Interferometri Seismik Teknologi Pemantau Gunung Berapi Terakurat
loading...
A
A
A
MALANG - Sebelum Gunung Semeru meletus dan mengeluarkan asap tebal warga sekitar sempat merasakan getaran. Getaran atau denyut sebuah gunung berapi dalam ilmu sains merupakan tanda bahwa gunung akan meletus.
Teknologi terbaru, interferometri seismik, inovasi paling baru untuk dapat mengetahui kapan gunung berapi akan meletus.
Seperti dilansir dari Conversation, dengan menggunakan getaran energi dari gelombang laut yang mengenai garis pantai kita dapat mengetahui gunung berapi tersebut.
Perubahan kecepatan getaran ini membantu kami memetakan jejak 3 dimensi dari sistem saluran magma gunung berapi.
Pemantauan ini menghasilkan “denyut” gunung berapi ketika sedang tidak aktif–suatu patokan untuk mendeteksi perubahan selama guncangan vulkanik.
Hal ini terbukti menjadi temuan yang sangat berharga untuk peringatan dini, serta untuk memprediksi di mana dan kapan letusan Gunung KÄ«lauea yang terjadi pada 3 Mei 2018.
“Denyut” Kīlauea meliputi siklus inflasi (mengembang) dan deflasi (mengempis) gunung berapi saat magma bergerak masuk dan keluar dari wilayah penyimpanan di puncak gunung berapi.
Kecepatan getaran yang bergerak melalui gunung berapi dapat diprediksi selama pengamatan siklus inflasi/deflasi ini.
Ketika gunung berapi mengembang, getaran bergerak lebih cepat melalui gunung berapi ketika batu dan magma terkompresi. Namun, ketika gunung berapi mengempis, kecepatan ini menurun.
Ketika gunung berapi berada dalam kondisi sangat tidak tenang, volume informasi yang didapat dari data digital dan pengamatan di darat sangat ekstrem.
Para ilmuwan cenderung mengandalkan pemantauan observasional terlebih dahulu, dan baru menggunakan data lainnya ketika memiliki waktu dan tenaga tambahan.
Namun, jumlah total data yang masuk (seperti dari satelit) sangat banyak, dan para ilmuwan sampai-sampai tidak bisa menganalisisnya. Pembelajaran mesin (machine learning) mungkin dapat membantu kami dalam hal ini.
Kecerdasan buatan (artificial intelligence) adalah pendatang baru dalam urusan memprediksi erupsi. Jaringan saraf (neural networks) dan algoritme lainnya dapat mengolah data bervolume tinggi yang juga kompleks untuk “belajar” membedakan antara sinyal-sinyal yang berbeda.
Sistem peringatan dini otomatis terhadap erupsi yang akan datang dengan menggunakan susunan sensor telah tersedia untuk beberapa gunung berapi saat ini, misalnya di Gunung Etna, Italia. Di masa depan, mungkin kecerdasan buatan akan membuat sistem ini lebih canggih lagi.
Deteksi dini terdengar amat mengagumkan bagi pihak berwenang yang bertanggung jawab atas keselamatan publik, tapi banyak ahli vulkanologi yang masih waspada akan penggunaannya.
Teknologi terbaru, interferometri seismik, inovasi paling baru untuk dapat mengetahui kapan gunung berapi akan meletus.
Seperti dilansir dari Conversation, dengan menggunakan getaran energi dari gelombang laut yang mengenai garis pantai kita dapat mengetahui gunung berapi tersebut.
Perubahan kecepatan getaran ini membantu kami memetakan jejak 3 dimensi dari sistem saluran magma gunung berapi.
Pemantauan ini menghasilkan “denyut” gunung berapi ketika sedang tidak aktif–suatu patokan untuk mendeteksi perubahan selama guncangan vulkanik.
Hal ini terbukti menjadi temuan yang sangat berharga untuk peringatan dini, serta untuk memprediksi di mana dan kapan letusan Gunung KÄ«lauea yang terjadi pada 3 Mei 2018.
“Denyut” Kīlauea meliputi siklus inflasi (mengembang) dan deflasi (mengempis) gunung berapi saat magma bergerak masuk dan keluar dari wilayah penyimpanan di puncak gunung berapi.
Kecepatan getaran yang bergerak melalui gunung berapi dapat diprediksi selama pengamatan siklus inflasi/deflasi ini.
Ketika gunung berapi mengembang, getaran bergerak lebih cepat melalui gunung berapi ketika batu dan magma terkompresi. Namun, ketika gunung berapi mengempis, kecepatan ini menurun.
Ketika gunung berapi berada dalam kondisi sangat tidak tenang, volume informasi yang didapat dari data digital dan pengamatan di darat sangat ekstrem.
Para ilmuwan cenderung mengandalkan pemantauan observasional terlebih dahulu, dan baru menggunakan data lainnya ketika memiliki waktu dan tenaga tambahan.
Namun, jumlah total data yang masuk (seperti dari satelit) sangat banyak, dan para ilmuwan sampai-sampai tidak bisa menganalisisnya. Pembelajaran mesin (machine learning) mungkin dapat membantu kami dalam hal ini.
Kecerdasan buatan (artificial intelligence) adalah pendatang baru dalam urusan memprediksi erupsi. Jaringan saraf (neural networks) dan algoritme lainnya dapat mengolah data bervolume tinggi yang juga kompleks untuk “belajar” membedakan antara sinyal-sinyal yang berbeda.
Sistem peringatan dini otomatis terhadap erupsi yang akan datang dengan menggunakan susunan sensor telah tersedia untuk beberapa gunung berapi saat ini, misalnya di Gunung Etna, Italia. Di masa depan, mungkin kecerdasan buatan akan membuat sistem ini lebih canggih lagi.
Deteksi dini terdengar amat mengagumkan bagi pihak berwenang yang bertanggung jawab atas keselamatan publik, tapi banyak ahli vulkanologi yang masih waspada akan penggunaannya.
(wbs)