Uji Publik Rawan Dipolitisasi, DPR Peringatkan KPI
A
A
A
JAKARTA - Rencana Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan uji publik izin Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) hingga kini masih menjadi polemik. Bahkan, DPR memberikan peringatan agar apa yang terjadi dapat dipertanggung jawabkan.
Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi I/DPR RI, Arief Suditomo usai RDP dengan Kemenkominfo di Gedung DPR, Kamis (28/1/2016) malam. "Untuk melakukan uji publik, harus memiliki tingkat metodologi yang bisa diuji dan di pertanggung jawabkan. Saya ingin peringatkan kepada KPI jangan sampai hal ini menjadi sosial pressure melalui sosial media untuk mendorong kelompok tertentu yang pada dasarnya bisa saja direkayasa menjadi suatu refleksi kesimpulan dari KPI," paparnya.
Arief menambahkan, dalam hal ini DPR menuntut pertanggung jawaban KPI, apakah uji publik ini akan menjadi jawaban dalam proses pengambilan keputusan. "Sedangkan metodologi yang digunakan belum bisa dipertanggung jawabkan," ucapnya lagi.
Saat ditanyakan apakah uji publik yang dilakukan oleh KPI rawan politisasi, secara tersirat Arief mengiyakan. "Oleh karena itu saya bilang, uji publik ini harus dikawal dengan baik. Jangan sampai ada penumpang gelap yang masuk dan mengotori proses pengambilan keputusan dan proses pengambilan kesimpulan nanti," ungkapnya.
Seperti diketahui, dalam Pasal 62 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama pemerintah menjadi regulator penyiaran. Ketentuan itu kemudian, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tertanggal 22 Juli 2004, dinilai sebagai tidak konstitusional.
Menurut putusan itu, sesuai dengan prinsip pembatasan kekuasaan negara hukum, KPI tidak boleh bersama pemerintah menyusun peraturan pemerintah dalam penyelenggaraan penyiaran. Dengan putusan MK itu, pemerintah--dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika-–menjadi regulator penyiaran.
Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi I/DPR RI, Arief Suditomo usai RDP dengan Kemenkominfo di Gedung DPR, Kamis (28/1/2016) malam. "Untuk melakukan uji publik, harus memiliki tingkat metodologi yang bisa diuji dan di pertanggung jawabkan. Saya ingin peringatkan kepada KPI jangan sampai hal ini menjadi sosial pressure melalui sosial media untuk mendorong kelompok tertentu yang pada dasarnya bisa saja direkayasa menjadi suatu refleksi kesimpulan dari KPI," paparnya.
Arief menambahkan, dalam hal ini DPR menuntut pertanggung jawaban KPI, apakah uji publik ini akan menjadi jawaban dalam proses pengambilan keputusan. "Sedangkan metodologi yang digunakan belum bisa dipertanggung jawabkan," ucapnya lagi.
Saat ditanyakan apakah uji publik yang dilakukan oleh KPI rawan politisasi, secara tersirat Arief mengiyakan. "Oleh karena itu saya bilang, uji publik ini harus dikawal dengan baik. Jangan sampai ada penumpang gelap yang masuk dan mengotori proses pengambilan keputusan dan proses pengambilan kesimpulan nanti," ungkapnya.
Seperti diketahui, dalam Pasal 62 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama pemerintah menjadi regulator penyiaran. Ketentuan itu kemudian, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tertanggal 22 Juli 2004, dinilai sebagai tidak konstitusional.
Menurut putusan itu, sesuai dengan prinsip pembatasan kekuasaan negara hukum, KPI tidak boleh bersama pemerintah menyusun peraturan pemerintah dalam penyelenggaraan penyiaran. Dengan putusan MK itu, pemerintah--dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika-–menjadi regulator penyiaran.
(dyt)