Regulasi OTT Akan Tegakkan Kedaulatan NKRI di Ranah Digital
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kehadiran regulasi yang mengatur pemain Over The Top (OTT) akan menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di ranah digital.
OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Seiring perkembangan, OTT digolongkan berbasis kepada aplikasi, konten, atau jasa. Saat ini OTT menjadi elemen penting dari supply chain broadband, tapi nyaris tak ada regulasi yang mengatur untuk menjaga kompetisi yang sehat dengan ekosistem lainnya, seperti operator telekomunikasi. BACA JUGA - China Lebih Maju, Bill Gates Ketakutan Microsoft Beli TikTok
"Di beberapa negara setiap upaya untuk memberlakukan peraturan tambahan pada OTT selalu mendapatkan tentangan yang lumayan berat, terutama dengan jargon-jargon sebuah regulasi dapat menghambat inovasi. Tetapi, jika OTT dibiarkan berjalan tanpa regulasi, maka sustainibilitas dari ekosistem digital itu bisa tak berlanjut, terutama para operator telekomunikasi yang menjadi bagian dari supply chain broadband," papar Direktur Wholesale & International Service Telkom Dian Rachmawan.
Dijelaskannya, kehadiran regulasi yang mengatur bisnis OTT sudah mendesak bagi NKRI mengingat para pemain ini sama sekali tidak pernah membayar ongkos infrastruktur dan bahkan pada saat yang sama menghilangkan pendapatan utama operator yaitu voice dan messaging. Sementara pertumbuhan pendapatan dari kenaikan berlangganan data payload selular dan apalagi jaringan tetap yang tidak mengenal terminologi payload, secara offset tidak mampu mencukupi penurunan pendapatan utama voice dan messaging.
"Bagaimana operator jaringan dituntut terus melakukan investasi jaringan untuk membuka akses wilayah yang begitu luas dengan ketidakmerataan infrastruktur seperti wilayah NKRI, sementara OTT, terutama asing, tidak ada memiliki kewajiban regulasi apapun," katanya.
Dikarenakan sifatnya yang sangat cair dan global maka OTT menikmati keuntungan yang luar biasa dalam hal bebas pajak di hampir semua negara sementara operator tradisional harus membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP), Pajak, dan sumbangan Universal Service Obligation (USO).
Diungkapkannya, saat ini ketimpangan posisi tawar operator jaringan Indonesia dengan OTT, dimana seluruhnya adalah pemain global, sangatlah kontras.
Sebagai contoh: Telkom, Telkomsel dan operator lainnya dalam memberikan kepastian layanan akses yang cepat dengan latensi rendah kepada para pengguna internet terpaksa memberikan fasilitas penempatan server/kolokasi gratis sampai ke ujung (edge) kepada Facebook dan Google. Sementara operator jaringan yang harus berhadapan langsung dengan komplain pelanggannya manakala akses internet mengalami hambatan, bukan OTT.
"Indonesia memang tidak mungkin memilih cara dengan memblokir beberapa layanan OTT, karena praktik ini dapat merusak tujuan regulasi utama seperti pilihan konsumen dan inovasi. Namun pada saat yang sama, adalah sah bagi Pemerintah untuk melakukan intervensi baik secara langsung atau melalui regulator ketika dianggap kedaulatan nasional terdampak. Kehadiran regulasi bagi OTT harus serius dipikirkan karena mereka (OTT) sudah menjadi ancaman serius bagi kedaulatan nasional," ulasnya.
Dikatakannya, di beberapa negara lain sedang mempertimbangkan atau memberlakukan pajak atas pendapatan yang diperoleh dan dieksploitasi oleh OTT. Tak hanya itu, ada juga regulasi yang memaksa OTT bekerjasama dengan operator jaringan untuk manfaat ekonomi negara yang lebih luas.
"Kami mengusulkan regulasi bagi OTT ini bukan hanya semata mata untuk kepentingan Telkom sendiri, tetapi untuk NKRI. Jika negara hadir dalam ekosistem digital ini, maka persaingan sehat akan muncul, masyarakat diuntungkan, serta pelaku usaha terjamin kelangsungan usahanya. Ujungnya, ekonomi digital menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi di masa depan," pungkasnya.
OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Seiring perkembangan, OTT digolongkan berbasis kepada aplikasi, konten, atau jasa. Saat ini OTT menjadi elemen penting dari supply chain broadband, tapi nyaris tak ada regulasi yang mengatur untuk menjaga kompetisi yang sehat dengan ekosistem lainnya, seperti operator telekomunikasi. BACA JUGA - China Lebih Maju, Bill Gates Ketakutan Microsoft Beli TikTok
"Di beberapa negara setiap upaya untuk memberlakukan peraturan tambahan pada OTT selalu mendapatkan tentangan yang lumayan berat, terutama dengan jargon-jargon sebuah regulasi dapat menghambat inovasi. Tetapi, jika OTT dibiarkan berjalan tanpa regulasi, maka sustainibilitas dari ekosistem digital itu bisa tak berlanjut, terutama para operator telekomunikasi yang menjadi bagian dari supply chain broadband," papar Direktur Wholesale & International Service Telkom Dian Rachmawan.
Dijelaskannya, kehadiran regulasi yang mengatur bisnis OTT sudah mendesak bagi NKRI mengingat para pemain ini sama sekali tidak pernah membayar ongkos infrastruktur dan bahkan pada saat yang sama menghilangkan pendapatan utama operator yaitu voice dan messaging. Sementara pertumbuhan pendapatan dari kenaikan berlangganan data payload selular dan apalagi jaringan tetap yang tidak mengenal terminologi payload, secara offset tidak mampu mencukupi penurunan pendapatan utama voice dan messaging.
"Bagaimana operator jaringan dituntut terus melakukan investasi jaringan untuk membuka akses wilayah yang begitu luas dengan ketidakmerataan infrastruktur seperti wilayah NKRI, sementara OTT, terutama asing, tidak ada memiliki kewajiban regulasi apapun," katanya.
Dikarenakan sifatnya yang sangat cair dan global maka OTT menikmati keuntungan yang luar biasa dalam hal bebas pajak di hampir semua negara sementara operator tradisional harus membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP), Pajak, dan sumbangan Universal Service Obligation (USO).
Diungkapkannya, saat ini ketimpangan posisi tawar operator jaringan Indonesia dengan OTT, dimana seluruhnya adalah pemain global, sangatlah kontras.
Sebagai contoh: Telkom, Telkomsel dan operator lainnya dalam memberikan kepastian layanan akses yang cepat dengan latensi rendah kepada para pengguna internet terpaksa memberikan fasilitas penempatan server/kolokasi gratis sampai ke ujung (edge) kepada Facebook dan Google. Sementara operator jaringan yang harus berhadapan langsung dengan komplain pelanggannya manakala akses internet mengalami hambatan, bukan OTT.
"Indonesia memang tidak mungkin memilih cara dengan memblokir beberapa layanan OTT, karena praktik ini dapat merusak tujuan regulasi utama seperti pilihan konsumen dan inovasi. Namun pada saat yang sama, adalah sah bagi Pemerintah untuk melakukan intervensi baik secara langsung atau melalui regulator ketika dianggap kedaulatan nasional terdampak. Kehadiran regulasi bagi OTT harus serius dipikirkan karena mereka (OTT) sudah menjadi ancaman serius bagi kedaulatan nasional," ulasnya.
Dikatakannya, di beberapa negara lain sedang mempertimbangkan atau memberlakukan pajak atas pendapatan yang diperoleh dan dieksploitasi oleh OTT. Tak hanya itu, ada juga regulasi yang memaksa OTT bekerjasama dengan operator jaringan untuk manfaat ekonomi negara yang lebih luas.
"Kami mengusulkan regulasi bagi OTT ini bukan hanya semata mata untuk kepentingan Telkom sendiri, tetapi untuk NKRI. Jika negara hadir dalam ekosistem digital ini, maka persaingan sehat akan muncul, masyarakat diuntungkan, serta pelaku usaha terjamin kelangsungan usahanya. Ujungnya, ekonomi digital menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi di masa depan," pungkasnya.
(wbs)