Bukan Sekadar Jejaring Pertemanan

Sabtu, 14 November 2020 - 06:01 WIB
loading...
Bukan Sekadar Jejaring Pertemanan
Menurut data dari We Are Social, pengguna medsos di Indonesia telah mencapai 160 juta orang pada Januari 2020. Grafis/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Media sosial (medsos) terus berevolusi sesuai dengan kebutuhan zaman. Keberadaannya multifungsi, tidak sekadar untuk menjalin relasi, tetapi juga banyak menghasilkan keuntungan ekonomi, khususnya bagi para penggunanya.



Penggunaan medsos semakin berkembang pesat dari tahun ke tahun. Kini medsos seakan menjadi kebutuhan masyarakat untuk menjalin relasi, sarana komunikasi publik, baik lembaga maupun perusahaan, berbisnis, bahkan membangun citra dari pengguna. (Baca: Hikmah Menatap Langit, Ibadah Sunnah yang Dilupakan)

Menurut data dari We Are Social, pengguna medsos di Indonesia telah mencapai 160 juta orang pada Januari 2020. Jumlah ini meningkat 12 juta atau sekitar 8,1% antara April 2019 hingga Januari 2020. Penetrasi media sosial pun bertambah sebesar 59%.

Pemerhati komunikasi Aat Surya Safaat menjelaskan, medsos kini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam komunikasi informasi publik, bahkan sudah bisa dikatakan menggantikan media mainstream.

Perkembangan medsos sendiri disebut lahir pada era 1998. Saat itu banyak masyarakat yang mulai menggunakan medsos lebih dari untuk kehidupan pribadinya. Pada 1999 muncul situs yang dapat digunakan untuk membuat blog pribadi, yaitu Blogger. Para pengguna Blogger bisa memuat halaman blognya dengan berbagai informasi seperti pengalaman pribadi dan ide, kritik, serta pendapatnya mengenai topik persoalan hangat.

Lalu pada 2001 Wikipedia, dan esiklopedia daring terbesar di dunia, muncul. Berikutnya pada 2002 muncul Friendster sebagai situs anak muda pertama yang semula disediakan untuk tempat pencarian jodoh dan kehadirannya begitu fenomenal. Lalu muncul LinkedIn yang lahir pada 2003 dan bermanfaat untuk bertukar informasi mengenai pekerjaan. (Baca juga: Kemendikbud DIminta Segera Perjelas Formasi Ratusan Ribu Guru Honorer)

"Dibuka lewat Friendster, sejak 2003 terus bermunculan berbagai media sosial dengan bermacam keunggulan, keunikan, karakteristik, dan segmentasi beragam. Lalu booming-nya pada 2006 dan 2007 saat Barrack Obama menggunakan peran medsos untuk kampanye sebagai Presiden Amerika Serikat (AS)," papar Aat di Jakarta kemarin.

Hingga kini penggunaan medsos dalam berpolitik semakin masif, tidak hanya oleh Barrack Obama. Presiden AS Donald Trump pun memilih menggunakan medsos untuk melakukan komunikasi publik daripada konferensi pers resmi. Trump memanfaatkan Twitter dan Instagram. Keberhasilannya pun memicu perkembangan medsos baru yang tengah ramai di AS, yaitu Parler.

Aplikasi Parler diluncurkan pada 2018 dan telah banyak diunduh hingga 1 juta kali. Sama seperti Twitter dan Facebook, aplikasi ini memungkinkan penggunanya untuk berbagi komentar, foto, dan berita kepada pengikutnya. Bila dibandingkan dengan Facebook yang sudah diunduh sebanyak 175 juta dan Twitter 50 juta, jumlah pengunduhan Parler masih terbilang kecil. Namun Parler mengusung kebebasan berekspresi, berbeda dengan Twitter dan Facebook yang cenderung berpihak kepada kelompok tertentu. (Baca juga: Ini Manfaat Mengonsumsi 2 Pisang Dalam Sehari)

"Keunggulan aplikasi ini tidak ada pemeriksaan fakta, siapa pun bebas mengungkapkan pendapatnya. Bahkan petugas polisi tidak akan menangkap Anda jika mengungkapkan pendapat yang salah. Karena saya pikir itu yang diinginkan semua orang dan mereka sukai," kata CEO Parler John Matze seperti dilansir Forbes.

Yang menarik dari fitur Parler adalah verifikasinya. Jadi saat pengguna mengirim formulir identifikasi ke Parler, mereka akan menerima lencana yang menunjukkan kepada pengguna lain bahwa platform telah mengonfirmasi identitas mereka. Tentunya verifikasi ini berbeda dengan tanda biru yang diberikan oleh Twitter. Parler menggunakan lencana emas untuk verifikasinya.

"Sejak Juli 2020 aplikasi ini sudah memiliki 2,8 juta pengguna dan menerima sekitar 636.000 unduhan dari Google Play dan App Store di AS pada 8 November lalu. Ini melampaui bulan Juni yang hanya 119.000," tandas John.

Pada prinsipnya aplikasi ini sama dengan Twitter dan Facebook. Pada saat Anda mengunduhnya, platform ini akan meminta nomor telepon atau e-mail yang ingin Anda daftarkan. Setelah itu Anda pun bisa melihat informasi apa yang sedang tren di kanal ini. (Baca juga: Kriminolog: Hoaks Masuk Kategori Kejahatan karena Timbulkan Dampak Buruk)

"Penggunaan aplikasi ini sama dengan Twitter, hanya saja booming ketika aplikasi ini dijadikan sebagai media berkampanye. Aplikasi ini memiliki sistem penyensoran yang sama seperti Twitter seperti konten pornografi dan rumor palsu," papar pengamat medsos Hariqo Wibawa Satria.

Berdasarkan analisis Satria, ?Parler dan Twitter memiliki peran yang sama sebagai sarana komunikasi publik meskipun penggunaan Parler di Indonesia masih kalah dari penggunaan aplikasi pendahulunya. Namun kalangan konservatif di AS yang merupakan pendukung Donald Trump bertekad menumbangkan Twitter dan Facebook seperti layaknya Friendster.

Berkembangnya medsos di dunia dapat dimaknai dari sisi positif dan negatifnya. Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi mengungkapkan, penggunaan medsos sebaiknya tetap menjunjung tinggi etika dalam rangka menjalin hubungan sosial secara sehat serta terhindar dari kemungkinan jeratan hukum. "Apa yang tidak pantas dalam jalinan antarmanusia di medsos aturannya sama saja, yakni etika harus berlaku juga," tambahnya. (Baca juga: Gelombang PHK Tak Terbendung, Pengangguran di Bekasi Melonjak)

Tanpa adanya kesadaran dan strategi yang jelas dari pengguna medsos , akan muncul banyak kasus yang berkaitan dengan penipuan atau kasus kriminal lainnya. Heru menilai saat ini mayoritas masyarakat sudah mengerti menggunakan medsos, tetapi belum seluruhnya mengetahui cara yang benar dalam memanfaatkannya.

Masyarakat masih memerlukan edukasi untuk kembali memanfaatkan medsos sesuai dengan tujuan pembentukan aplikasi sosial tersebut. "Manfaat medsos sesungguhnya untuk membangun jaringan antarmanusia dengan mengedepankan saling menghormati satu sama lain. Namun faktanya masih banyak kasus yang berkaitan dengan etika media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi utama medsos belum banyak diphami," ucapnya.

Oleh karenanya tingkat kepercayaan informasi lewat medsos kini dipertanyakan. Terlebih dengan maraknya akun anonim sehingga banyak orang yang memanfaatkan bot untuk bekerja dalam mengangkat isu tertentu. (Lihat videonya: Berkunjung ke Aceh Jangan Lupa Nikmati Kopi Gayo)

"Sekarang waktu yang tepat untuk mengembalikan fungsi medsos ke arah yang benar. Bila tidak, dalam satu tahun ke depan orang tidak akan percaya media sosial," tuturnya. (Aprilia S Andyna)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.8335 seconds (0.1#10.140)