Penurunan Tarif Interkoneksi Dukung Iklim Investasi

Rabu, 31 Agustus 2016 - 18:29 WIB
Penurunan Tarif Interkoneksi Dukung Iklim Investasi
Penurunan Tarif Interkoneksi Dukung Iklim Investasi
A A A
JAKARTA - Penolakan kebijakan penurunan tarif interkoneksi dengan mengusung isu kepentingan asing versus nasionalisme dinilai tidak etis dan mengganggu iklim investasi yang sedang dibangun pemerintah.

Pasalnya, hampir seluruh perusahaan telekomunikasi di Indonesia, bahkan PT Telkomsel dimiliki pemegang saham asing, baik mayoritas maupun minoritas.

Komisioner BRTI periode 2009-2015 Nonot Harsono menilai investasi asing yakni Singapura, Qatar, Malaysia, dan lainnya di industri telekomunikasi di Indonesia terjadi atas undangan pemerintah negara ini.

"Maka tentu tidak elok jika isu asing versus nasionalisme diramaikan ketika negeri ini masih membutuhkan investor luar negeri. Yang utama harus disusun adalah skenario kerja sama global yang saling menghormati dan saling memberi keuntungan," kata dia kepada wartawan di Jakarta, Rabu (31/8/2016).

Dia mencontohkan, kepemilikan saham PT Telkomsel sekitar 35% dikuasai Singapore Telecommunications Limited (Singtel) asal Singapura, demikian juga Indosat yang dimiliki Ooredoo asal Qatar, dan Xl yang dimiliki Axiata asal Malaysia.

Dalam Undang-Undang No 36 Tahun 1999 Pasal 25 dan PP No 52 thn 2000 Pasal 20-25 dijelaskan, interkoneksi adalah kewajiban bagi setiap network operator untuk saling menyambung jaringannya satu sama lain.

Hal ini untuk menjamin hak masyarakat untuk bisa saling menelepon dari dan ke operator manapun. "Dengan interkoneksi yang tidak dihambat, masyarakat bisa bebas untuk memilih menjadi pelanggan dari operator mana saja, sehingga persaingan pelayanan bisa terjadi," ujarnya.

Nonot menilai, karena interkoneksi bisa digunakan untuk menghambat persaingan, maka negara hadir dengan mewajibkan interkoneksi. Jadi, interkoneksi ini bukan jenis layanan atau tidak termasuk jenis jasa telekomunikasi.

Dia menjelaskan, interkoneksi adalah menyambungkan antar jaringan supaya pelanggan jaringan yang satu bisa berkomunikasi dengan pelanggan dari jaringan lainnya (tidak terisolasi di satu jaringan).

Di sisi lain, lanjut Nonot, isu kerugian negara yang berkembang akibat dari evaluasi berkala tarif interkoneksi, terkesan berlebihan dan tidak berdasar. "Isu kerugian negara (akibat evaluasi berkala tarif interkoneksi) itu lebay (berlebihan)," paparnya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7064 seconds (0.1#10.140)