Jadi Prioritas, Amankan Pusat Data di Dalam Negeri

Sabtu, 16 November 2019 - 06:35 WIB
Jadi Prioritas, Amankan...
Jadi Prioritas, Amankan Pusat Data di Dalam Negeri
A A A
JAKARTA - Aturan terbaru soal penyimpanan data yang diperbolehkan di luar negeri menuai polemik. Beleid tersebut dianggap kontradiktif di tengah upaya agar para pelaku usaha asing berbasis bigdata membuka perwakilannya di Tanah Air.

Aturan penyimpanan data di luar negeri itu mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) yang merupakan hasil revisi Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik.

Dalam regulasi baru ini, terdapat perubahan fundamental terkait lokasi penyimpanan data, dimana kewajiban menyimpan data di dalam negeriyang diatur dalam PP No82/2012 diubah. Penyimpanan data sektor privat kini dapat dilakukan di dalam dan luar negeri.

Harapan agar penyimpanan data tetap dilakukan di dalam negeri disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perhubungan Carmelita Hartoto, Ketua Umum Asosiasi Jasa Penyelenggara Internet Indonesia (AJPII) Jamalul Izza, dan pengamat teknologi informatika sekaligus Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi.

Mereka beralasan penyimpanan data di dalam negeri bagian dari semangat kedaulatan data dan demi mengamankan penyalahgunaan. Selain itu, langkah tersebut dibutuhkan untuk mendorong pemain lokal bisa berpartisipasidi sektor tersebut.

”Saya berharap perusahaan-perusahaan yang dalam PSTEitu tetap di dalam negeri sesuai arahan Pak Jokowi, bahwa semua data sangat berharga,” ujar Abdul Kharis Almasyhari di Jakarta.

Dia pun meminta agar hal ini ditinjau ulang, termasuk untuk data yang disimpan itu bersifat privat. Sebaliknya, dia mengajak semua pihak mendorong agar perusahaan asing yang berada di dalam negeri seperti Facebook agar bisa menyimpan datanya di Indonesia.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Kadin, juga mengkhawatirkan jika pusat penyimpanan data diperbolehkan di luar negeri.Hal itu dinilai sangat riskan karena sistem keamanannya tidak bisa dipantau.

Sebaliknya, denganpenyimpanan server di dalam negeri, sewaktu-waktu bisa dipantau. ”Kalau saya sebaiknya data center-nya berada di dalam negeri. Dengan demikian, dari sistem keamanan data bisa lebih terpantau. Di sisi lain, penyimpanan data center di dalam negeri juga lebih menguntungkan, selama kualitasnya sama,” ujar Carmelita Hartoto.

Dia menandaskan, aturanyang memperkuat dan mengatur soal pentingnya penyimpanan data di dalamnegeri justru harus diperkuat. Alasannya, langkah penting,termasuk untuk korporasi yang memerlukan data publik.Carmelita mengungkapkan saat ini sejumlah korporasi besar sudah banyak yang memanfaatkan registrasi datapublik tidak hanya perbankan.”Sehingga apabila terjadikebocoran dan dipakai untukhal-hal tidak bertanggung jawabtentu bisa repot,” jelasnya.

Kalangan AJPII mengingatkan, dengan meningkatkan penyimpanandata di dalam negeri banyak halyang bisa dilakukan, diantaranya data analisis yang kini banyak dimanfaatkan.”Bagaimana misalnya kalau data rahasia yang disimpan di luarnegeri itu merupakan institusi negara yang penting. Sementara kita butuh data yang cepat. Pastinya akan butuh waktu,” ungkapnya.

Dia menambahkan, bagi perusahaan yang bersifat private sector menyimpan datadi luar negeri hanya menambah devisa negara tertentu melalui penyelenggara server di negara tujuan penyimpanan data tersebut. ”Pada intinya kalau kita berdaulat, banyak hal yang akan kita dapatkan seperti yang saya jelaskan tadi. Sekarang karena aturannya sudah ketuk palu. Ya, kita lihat pelaksanaannya sambil berjalan. Kalau ada yang kurang, tentu kita minta harus ada yang direvisi,” pungkasnya.

Berdasarkan berbagai pertimbangan yang ada, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi meminta Menkominfo dan MenkoPolhukam yang baru perlu ada upaya kembali untuk mengevaluasi Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Pasalnya, aturan ini berpotensi menghilangkan kedaulatan data.

”Menurut saya, ada yang salah memberi masukan dari pembantunya atau bahkan mencoba menjerumuskan Pak Presiden. Karena Pak Jokowi clear crystal menyampaikan soal kedaulatan data. Jangan sampai data masyarakat, selera konsumen dan pasar diketahui negara lain. Ini kan artinya pusat data harus di Indonesia,” ujarnya.

Dia lantas memaparkan, data apa pun yang ditulis, ditransaksikan, diproses, atau disimpan harus ada di Indonesia. Terkait hal itu, kata dia, Presiden Jokowi secara tegas telah menyampaikannya saat pidato kenegaraan 16 Agustus 2019 dan peresmian Palapa Ring beberapa waktu lalu.

Menurut dia, bukan hanya soal keraguan keamanan, melainkan juga tidak bisa mengakses data di luar jika diperlukan. Untuk itu, peraturan tersebut harus direvisi dengan mengembalikan ketentuan kewajiban data center di Indonesia sesuai PP sebelumnya, yaitu PP Nomor 82 Tahun 2012. ”Dan data harus dijaga di dalam negeri karena ini aset yang disebut data is the newoil,” tandasnya.

Sementara itu, Ditjen Aptika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan menegaskan revisi PP No 82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik karena banyak isu yang belum diatur didalamnya. Menurutnya, PP82/2012 memiliki beberapa kelemahan mendasar, misalnya tidak mengatur untuk kategori privat sama sekali. Aturan lain yang menurutnya penting adalah kewajiban penyelenggara atau PSE untuk mendaftar kepada menteri melalui layanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik.

”Silakan cek PP 82/2012yang tidak mengatur lingkup privat sama sekali. Jangankan harus memproses data di dalam negeri, kewajiban mendaftar sekalipun tidak diatur. Silakan membandingkan dua PP tersebut,” ujar Semuel singkat, kemarin, di Jakarta.

Dalam PP PSTE 71/2019 dicantumkan klasifikasi data elektronik untuk kategori publik. Ada tiga klasifikasi data yakni data strategis, data risiko tinggi, dan risiko rendah. Namun, detail penjelasan klasifikasi data disebut akan menunggu peraturan menterilebih lanjut. Sementara untuk data kategori privat,penyelenggara wajib memberikan akses untuk penegakan hukum. (Abdul Rochim/Oktiani Endarwati/Ihsan Amin/Hafid Fuad)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6696 seconds (0.1#10.140)