Tarif Interkoneksi Tak Tepat Picu Iklim Usaha Tidak Sehat

Kamis, 23 Juni 2016 - 18:58 WIB
Tarif Interkoneksi Tak Tepat Picu Iklim Usaha Tidak Sehat
Tarif Interkoneksi Tak Tepat Picu Iklim Usaha Tidak Sehat
A A A
JAKARTA - Kebijakan penurunan tarif interkoneksi yang tidak tepat dinilai bisa memicu praktik monopoli terutama di luar Pulau Jawa. Kondisi ini akan merugikan konsumen, sehingga perlu mendapat perhatian khusus dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Penegasan tersebut disampaikan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio terkait rencana pemerintah menurunkan tarif interkoneksi. Menurutnya, jika kebijakan pemerintah tidak tepat, monopoli di luar Pulau Jawa terjadi, maka yang paling dirugikan atas tindakan operator itu adalah konsumen.

Memang, operator itu memiliki keunggulan jangkauan terluas di Tanah Air, dengan jaringan yang menumpang pada induk usahanya. Namun kondisi tersebut malah dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan tinggi dari masyarakat Indonesia. "KPPU harus buat fatwa karena betul konsumen tidak punya pilihan," ujarnya, Kamis (23/6).

Ada perbandingan harga yang menggambarkan betapa mahalnya tarif telepon Telkomsel. Misalnya di Papua, operator itu mengambil keuntungan berkali-kali lipat dibanding pesaingnya, Indosat Ooredoo. Rinciannya, pelanggan dikenai biaya Rp1.000/60 detik ketika menelpon sesama pelanggan Telkomsel.

Kondisi ini berbeda jauh dengan Indosat yang hanya mengganjar pelanggan dengan tarif Rp1/detik untuk menelpon sesama pengguna Indosat. Selain itu, di Pulau Jawa perbandingan harga antar dua operator telekomunikasi ini terlampau jauh. Indosat mematok harga Rp1.000/menit menelepon ke semua operator, sementara Telkomsel mengenakan Rp508-Rp1.435/30 detik dengan layanan serupa.

Banyak pihak menyingkirkan kenyataan ini dengan dalih nasionalisme, bahwa Telkomsel adalah perusahaan pelat merah. Namun dijelaskan Agus, penilaian ini tak didasari penyelidikan lebih jauh.

Pasalnya, ada saham di perusahaan itu yang dimiliki pemodal asing. "Kalau soal nasionalisme, Telkomsel 30% lebih juga ada asingnya," kata dia.

Solusinya, regulator telekomunikasi diminta menyikapi serius mengenai hal ini. Terlebih menurut data, dominasi Telkomsel mencapai 80% di pasar, yang bisa diartikan sebagai praktik monopoli karena menerabas ketentuan UU Persaingan Usaha, yakni hanya sebesar 50%. Dengan kondisi demikian, operator lain akan tetap ditekan dan tidak bisa berkembang.

Padahal, tujuan akhir dari penyediaan jasa adalah keuntungan konsumen. Dengan persaingan sehat dan pengawasan ketat pemerintah, tujuan itu bisa dicapai. "Dari dulu saya sudah ingatkan kemungkinan adanya dominasi operator, tapi pemerintah tak kunjung ada action konkret," kata Agus.

Sejumlah pengamat dan penggiat telekomunikasi juga menilai penurunan tarif interkoneksi secara signifikan akan mencegah potensi monopoli terutama di luar Pulau Jawa. Soalnya, ketika di suatu daerah di Indonesia hanya satu operator yang memiliki jaringan prima, maka penentuan tarif berpotensi menjadi tak wajar.

Penilaian tersebut disampaikan Heru Sutadi, pengamat telekomunikasi saat ditanyai terkait rencana pemerintah menurunkan tarif interkoneksi. "Dominasi di wilayah tertentu seringkali membuat operator menetapkan tarif seenaknya. Nah ini kan bukti kompetisi tak terjadi, pemerintah wajib intervensi," ujarnya.

Menurut dia, inilah tugas pemerintah dalam menjamin adanya persaingan usaha yang sehat di dalam negeri. "Buah dari kompetisi kan kualitas harga yang bersaing," paparnya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7032 seconds (0.1#10.140)