi. Namun jika niatnya hanya untuk dijual kembali maka bisa dipastikan mereka akan mengalami kerugian. Sehingga harus bisa dipastikan perusahaan yang memenangkan lelang frekuensi harus memiliki perencanaan minimal 10 tahun ke depan. Saya berharap lelang frekuensi 2.1 Ghz mendatang juga bisa memberikan harga yang terbaik bagi negara,” ujar Ridwan.
(mim)