Terhubung ke Internet lewat Starlink, Suku Terpencil di Amazon Justru Ketagihan Pornografi dan Media Sosial
loading...
A
A
A
AMAZON - Seharusnya koneksi internet bisa membawa dampak positif. Tapi, yang terjadi di suku terpencil di Amazon ini sebaliknya. Mereka justru kecanduan pornografi dan media sosial.
Berkat layanan Starlink milik Elon Musik, suku terpencil di Amazon Marubo Brasil yang beranggotakan 2000 orang akhirnya terhubung ke internet. Namun, gara-gara itu anggota suku justru terpecah belah.
9 bulan lalu, Starlink akhirnya menghubungkan komunitas hutan hujan terpencil di sepanjang Sungai ItuĂ ke internet untuk pertama kalinya.
"Ketika Starlink pertama tiba, semua orang senang," kata Tsainama Marubo, 73 tahun, kepada The New York Times. "Tapi sekarang, semuanya menjadi lebih buruk. Anak-anak muda menjadi malas karena internet, mereka belajar cara-cara orang kulit putih."
Suku Marubo adalah suku yang suci, yang bahkan tidak suka berciuman di depan umum — tetapi anggota suku Alfredo Marubo mengatakan dia khawatir bahwa kedatangan layanan ini, yang memberikan internet super cepat ke pelosok-pelosok dapat merusak standar kesopanan.
Alfredo mengatakan banyak pria muda Marubo telah berbagi video porno dalam obrolan grup bahkan menjadi banyak "perilaku seksual agresif" di beberapa anggota.
"Kami khawatir anak-anak muda akan ingin mencobanya," katanya tentang tindakan seks aneh yang tiba-tiba mereka lihat di layar. "Semua orang begitu terhubung sehingga kadang-kadang mereka bahkan tidak berbicara dengan keluarga mereka sendiri."
Starlink mampu memberikan jaringan internet melalui antena serta 6.000 satelit dengan orbit rendah. Modul antena tersebut disumbangkan ke suku tersebut oleh pengusaha Amerika Allyson Reneau.
Awalnya, internet dianggap sebagai hal positif bagi suku terpencil tersebut. Harapannya, mereka bisa dengan cepat menghubungi pihak berwenang untuk meminta bantuan dalam keadaan darurat, termasuk gigitan ular yang berpotensi mematikan.
"Memang ini sudah menyelamatkan nyawa," kata Enoque Marubo, 40 tahun.
Anggota suku juga dapat terhubung dengan teman dan keluarga yang tinggal di tempat lain.
Gara-gara internet, anggota suku remaja mengatakan kepada The Times ingin bepergian ke seluruh dunia, sementara yang lain mengatakan dia bercita-cita menjadi dokter gigi di SĂŁo Paulo.
Namun, Enoque juga mengeluhkan kerugian yang signifikan.
"Ini sangat mengubah rutinitas sehingga merugikan," katanya. "Di desa, jika Anda tidak berburu, memancing, dan menanam, Anda tidak makan."
"Beberapa anak muda mempertahankan tradisi kita," tambah TamaSay Marubo, 42 tahun. "Yang lain hanya ingin menghabiskan sepanjang sore di ponsel mereka."
Anggota suku menjadi begitu kecanduan sehingga para pemimpin Marubo, karena khawatir bahwa sejarah dan budaya — yang diturunkan secara lisan — dapat hilang selamanya, mereka sekarang membatasi akses ke internet selama dua jam setiap pagi, lima jam setiap malam, dan sepanjang hari Minggu.
Tetapi orang tua masih khawatir kerusakan mungkin sudah terjadi.
Anggota suku lain, Kâipa Marubo, mengatakan dia khawatir tentang anak-anaknya yang bermain game tembak-menembak yang kejam.
"Saya khawatir mereka tiba-tiba ingin meniru mereka," katanya.
Meski begitu, beberapa pejabat di Brasil mengkritik peluncuran ke komunitas terpencil, dengan mengatakan budaya dan adat istiadat khusus sekarang bisa hilang selamanya.
"Ini disebut etnosentrisme," kata Dutra tentang kritik semacam itu. "Orang kulit putih berpikir mereka tahu apa yang terbaik."
Berkat layanan Starlink milik Elon Musik, suku terpencil di Amazon Marubo Brasil yang beranggotakan 2000 orang akhirnya terhubung ke internet. Namun, gara-gara itu anggota suku justru terpecah belah.
9 bulan lalu, Starlink akhirnya menghubungkan komunitas hutan hujan terpencil di sepanjang Sungai ItuĂ ke internet untuk pertama kalinya.
"Ketika Starlink pertama tiba, semua orang senang," kata Tsainama Marubo, 73 tahun, kepada The New York Times. "Tapi sekarang, semuanya menjadi lebih buruk. Anak-anak muda menjadi malas karena internet, mereka belajar cara-cara orang kulit putih."
Suku Marubo adalah suku yang suci, yang bahkan tidak suka berciuman di depan umum — tetapi anggota suku Alfredo Marubo mengatakan dia khawatir bahwa kedatangan layanan ini, yang memberikan internet super cepat ke pelosok-pelosok dapat merusak standar kesopanan.
Alfredo mengatakan banyak pria muda Marubo telah berbagi video porno dalam obrolan grup bahkan menjadi banyak "perilaku seksual agresif" di beberapa anggota.
"Kami khawatir anak-anak muda akan ingin mencobanya," katanya tentang tindakan seks aneh yang tiba-tiba mereka lihat di layar. "Semua orang begitu terhubung sehingga kadang-kadang mereka bahkan tidak berbicara dengan keluarga mereka sendiri."
Starlink mampu memberikan jaringan internet melalui antena serta 6.000 satelit dengan orbit rendah. Modul antena tersebut disumbangkan ke suku tersebut oleh pengusaha Amerika Allyson Reneau.
Awalnya, internet dianggap sebagai hal positif bagi suku terpencil tersebut. Harapannya, mereka bisa dengan cepat menghubungi pihak berwenang untuk meminta bantuan dalam keadaan darurat, termasuk gigitan ular yang berpotensi mematikan.
"Memang ini sudah menyelamatkan nyawa," kata Enoque Marubo, 40 tahun.
Anggota suku juga dapat terhubung dengan teman dan keluarga yang tinggal di tempat lain.
Gara-gara internet, anggota suku remaja mengatakan kepada The Times ingin bepergian ke seluruh dunia, sementara yang lain mengatakan dia bercita-cita menjadi dokter gigi di SĂŁo Paulo.
Namun, Enoque juga mengeluhkan kerugian yang signifikan.
"Ini sangat mengubah rutinitas sehingga merugikan," katanya. "Di desa, jika Anda tidak berburu, memancing, dan menanam, Anda tidak makan."
"Beberapa anak muda mempertahankan tradisi kita," tambah TamaSay Marubo, 42 tahun. "Yang lain hanya ingin menghabiskan sepanjang sore di ponsel mereka."
Anggota suku menjadi begitu kecanduan sehingga para pemimpin Marubo, karena khawatir bahwa sejarah dan budaya — yang diturunkan secara lisan — dapat hilang selamanya, mereka sekarang membatasi akses ke internet selama dua jam setiap pagi, lima jam setiap malam, dan sepanjang hari Minggu.
Tetapi orang tua masih khawatir kerusakan mungkin sudah terjadi.
Anggota suku lain, Kâipa Marubo, mengatakan dia khawatir tentang anak-anaknya yang bermain game tembak-menembak yang kejam.
"Saya khawatir mereka tiba-tiba ingin meniru mereka," katanya.
Meski begitu, beberapa pejabat di Brasil mengkritik peluncuran ke komunitas terpencil, dengan mengatakan budaya dan adat istiadat khusus sekarang bisa hilang selamanya.
"Ini disebut etnosentrisme," kata Dutra tentang kritik semacam itu. "Orang kulit putih berpikir mereka tahu apa yang terbaik."
(dan)