Bukan Sekadar Jejaring Pertemanan

Sabtu, 14 November 2020 - 06:01 WIB
loading...
A A A
"Keunggulan aplikasi ini tidak ada pemeriksaan fakta, siapa pun bebas mengungkapkan pendapatnya. Bahkan petugas polisi tidak akan menangkap Anda jika mengungkapkan pendapat yang salah. Karena saya pikir itu yang diinginkan semua orang dan mereka sukai," kata CEO Parler John Matze seperti dilansir Forbes.

Yang menarik dari fitur Parler adalah verifikasinya. Jadi saat pengguna mengirim formulir identifikasi ke Parler, mereka akan menerima lencana yang menunjukkan kepada pengguna lain bahwa platform telah mengonfirmasi identitas mereka. Tentunya verifikasi ini berbeda dengan tanda biru yang diberikan oleh Twitter. Parler menggunakan lencana emas untuk verifikasinya.

"Sejak Juli 2020 aplikasi ini sudah memiliki 2,8 juta pengguna dan menerima sekitar 636.000 unduhan dari Google Play dan App Store di AS pada 8 November lalu. Ini melampaui bulan Juni yang hanya 119.000," tandas John.

Pada prinsipnya aplikasi ini sama dengan Twitter dan Facebook. Pada saat Anda mengunduhnya, platform ini akan meminta nomor telepon atau e-mail yang ingin Anda daftarkan. Setelah itu Anda pun bisa melihat informasi apa yang sedang tren di kanal ini. (Baca juga: Kriminolog: Hoaks Masuk Kategori Kejahatan karena Timbulkan Dampak Buruk)

"Penggunaan aplikasi ini sama dengan Twitter, hanya saja booming ketika aplikasi ini dijadikan sebagai media berkampanye. Aplikasi ini memiliki sistem penyensoran yang sama seperti Twitter seperti konten pornografi dan rumor palsu," papar pengamat medsos Hariqo Wibawa Satria.

Berdasarkan analisis Satria, ?Parler dan Twitter memiliki peran yang sama sebagai sarana komunikasi publik meskipun penggunaan Parler di Indonesia masih kalah dari penggunaan aplikasi pendahulunya. Namun kalangan konservatif di AS yang merupakan pendukung Donald Trump bertekad menumbangkan Twitter dan Facebook seperti layaknya Friendster.

Berkembangnya medsos di dunia dapat dimaknai dari sisi positif dan negatifnya. Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi mengungkapkan, penggunaan medsos sebaiknya tetap menjunjung tinggi etika dalam rangka menjalin hubungan sosial secara sehat serta terhindar dari kemungkinan jeratan hukum. "Apa yang tidak pantas dalam jalinan antarmanusia di medsos aturannya sama saja, yakni etika harus berlaku juga," tambahnya. (Baca juga: Gelombang PHK Tak Terbendung, Pengangguran di Bekasi Melonjak)

Tanpa adanya kesadaran dan strategi yang jelas dari pengguna medsos , akan muncul banyak kasus yang berkaitan dengan penipuan atau kasus kriminal lainnya. Heru menilai saat ini mayoritas masyarakat sudah mengerti menggunakan medsos, tetapi belum seluruhnya mengetahui cara yang benar dalam memanfaatkannya.

Masyarakat masih memerlukan edukasi untuk kembali memanfaatkan medsos sesuai dengan tujuan pembentukan aplikasi sosial tersebut. "Manfaat medsos sesungguhnya untuk membangun jaringan antarmanusia dengan mengedepankan saling menghormati satu sama lain. Namun faktanya masih banyak kasus yang berkaitan dengan etika media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi utama medsos belum banyak diphami," ucapnya.

Oleh karenanya tingkat kepercayaan informasi lewat medsos kini dipertanyakan. Terlebih dengan maraknya akun anonim sehingga banyak orang yang memanfaatkan bot untuk bekerja dalam mengangkat isu tertentu. (Lihat videonya: Berkunjung ke Aceh Jangan Lupa Nikmati Kopi Gayo)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2895 seconds (0.1#10.140)