Biaya Interkoneksi Turun, Belum Tentu Untungkan Pelanggan

Selasa, 07 Juni 2016 - 16:17 WIB
Biaya Interkoneksi Turun,...
Biaya Interkoneksi Turun, Belum Tentu Untungkan Pelanggan
A A A
JAKARTA - Sebuah pernyataan yang mengatakan kalau penurunan tarif interkoneksi disangsikan bisa berdampak langsung kepada turunnya tarif ritel untuk percakapan lintas operator seluler yang ditawarkan kepada pelanggan.

Ya, kalimat diatas pernah dikatakan Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah. Beliau akhirnya angkat bicara mengenai rencana pemerintah tentang perubahan tarif baru interkoneksi, yang kabarnya akan diturunkan sebesar 25%.

Saat diwawancarai Sindonews, Ririek berpendapat kalau tarif interkoneksi cuma sebagian kecil (sekitar 15%) dari variable komponen tarif retail secara keseluruhan yang terdiri dari beberapa variable biaya. Misalnya, seperti service activation fee, marketing fee, dan margin.

Seperti diketahui, biaya interkoneksi merupakan biaya yang harus dibayarkan oleh operator asal atas penggunaan jaringan ke operator lain, saat pelanggan melakukan panggilan lintas operator. Misalnya dari Telkomsel ke operator lain seperti ke Indosat maupun XL Axiata.

Sebagai ilustrasi perhitungan, saat ini tarif ritel yang dibebankan operator kepada pelanggan berkisar di angka Rp 1.500 – Rp 2.000 per panggilan off-net (panggilan lintas operator) per menit.

Ririek pun berpendapat bahwa jika pemerintah ingin menurunkan tarif ritel, maka tidak akan signifikan dengan cara memangkas biaya interkoneksi. Karena sejak tahun 2008, penurunan biaya interkoneksi itu tidak pernah berdampak signifikan kepada penurunan tarif ritel off-net.

"Perhitungan tarif interkoneksi sebenarnya harus berdasarkan cost based. Hal ini menjadi common practice di perhitungan interkoneksi sebelumnya maupun benchmark di berbagai negara lain. Urutannya adalah, setiap operator memberikan data biaya penggelaran jaringan masing-masing kepada regulator, dimana setelah itu regulator akan melakukan audit terhadap angka yang diserahkan dari operator," ujarnya.

Lebih lanjut Ririek menambahkan, perhitungan tarif interkoneksi harus dilakukan secara komprehensif dan bersifat adil untuk semua pihak. Tidak boleh ada operator yang diuntungkan dan dirugikan dalam berinterkoneksi.

"Kami berharap agar tarif interkoneksi yang baru memberikan dampak yang lebih baik kepada perusahaan maupun industri dengan perhitungan yang fair dan transparan," papar Ririek lebih lanjut.

Ririek berharap, pemerintah sebagai regulator seharusnya dapat menjaga iklim industri sehingga operator telekomunikasi tetap bisa sustainable dan tetap bisa memberikan tarif yang terjangkau (affordable) sehingga operator tersebut terus membangun dan memperbaiki kualitas layanannya.

Operator Susah untuk Balik Modal

Dalam kesempatan terpisah, Sekjen Pusat Kajian kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Muhammad Ridwan Effendi mengatakan, bila pemerintah tetap melakukan penurunan ini secara drastis tanpa perhitungan biaya yang mencerminkan kondisi biaya jaringan industri sebenarnya, ia memprediksi dalam jangka panjang hal ini akan berdampak kepada tidak mampunya operator melakukan reinvestasi.

"Yang namanya biaya interkoneksi itu adalah recovery cost dari jaringan alias harga dasarnya dari jaringan. Nah, kalau dibayar di bawah biaya itu mana bisa operator balik modal. Dalam jangka panjang operator akan tidak mampu melakukan reinvestasi jaringan," jelasnya saat berbincang dengan Sindonews, Rabu (1/6/2016).

Hal senada juga pernah disampaikan oleh Ketua Program Studi Telekomunikasi ITB Ian Yosef saat berbincang beberapa waktu lalu. Menurutnya, regulasi yang ketat di bidang retail dan keinginan pemerintah untuk menurunkan tarif interkoneksi secara signifikan jangan sampai membuat operator berkurang kemampuannya untuk membangun jaringan ke daerah baru dan memperbaiki kualitas layanannya.

"Hal itu hanya bisa dicapai apabila kebijakan tersebut betul-betul berdasarkan biaya masing-masing operator," pungkasnya
(dol)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1826 seconds (0.1#10.140)