Matikan Internet untuk Redam Protes, India Kehilangan Rp4,8 Miliar Per Jam
A
A
A
NEW DELHI - Pemerintah India telah menghadapi protes skala luas di seluruh negeri sejak Undang-Undang Kewarganegaraan baru yang mendiskriminasi Muslim mendapat persetujuan Kongres.
Ingin meredam protes, Pemerintah India telah menutup layanan internet di beberapa kota di seluruh negeri untuk periode waktu yang bervariasi dalam tiga pekan terakhir. "Shutdown" ini jelas merugikan perusahaan telekomunikasi dan bisnis, menurut laporan Reuters yang dilansir laman Giz China.
Seringnya penutupan internet ini terjadi setelah layanan internet di Kashmir, India, ditangguhkan selama lebih dari 140 hari sejak New Delhi menurunkan statusnya ke wilayah yang dikelola federal dari sebuah daerah otonom. Kelompok hak digital Access Now, menilai, keputusan tersebut bisa jadi sebagai penghentian internet terpanjang dalam sejarah demokrasi.
Kebanyakan orang India bergantung pada smartphone mereka untuk mengakses internet, tidak seperti negara maju lainnya. Ponsel cerdas dan data seluler telah terjangkau di India sejak debut Reliance Jio, vendor telekomunikasi yang dimiliki oleh Mukesh Ambani, orang terkaya di negara itu.
Oleh karena itu, rakyat India mengonsumsi rata-rata data seluler 9,8 GB per bulan. Sehingga menjanjikannya sebagai yang tertinggi di dunia, seperti yang dilaporkan oleh Ericsson. India juga tercatat sebagai pasar terbesar untuk aplikasi media sosial, seperti Facebook dan anak perusahaannya, WhatsApp messenger.
"Ini seharusnya tidak menjadi tindakan pertama," respons Asosiasi Operasi Seluler India (COAI) yang mencakup anggota seperti Bharti Airtel, Vodafone India, dan Reliance Jio.
Rajan Mathews, Direktur Jenderal COAI, mengatakan kepada Reuters, menurut perhitungan, pada akhir 2019, dengan peningkatan aktivitas online, COAI meyakini kerugian penutupan internet hampir Rp4,8 miliar per jam.
Jumlah kerugian yang ditanggung oleh perusahaan telekomunikasi sangat banyak. Karena mereka belum membayar fee gabungan senilai USD13 miliar untuk pembayaran yang tertunda saat diakumulasikan sepanjang tahun.
Ingin meredam protes, Pemerintah India telah menutup layanan internet di beberapa kota di seluruh negeri untuk periode waktu yang bervariasi dalam tiga pekan terakhir. "Shutdown" ini jelas merugikan perusahaan telekomunikasi dan bisnis, menurut laporan Reuters yang dilansir laman Giz China.
Seringnya penutupan internet ini terjadi setelah layanan internet di Kashmir, India, ditangguhkan selama lebih dari 140 hari sejak New Delhi menurunkan statusnya ke wilayah yang dikelola federal dari sebuah daerah otonom. Kelompok hak digital Access Now, menilai, keputusan tersebut bisa jadi sebagai penghentian internet terpanjang dalam sejarah demokrasi.
Kebanyakan orang India bergantung pada smartphone mereka untuk mengakses internet, tidak seperti negara maju lainnya. Ponsel cerdas dan data seluler telah terjangkau di India sejak debut Reliance Jio, vendor telekomunikasi yang dimiliki oleh Mukesh Ambani, orang terkaya di negara itu.
Oleh karena itu, rakyat India mengonsumsi rata-rata data seluler 9,8 GB per bulan. Sehingga menjanjikannya sebagai yang tertinggi di dunia, seperti yang dilaporkan oleh Ericsson. India juga tercatat sebagai pasar terbesar untuk aplikasi media sosial, seperti Facebook dan anak perusahaannya, WhatsApp messenger.
"Ini seharusnya tidak menjadi tindakan pertama," respons Asosiasi Operasi Seluler India (COAI) yang mencakup anggota seperti Bharti Airtel, Vodafone India, dan Reliance Jio.
Rajan Mathews, Direktur Jenderal COAI, mengatakan kepada Reuters, menurut perhitungan, pada akhir 2019, dengan peningkatan aktivitas online, COAI meyakini kerugian penutupan internet hampir Rp4,8 miliar per jam.
Jumlah kerugian yang ditanggung oleh perusahaan telekomunikasi sangat banyak. Karena mereka belum membayar fee gabungan senilai USD13 miliar untuk pembayaran yang tertunda saat diakumulasikan sepanjang tahun.
(mim)