Perkembangan Cepat AI dan IoT Paksa Perusahaan Bertransformasi
A
A
A
JAKARTA - Istilah Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) semakin familiar berada di lingkungan kita, baik itu lingkungan kerja atau rumah. Namun tak banyak yang mengetahui pengaplikasian keduanya.
Selama ini masyarakat menilai jika AI dan IoT adalah satu hal yang berbeda. Kenyataannya, AI dan IoT bisa padukan dan menjadi tren yang akan berkembang dengan pesat di masa depan.
Kasubdit Direktorat Standardisasi Teknologi Informasi, Kementerian Informasi dan Informatika (Kominfo), Andi Faisa Achmad, mengatakan, Indonesia merupakan negara yang potensial dengan ekosistem IoT. Ekosistem tersebut diprediksi akan tumbuh cepat di Indonesia didukung oleh berbagai pilihan teknologi.
“Pada 2025, Internet of Things diprediksi akan memberikan dampak terhadap produktivitas sebesar USD121,4 miliar di dunia. Angka ini akan didominasi paling besar pada industrial seperti manufaktur, retail, transport yang ada di tiga besar dengan kontribusi terbesar,” ujar Andi Faisa, dalam workshop ‘Trend AI dan IoT di Indonesia’ yang diinisiasi Forum Wartawan Teknologi Indonesia (Forwat) di Plaza Senayan XXI, Jakarta.
Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Kominfo mencoba untuk memberikan dukungan dalam bentuk regulasi yang sifatnya mendorong pemanfaatkan teknologi tersebut. Sehingga bisa lebih cepat diimplementasi dan menjadi enabler bagi perkembangan IoT, serta berdampak pada pertumbuhan ekonomi di setiap sektor.
Beberapa aturan yang pernah dikeluarkan seperti Peraturan Menteri No. 1 yang berkaitan dengan Frekuensi Izin Kelas untuk Perangkat Low Power Wide Area. Ada juga Peraturan Dirjen No.3 terkait Persyaratan Teknis LPWA Non-Seluler dan Seluler.
Kementerian Kominfo pun sadar IoT akan menjadi revenue baru bagi operator di masa depan. Ini juga yang menjadi penyebab Telkomsel makin berminat untuk bertransformasi menjadi perusahaan digital, bukan lagi dikenal sebagai penyedia layanan seluler.
General Manager Fleet Management Telkomsel, Arief Teguh Hermawan, mengatakan, industri telah berubah. Kalau dulu revenue Telkomsel berasal dari voice dan SMS paling banyak, kini tidak lagi. Justru data yang kini banyak digunakan pengguna Telkomsel.
“Di sini ada aplikasi digital yang menggantikan. Itu buat kami mau tidak mau harus diversifikasi usaha, bertransformasi ke arah yang sedang tren, salah satunya IoT,” ucap Arief.
Lebih lanjut dijelaskan, potensi bisnis IoT sangat besar. Saat ini saja revenue-nya sudah mencapai USD30 juta. Memang masih kecil dibanding revenue dari legacy business, tapi potensinya luas.
“Saat ini saja sudah ada satu juta perangkat berbasis IoT Telkomsel. Tahun 2020 akan ada puluhan juta perangkat dan pada 2025 akan ada ratusan juta perangkat. Makanya dibutuhkan dorongan dari pemerintah untuk mewajibkan penggunaan IoT, misalnya smart meter (meteran listrik PLN). Jika itu terjadi, mungkin dalam waktu satu atau dua tahun sudah ada puluhan juta perangkat IoT Telkomsel,” klaim Arief.
Transformasi bisnis ini juga yang telah menjadi concern Tokopedia. Perusahaan itu kini tak mau lagi dikenal sebagai platform e-commerce, melainkan sebagai perusahaan teknologi. Mereka merupakan e-commerce pertama yang mengimplementasikan costumers service digital berbasis asisten virtual.
“Kami sudah bertransformasi menjadi perusahaan teknologi dan super ecosystem. Ada 4 business pilar ke fintech sampai logistik. Filosofi kami adalah ‘building bridges, not wall’. Benang merahnya ada di visi misi kami di satu perusahaan, mendorong pemerataan ekonomi di digital. Memanfaatkan teknologi untuk menutup kesenjangan ini,” kata External Communications Senior Lead Tokopedia, Ekhel Chandra Wijaya.
Selain marketplace sebagai bisnis terbesar, Tokopedia juga punya fintech dan payment, logistik dan fullfilment. Dijelaskannya, Tokopedia ingin menjadi AI first company karena di Tokopedia ada 3 DNA. Salah satunya focus on consumers dan inilah dasar perusahaan untuk menjadi AI First company.
“Tokped sudah bisa menganalisa kebiasaan konsumen sehingga bisa memberikan saran/rekomendasi barang. Ada juga Smart Warehouse atau toko cabang pertama menerapkan digital base costumer service. Awalnya kami menggunakan chatbot, sekarang AI dan kamu juga punya media intelligence untuk monitoring media,” kata Ekhel.
Oppo pun tak mau kalah. Produsen smartphone itu merasa sudah saatnya bertransformasi menjadi perusahaan teknologi. AI dan IoT membutuhkan low latency, banyak negara yang memberlakukan standardisasi. Selain itu, pasar AI juga besar. Buktinya, perangkat kamera AI dengan kisaran harga Rp3 juta atau Rp5 jutaan berkontribusi 20% dari penjualan semua perangkat.
“Fokus teknologi kami ada tiga, yaitu AI, IoT, dan 5G. Untuk itu kami telah mempersiapkan invetasi sampai USD1,43 miliar yang sudah dimulai sejak 2018. Kalau urusan AI, Oppo sudah memiliki nama karena sejak 2017 kami selalu mengeluarkan smartphone dengan kamera berbasis AI. Mulai dari Oppo F5,” beber PR Manager Oppo Indonesia, Aryo Meidianto.
Sedangkan untuk urusan AI dan IoT, Oppo sudah meluncurkan Breeno, walaupun baru untuk pasar China pada 2018 lalu. Breeno merupakan AI Virtual Assistant besutan Oppo.
Selain itu, Oppo juga punya Connection Center Oppo 5G CPE Omni. Ekosistem IoT Oppo yang mulai dipublikasikan pada 2019 lalu telah meliputi beberapa perangkat seperti AR Glass, Oppo Watch, Router 5G dan True Wireless Stereo (TWS).
Perangkat berbasis AI dan Iot ini bisa menimbulkan efisiensi di segala bidang, tentunya dengan kerja sama penyedia jaringan, perusahaan teknologi dan penyedia perangkat. Yang tidak kalah pentingnya adalah peran pemerintah sebagai penyedia regulasi.
Selama ini masyarakat menilai jika AI dan IoT adalah satu hal yang berbeda. Kenyataannya, AI dan IoT bisa padukan dan menjadi tren yang akan berkembang dengan pesat di masa depan.
Kasubdit Direktorat Standardisasi Teknologi Informasi, Kementerian Informasi dan Informatika (Kominfo), Andi Faisa Achmad, mengatakan, Indonesia merupakan negara yang potensial dengan ekosistem IoT. Ekosistem tersebut diprediksi akan tumbuh cepat di Indonesia didukung oleh berbagai pilihan teknologi.
“Pada 2025, Internet of Things diprediksi akan memberikan dampak terhadap produktivitas sebesar USD121,4 miliar di dunia. Angka ini akan didominasi paling besar pada industrial seperti manufaktur, retail, transport yang ada di tiga besar dengan kontribusi terbesar,” ujar Andi Faisa, dalam workshop ‘Trend AI dan IoT di Indonesia’ yang diinisiasi Forum Wartawan Teknologi Indonesia (Forwat) di Plaza Senayan XXI, Jakarta.
Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Kominfo mencoba untuk memberikan dukungan dalam bentuk regulasi yang sifatnya mendorong pemanfaatkan teknologi tersebut. Sehingga bisa lebih cepat diimplementasi dan menjadi enabler bagi perkembangan IoT, serta berdampak pada pertumbuhan ekonomi di setiap sektor.
Beberapa aturan yang pernah dikeluarkan seperti Peraturan Menteri No. 1 yang berkaitan dengan Frekuensi Izin Kelas untuk Perangkat Low Power Wide Area. Ada juga Peraturan Dirjen No.3 terkait Persyaratan Teknis LPWA Non-Seluler dan Seluler.
Kementerian Kominfo pun sadar IoT akan menjadi revenue baru bagi operator di masa depan. Ini juga yang menjadi penyebab Telkomsel makin berminat untuk bertransformasi menjadi perusahaan digital, bukan lagi dikenal sebagai penyedia layanan seluler.
General Manager Fleet Management Telkomsel, Arief Teguh Hermawan, mengatakan, industri telah berubah. Kalau dulu revenue Telkomsel berasal dari voice dan SMS paling banyak, kini tidak lagi. Justru data yang kini banyak digunakan pengguna Telkomsel.
“Di sini ada aplikasi digital yang menggantikan. Itu buat kami mau tidak mau harus diversifikasi usaha, bertransformasi ke arah yang sedang tren, salah satunya IoT,” ucap Arief.
Lebih lanjut dijelaskan, potensi bisnis IoT sangat besar. Saat ini saja revenue-nya sudah mencapai USD30 juta. Memang masih kecil dibanding revenue dari legacy business, tapi potensinya luas.
“Saat ini saja sudah ada satu juta perangkat berbasis IoT Telkomsel. Tahun 2020 akan ada puluhan juta perangkat dan pada 2025 akan ada ratusan juta perangkat. Makanya dibutuhkan dorongan dari pemerintah untuk mewajibkan penggunaan IoT, misalnya smart meter (meteran listrik PLN). Jika itu terjadi, mungkin dalam waktu satu atau dua tahun sudah ada puluhan juta perangkat IoT Telkomsel,” klaim Arief.
Transformasi bisnis ini juga yang telah menjadi concern Tokopedia. Perusahaan itu kini tak mau lagi dikenal sebagai platform e-commerce, melainkan sebagai perusahaan teknologi. Mereka merupakan e-commerce pertama yang mengimplementasikan costumers service digital berbasis asisten virtual.
“Kami sudah bertransformasi menjadi perusahaan teknologi dan super ecosystem. Ada 4 business pilar ke fintech sampai logistik. Filosofi kami adalah ‘building bridges, not wall’. Benang merahnya ada di visi misi kami di satu perusahaan, mendorong pemerataan ekonomi di digital. Memanfaatkan teknologi untuk menutup kesenjangan ini,” kata External Communications Senior Lead Tokopedia, Ekhel Chandra Wijaya.
Selain marketplace sebagai bisnis terbesar, Tokopedia juga punya fintech dan payment, logistik dan fullfilment. Dijelaskannya, Tokopedia ingin menjadi AI first company karena di Tokopedia ada 3 DNA. Salah satunya focus on consumers dan inilah dasar perusahaan untuk menjadi AI First company.
“Tokped sudah bisa menganalisa kebiasaan konsumen sehingga bisa memberikan saran/rekomendasi barang. Ada juga Smart Warehouse atau toko cabang pertama menerapkan digital base costumer service. Awalnya kami menggunakan chatbot, sekarang AI dan kamu juga punya media intelligence untuk monitoring media,” kata Ekhel.
Oppo pun tak mau kalah. Produsen smartphone itu merasa sudah saatnya bertransformasi menjadi perusahaan teknologi. AI dan IoT membutuhkan low latency, banyak negara yang memberlakukan standardisasi. Selain itu, pasar AI juga besar. Buktinya, perangkat kamera AI dengan kisaran harga Rp3 juta atau Rp5 jutaan berkontribusi 20% dari penjualan semua perangkat.
“Fokus teknologi kami ada tiga, yaitu AI, IoT, dan 5G. Untuk itu kami telah mempersiapkan invetasi sampai USD1,43 miliar yang sudah dimulai sejak 2018. Kalau urusan AI, Oppo sudah memiliki nama karena sejak 2017 kami selalu mengeluarkan smartphone dengan kamera berbasis AI. Mulai dari Oppo F5,” beber PR Manager Oppo Indonesia, Aryo Meidianto.
Sedangkan untuk urusan AI dan IoT, Oppo sudah meluncurkan Breeno, walaupun baru untuk pasar China pada 2018 lalu. Breeno merupakan AI Virtual Assistant besutan Oppo.
Selain itu, Oppo juga punya Connection Center Oppo 5G CPE Omni. Ekosistem IoT Oppo yang mulai dipublikasikan pada 2019 lalu telah meliputi beberapa perangkat seperti AR Glass, Oppo Watch, Router 5G dan True Wireless Stereo (TWS).
Perangkat berbasis AI dan Iot ini bisa menimbulkan efisiensi di segala bidang, tentunya dengan kerja sama penyedia jaringan, perusahaan teknologi dan penyedia perangkat. Yang tidak kalah pentingnya adalah peran pemerintah sebagai penyedia regulasi.
(mim)