Perlindungan Data Jadi Isu Keamanan Utama Pebisnis di Asia Tenggara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perusahaan keamanan siber Kaspersky baru saja merilis laporan hasil risetnya mengenai isu keamanan siber di kalangan pebisnis kawasan Asia Tenggara. Hasilnya, mereka menemukan fakta perlindungan data menjadi isu keamanan paling pertama atau prioritas yang terus dibahas.
Menurut Survei Risiko Keamanan TI Kaspersky, perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara sudah menyaksikan beragam kasus yang menunjukan rentannya perlindungan data. Hal ini berkaitan langsung dengan menjaga hubungan dengan mitra dan pelanggaran di era digital seperti sekarang.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap hampir 300 pengambil keputusan bisnis TI di Asia Tenggara tahun lalu, perusahaan paling banyak menaruh kecemasan pada serangan yang ditargetkan dan kehilangan data (34%).
Kemudian diikuti oleh kebocoran data elektronik dari sistem internal (31%). Sisanya, 22% responden juga cemas terhadap aksi spionase oleh kompetitor. Sekitar 2 dari 10 perusahaan di Asia Tenggara justru khawatir dalam mengindentifikasi dan memperbaiki kerentanan di sistem mereka.
"Dalam kurun waktu tahun terakhir kita telah menyaksikan akibat buruk yang ditimbulkan dari suksesnya aksi serangan siber. Mulai dari pencurian USD81 juta terhadap bank sentral hingga pelanggaran data kebocoran nama kasus HIV," tutur Global Manager of Asia Tenggara Kaspersky, Yeo Siang Tiong dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (20/4/2020).
Berkaca dari banyaknya kasus, kini diklaim oleh Yeo semakin banyak perusahaan lokal yang mulai memprioitaskan keamanan TI mereka. Riset Kaspersky menemukan rata-rata bisnis di wilayah Asia Tenggara menghabiskan USD14,1 juta untuk meningkatkan keamanan siber.
"84% dari para profesional yang kami survei juga mengonfirmasi rencana untuk meningkatkan anggaran pada area ini dalam tiga tahun ke depan," tuturnya.
Perusahaan yang disurvei juga mencatat peningkatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan keahlian keamanan spesialis menurut 46% responden. Sementara 39 responden mengaku demi mendukung ekspansi atau kegiatan bisnis baru.
Menurut Survei Risiko Keamanan TI Kaspersky, perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara sudah menyaksikan beragam kasus yang menunjukan rentannya perlindungan data. Hal ini berkaitan langsung dengan menjaga hubungan dengan mitra dan pelanggaran di era digital seperti sekarang.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap hampir 300 pengambil keputusan bisnis TI di Asia Tenggara tahun lalu, perusahaan paling banyak menaruh kecemasan pada serangan yang ditargetkan dan kehilangan data (34%).
Kemudian diikuti oleh kebocoran data elektronik dari sistem internal (31%). Sisanya, 22% responden juga cemas terhadap aksi spionase oleh kompetitor. Sekitar 2 dari 10 perusahaan di Asia Tenggara justru khawatir dalam mengindentifikasi dan memperbaiki kerentanan di sistem mereka.
"Dalam kurun waktu tahun terakhir kita telah menyaksikan akibat buruk yang ditimbulkan dari suksesnya aksi serangan siber. Mulai dari pencurian USD81 juta terhadap bank sentral hingga pelanggaran data kebocoran nama kasus HIV," tutur Global Manager of Asia Tenggara Kaspersky, Yeo Siang Tiong dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (20/4/2020).
Berkaca dari banyaknya kasus, kini diklaim oleh Yeo semakin banyak perusahaan lokal yang mulai memprioitaskan keamanan TI mereka. Riset Kaspersky menemukan rata-rata bisnis di wilayah Asia Tenggara menghabiskan USD14,1 juta untuk meningkatkan keamanan siber.
"84% dari para profesional yang kami survei juga mengonfirmasi rencana untuk meningkatkan anggaran pada area ini dalam tiga tahun ke depan," tuturnya.
Perusahaan yang disurvei juga mencatat peningkatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan keahlian keamanan spesialis menurut 46% responden. Sementara 39 responden mengaku demi mendukung ekspansi atau kegiatan bisnis baru.
(iqb)