Monopoli Operator Besar di Luar Jawa Jadi Tantangan Pemain Kecil
A
A
A
JAKARTA - Dominasi operator telekomunikasi skala besar di luar Jawa yang mengarah pada monopoli menjadi tantangan tersendiri bagi pemain-pemain lain yang lebih kecil. Meski membuat sulit bersaing di luar Jawa, para pemain kecil mengakui kekuatan infrastruktur dan koneksi dari operator telekomunikasi besar di luar Jawa.
Menurut Division Head Device Planning and Management PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) Sukaca Purwakardjono, hal ini adalah tantangan tersendiri bagi perusahaannya. Seperti diketahui, Smartfren bisa dikatakan sebagai pemain baru di industri ini di Tanah Air, sehingga isu terkait monopoli bisa dijadikan cambuk pelecut guna meningkatkan semangat perusahaan, khususnya dalam memperluas cakupan jaringan di luar Pulau Jawa.
"Kalau ada operator yang mendominasi dan bisa menjual lebih mahal, ya mungkin itu keunggulannya. Ini tantangan bagi kami untuk bisa jadi lebih bagus," tuturnya, Jakarta, Minggu (26/6/2016).
Sukaca melihat situasi saat ini bahwa operator besar seperti PT Telkomsel lebih dahulu hadir, sehingga jaringan perusahaan itu dinilai wajar jika lebih kuat dibanding Smartfren. Pihaknya sendiri dikatakan tengah berkeinginan menanam modal pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Tanah Air.
Namun dia menilai, salah satu kendala yang dirasakan yakni masalah koneksi. Infrastruktur untuk membangun hubungan jaringan antar pulau seperti Jawa dengan Papua sangat mahal.
Bahkan, banyak operator menggunakan jasa satelit untuk melakukan hal itu, dan tentunya dengan biaya tinggi. "Cost sangat mahal dan hanya bisa dilakukan operator besar," imbuh dia.
Sebelumnya, sejumlah pengamat kebijakan publik dan penggiat telekomunikasi menilai dominasi operator telekomunikasi terbesar di luar Jawa yang mengarah pada monopoli cenderung merugikan konsumen. Karena itu, dibutuhkan intervensi pemerintah berupa penurunan tarif interkoneksi yang tepat.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai, jika kebijakan pemerintah tidak tepat, monopoli di luar Pulau Jawa terjadi, maka yang paling dirugikan atas tindakan operator itu adalah konsumen. Operator yang dimaksud adalah PT Telkomsel yang dikenal dengan tarif mahal.
Memang, operator tersebut memiliki keunggulan jangkauan terluas di Tanah Air, dengan jaringan yang menumpang pada induk usahanya. Namun, keuntungan yang didapat dari masyarakat Indonesia terlalu beaar. "KPPU harus buat fatwa karena betul konsumen tidak punya pilihan," ujar Agus.
Secara terpisah, Heru Sutadi, pengamat telekomunikasi, melihat pemerintah harus berani menurunkan tarif interkoneksi secara signifikan mengingat seluruh provider telekomunikasi di Indonesia tengah berkembang dan semakin efisien. Hanya saja, iklim berkompetisi di bidang ini seakan tak sejalan dengan perkembangan itu.
Menurut dia, inilah tugas pemerintah dalam menjamin adanya persaingan usaha yang sehat di dalam negeri. "Buah dari kompetisi kan kualitas harga yang bersaing. Dominasi di wilayah tertentu seringkali membuat operator menetapkan tarif seenaknya. Nah ini kan bukti kompetisi tak terjadi, pemerintah wajib intervensi," ujar Heru.
Menurut Division Head Device Planning and Management PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) Sukaca Purwakardjono, hal ini adalah tantangan tersendiri bagi perusahaannya. Seperti diketahui, Smartfren bisa dikatakan sebagai pemain baru di industri ini di Tanah Air, sehingga isu terkait monopoli bisa dijadikan cambuk pelecut guna meningkatkan semangat perusahaan, khususnya dalam memperluas cakupan jaringan di luar Pulau Jawa.
"Kalau ada operator yang mendominasi dan bisa menjual lebih mahal, ya mungkin itu keunggulannya. Ini tantangan bagi kami untuk bisa jadi lebih bagus," tuturnya, Jakarta, Minggu (26/6/2016).
Sukaca melihat situasi saat ini bahwa operator besar seperti PT Telkomsel lebih dahulu hadir, sehingga jaringan perusahaan itu dinilai wajar jika lebih kuat dibanding Smartfren. Pihaknya sendiri dikatakan tengah berkeinginan menanam modal pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Tanah Air.
Namun dia menilai, salah satu kendala yang dirasakan yakni masalah koneksi. Infrastruktur untuk membangun hubungan jaringan antar pulau seperti Jawa dengan Papua sangat mahal.
Bahkan, banyak operator menggunakan jasa satelit untuk melakukan hal itu, dan tentunya dengan biaya tinggi. "Cost sangat mahal dan hanya bisa dilakukan operator besar," imbuh dia.
Sebelumnya, sejumlah pengamat kebijakan publik dan penggiat telekomunikasi menilai dominasi operator telekomunikasi terbesar di luar Jawa yang mengarah pada monopoli cenderung merugikan konsumen. Karena itu, dibutuhkan intervensi pemerintah berupa penurunan tarif interkoneksi yang tepat.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai, jika kebijakan pemerintah tidak tepat, monopoli di luar Pulau Jawa terjadi, maka yang paling dirugikan atas tindakan operator itu adalah konsumen. Operator yang dimaksud adalah PT Telkomsel yang dikenal dengan tarif mahal.
Memang, operator tersebut memiliki keunggulan jangkauan terluas di Tanah Air, dengan jaringan yang menumpang pada induk usahanya. Namun, keuntungan yang didapat dari masyarakat Indonesia terlalu beaar. "KPPU harus buat fatwa karena betul konsumen tidak punya pilihan," ujar Agus.
Secara terpisah, Heru Sutadi, pengamat telekomunikasi, melihat pemerintah harus berani menurunkan tarif interkoneksi secara signifikan mengingat seluruh provider telekomunikasi di Indonesia tengah berkembang dan semakin efisien. Hanya saja, iklim berkompetisi di bidang ini seakan tak sejalan dengan perkembangan itu.
Menurut dia, inilah tugas pemerintah dalam menjamin adanya persaingan usaha yang sehat di dalam negeri. "Buah dari kompetisi kan kualitas harga yang bersaing. Dominasi di wilayah tertentu seringkali membuat operator menetapkan tarif seenaknya. Nah ini kan bukti kompetisi tak terjadi, pemerintah wajib intervensi," ujar Heru.
(akr)