Mencari Penerus Nokia dan Siemens dari Eropa untuk Melawan Apple dan Samsung
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dulu, pernah ada suatu masa dimana Eropa dikenal sebagai kawasan yang duduk di puncak industri telepon seluler ( ponsel ). Di masa-masa itu, seluruh ponsel buatan Eropa begitu mudah ditemukan dimana saja.
Nokia merupakan perangkat ponsel yang paling banyak digunakan orang. Siemens kerap jadi pusat pembicaraan karena teknologi yang ditawarkan. Belum lagi kolaborasi Sony dan Ericsson yang selalu menghadirkan ponsel-ponsel yang indah dan sedap dipandang mata.
Hanya saja semuanya dengan cepat berubah 180 derajat. Transformasi yang terjadi pada industri ponsel tiba-tiba saja bergerak cepat. Layar yang semula konvensional kini bisa dioperasionalkan dengan sistem sentuh. Ringtone yang semula polyphonic kini bisa diganti dengan lagu favorit.
Semuanya jadi serba ajaib. Sama ajaibnya karena tiba-tiba dominasi ponsel buatan Eropa seperti Nokia, Siemens, dan Ericsson langsung turun drastic. Posisi mereka tergantikan oleh merek-merek baru yang datang dari wilayah yang tidak pernah mereka sangka sebelumhya. Sebut saja Apple, Samsung, hingga Xiaomi.
Tidak hanya besar di dunia, Apple , Samsung, dan Xiaomi bahkan mendominasi Eropa. Statistik tidak bisa bohong. Saat ini di Eropa, Apple mendominasi pasar dengan market share 34,29 persen, Samsung di posisi kedua dengan perolehan pasar 31,21 persen, dan Xiaomi di posisi ketiga dengan capaian 13,97 persen.
Lalu kemana ponsel-ponsel buatan Eropa? Apa yang membuat produsen-produsen teknologi di benua biru itu tidak lagi mampu membuat ponsel-ponsel baru yang dominan. Setidaknya bisa menjegal dominasi Apple dan Samsung di wilayah mereka sendiri.
Jan Stryjak, Associate Director dari Counterpoint Research justru pesimis ponsel-ponsel dari Eropa bisa bangkit lagi. Menurutnya mustahil konsumen bisa melirik ponsel-ponsel buatan Eropa lagi karena ruangannya sudah penuh sesak.
Pasar ponsel pintar saat ini sudah disesaki oleh produk-produk dari Apple, Samsung, hingga Xiaomi. Dia bahkan meyakini produsen-produsen ponsle di Eropa malah akan kesulitan menandingi produk-produk buatan China.
“Mereka sudah sangat jauh ketinggalan. Sudah tidak ada lagi ruang untuk memberikan perlawanan,” ujar Jan Stryjak, dikutip The Next Web.
Dia mencontohkan saat ini memang ada dua ponsel buatan Eropa yang berupaya memberikan dinamika baru. Keduanya adalah ponsel buatan Belanda, Fairphone dan Nothing yang dibuat di London, Inggris.
Kedua ponsel tersebut memang berupaya memberikan ciri khas tersendiri di tengah gelombang besar Apple, Samsung, dan Xiaomi. Fairphone misalnya berupaya memposisikan diri sebagai ponsel yang ramah lingkungan. Ponsel mereka seratus persen bisa didaur ulang dan juga menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan. Tidak hanya itu mereka bahkan memberikan tawaran menarik yakni garansi lima tahun.
Meski punya positioning berbeda, Fairphone justru masih kesulitan di pasar ponsel dunia. Sejak dibentuk pada 2013 mereka hanya bisa menjual sebanyak 450.000 ponsel. Sangat jauh jika dibandingkan Apple, Samsung, dan Xiaomi yang bisa jual ratusan juta ponsel tiap tahunnya.
Hal itu memang sudah disadari oleh eksekutif Fairphone, Wayne Huang. Menurutnya dominasi ponsel Korea, Amerika Serikat, dan China memang lebih banyak digerakkan oleh gaya hidup. Faktor itu membuat banyak orang mudah tertarik terpengaruh.
“Untuk menandingi butuh biaya yang sangat besar. Hal itu justru akan berpengaruh pada harga ponsel itu sendiri,” jelas Wayne Huang.
Dia sendiri mengatakan saat ini Fairpoint berupaya mengambil ceruk pasar ponsel yang niche. Terutama mereka yang peduli akan lingkungan.
Bagaimana dengan Nothing? Nothing memang sedikit memberikan harapan karena mendapatkan resepsi yang kuat dari konsumen. Dua produk mereka Ear (1) dan Phone (1) berhasil mencuri perhatian para tech savvy.
Hanya saja pasar memang masih belum memberikan banyak perhatian buat Nothing. Mereka masih butuh jejak rekam yang panjang agar tawaran teknologi yang diberikan oleh Nothing bisa menyaingi apa yang diberikan Apple, Samsung, hingga Xiaomi. Lagipula seperti Fairphone, Nothing juga hanya puas dengan pasar yang segmented.
“Jadi punya ponsel buatan Eropa yang sangat dominan seperti dulu adalah sebuah keajaiban,” ungkap Jan Stryjak.
Lihat Juga: Revolusi Industri 4.0: Ericsson Tantang Inovator Bersaing di Hackathon Smart Manufacturing
Nokia merupakan perangkat ponsel yang paling banyak digunakan orang. Siemens kerap jadi pusat pembicaraan karena teknologi yang ditawarkan. Belum lagi kolaborasi Sony dan Ericsson yang selalu menghadirkan ponsel-ponsel yang indah dan sedap dipandang mata.
Hanya saja semuanya dengan cepat berubah 180 derajat. Transformasi yang terjadi pada industri ponsel tiba-tiba saja bergerak cepat. Layar yang semula konvensional kini bisa dioperasionalkan dengan sistem sentuh. Ringtone yang semula polyphonic kini bisa diganti dengan lagu favorit.
Semuanya jadi serba ajaib. Sama ajaibnya karena tiba-tiba dominasi ponsel buatan Eropa seperti Nokia, Siemens, dan Ericsson langsung turun drastic. Posisi mereka tergantikan oleh merek-merek baru yang datang dari wilayah yang tidak pernah mereka sangka sebelumhya. Sebut saja Apple, Samsung, hingga Xiaomi.
Tidak hanya besar di dunia, Apple , Samsung, dan Xiaomi bahkan mendominasi Eropa. Statistik tidak bisa bohong. Saat ini di Eropa, Apple mendominasi pasar dengan market share 34,29 persen, Samsung di posisi kedua dengan perolehan pasar 31,21 persen, dan Xiaomi di posisi ketiga dengan capaian 13,97 persen.
Lalu kemana ponsel-ponsel buatan Eropa? Apa yang membuat produsen-produsen teknologi di benua biru itu tidak lagi mampu membuat ponsel-ponsel baru yang dominan. Setidaknya bisa menjegal dominasi Apple dan Samsung di wilayah mereka sendiri.
Jan Stryjak, Associate Director dari Counterpoint Research justru pesimis ponsel-ponsel dari Eropa bisa bangkit lagi. Menurutnya mustahil konsumen bisa melirik ponsel-ponsel buatan Eropa lagi karena ruangannya sudah penuh sesak.
Pasar ponsel pintar saat ini sudah disesaki oleh produk-produk dari Apple, Samsung, hingga Xiaomi. Dia bahkan meyakini produsen-produsen ponsle di Eropa malah akan kesulitan menandingi produk-produk buatan China.
“Mereka sudah sangat jauh ketinggalan. Sudah tidak ada lagi ruang untuk memberikan perlawanan,” ujar Jan Stryjak, dikutip The Next Web.
Dia mencontohkan saat ini memang ada dua ponsel buatan Eropa yang berupaya memberikan dinamika baru. Keduanya adalah ponsel buatan Belanda, Fairphone dan Nothing yang dibuat di London, Inggris.
Kedua ponsel tersebut memang berupaya memberikan ciri khas tersendiri di tengah gelombang besar Apple, Samsung, dan Xiaomi. Fairphone misalnya berupaya memposisikan diri sebagai ponsel yang ramah lingkungan. Ponsel mereka seratus persen bisa didaur ulang dan juga menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan. Tidak hanya itu mereka bahkan memberikan tawaran menarik yakni garansi lima tahun.
Meski punya positioning berbeda, Fairphone justru masih kesulitan di pasar ponsel dunia. Sejak dibentuk pada 2013 mereka hanya bisa menjual sebanyak 450.000 ponsel. Sangat jauh jika dibandingkan Apple, Samsung, dan Xiaomi yang bisa jual ratusan juta ponsel tiap tahunnya.
Hal itu memang sudah disadari oleh eksekutif Fairphone, Wayne Huang. Menurutnya dominasi ponsel Korea, Amerika Serikat, dan China memang lebih banyak digerakkan oleh gaya hidup. Faktor itu membuat banyak orang mudah tertarik terpengaruh.
“Untuk menandingi butuh biaya yang sangat besar. Hal itu justru akan berpengaruh pada harga ponsel itu sendiri,” jelas Wayne Huang.
Dia sendiri mengatakan saat ini Fairpoint berupaya mengambil ceruk pasar ponsel yang niche. Terutama mereka yang peduli akan lingkungan.
Bagaimana dengan Nothing? Nothing memang sedikit memberikan harapan karena mendapatkan resepsi yang kuat dari konsumen. Dua produk mereka Ear (1) dan Phone (1) berhasil mencuri perhatian para tech savvy.
Hanya saja pasar memang masih belum memberikan banyak perhatian buat Nothing. Mereka masih butuh jejak rekam yang panjang agar tawaran teknologi yang diberikan oleh Nothing bisa menyaingi apa yang diberikan Apple, Samsung, hingga Xiaomi. Lagipula seperti Fairphone, Nothing juga hanya puas dengan pasar yang segmented.
“Jadi punya ponsel buatan Eropa yang sangat dominan seperti dulu adalah sebuah keajaiban,” ungkap Jan Stryjak.
Lihat Juga: Revolusi Industri 4.0: Ericsson Tantang Inovator Bersaing di Hackathon Smart Manufacturing
(wsb)