Baterai untuk Perbaiki Kehidupan Masyarakat Pedalaman

Minggu, 09 Desember 2018 - 09:36 WIB
Baterai untuk Perbaiki...
Baterai untuk Perbaiki Kehidupan Masyarakat Pedalaman
A A A
JAKARTA - Ingin memberi listrik kepada masyarakat di daerah terpencil Indonesia menjadi tujuan Sylvia Ayu Pradanawati.

Sasarannya anak-anak agar bisa lebih lama belajar saat malam hari. Kelak jika anak-anak di daerah pelosok Tanah Air berpendidikan, mereka dapat menjadi harapan hidup keluarga. Sylvi—sapaan Sylvia Ayu— memanfaatkan limbah sekam padi untuk mewujudkan keinginan tersebut.

Siapa sangka sekam padi atau kulit gabah dapat diubah menjadi bahan baterai. Seperti apa proposal penelitian yang memanfaatkan barang yang biasanya menumpuk dan menjadi sampah pertanian itu hingga meraih penghargaan dari ajang L’Oreal for Women in Science? Seperti apa pula proses dan perjuangan Sylvi untuk menjadi seorang perempuan peneliti? Inilah ceritanya kepada KORAN SINDO.

Bisa dijelaskan mengenai penelitian terbaru Anda ini?
Penelitian saya fokus pada baterai. Topiknya limbah sekam padi sebagai anoda dari baterai. Saya angkat ini karena semua orang Indonesia makan nasi dan Indonesia penghasil padi nomor tiga di dunia.

Padahal 20% dari padi itu adalah limbah sekam. Jadi terbayang sekali setiap tahun limbah itu terus meningkat. Alasan lain, saya dulu suka ke rumah nenek yang punya sawah, jadi saya sering diajak ke tempat penggilingan padi.

Kami dapat berasnya, sementara sekamnya terbuang begitu saja. Banyak sekali. Tapi tentu waktu masih kecil tidak ada niat untuk membuat sesuatu dari sampah tersebut. Hanya masih teringat hingga saat ini.

Setelah saya meriset soal baterai, silikon itu merupakan kandidat anoda yang baik. Ternyata sekam padi mengandung silikon yang tinggi sehingga dari ide awal yang sederhana itu saya mau bikin anoda silicon base dan yang silikonnya berasal dari limbah sekam padi.

Bagaimana proses dari sekam bisa menjadi baterai?
Pertama, setelah kita dapatkan, limbah sekam padi kemudian dibakar untuk dijadikan arang. Arang itu sebenarnya terjadi reaksi silikon (simbol kimianya Si O) nanti akan kita pisah Si dari O, jadi tinggal silicon saja.

Riset terbaru menunjukkan bahwa silikon saja tidak bagus untuk anoda. Yang bagus itu isi Si + C atau Silicon Carbon. Jadi terpisahkan dari O namun dimasukkan C. Berita baiknya adalah si O dan C sama-sama terkandung pada sekam padi.

Jadi saya hanya tinggal memisahkan O, lalu digabung dengan C. Memang tidak semudah itu, perlu suhu tinggi untuk silikon lepas dari O agar silikon jadi sendiri. Perlu suhu yang lebih tinggi lagi untuk menggabungkan Si dan C.

Hasil bentuknya seperti arang padat untuk baterai. Kalau baterai kan ada katoda, anoda, elektrolit. Anoda saat ini dari karbon atau bisa dari grafit dan sebagainya. Saya ingin bikin anoda ini dari silikon karena kalau dibandingkan dengan grafien kapasitasnya lebih tinggi

Apa tujuan penelitian ini?
Berbicara mengenai kapasitas, di Indonesia rasio elektronifikasi sudah mencapai 95% mendapat listrik. Sisanya 5% itu daerah terpencil, yang PLN tidak bisa jangkau. Mau tidak mau kita harus punya energi terbarukan dan dia harus berdiri sendiri.

Misalnya solar panel. Indonesia negara khatulistiwa, banyak terkena sinar matahari tetapi sinar matahari itu sesungguhnya hanya bisa dipanen 4-5 jam per hari. Kalau kita buat solar panel sendiri tanpa ada baterai ya kalau mendung, masyarakat tetap gelap di malam hari.

Anak-anak juga jadi tidak bisa belajar saat malam tiba. Kendala baterai saat ini adalah berat dan berbahaya. Berat itu karena di dalamnya ada modul-modul 2 volt. Maka dalam penelitian saya ini, saya ingin membuat baterai yang ringan dan aman.

Harapannya baterai ini bisa untuk mereka di daerah terpencil yang dapat listrik dari matahari. Jadi saat malam hari mereka punya cadangan energi sehingga anakanak bisa belajar sampai malam.

Efeknya semoga bisa memperbaiki hidup mereka. Sebanyak 5% yang belum dapat listrik itu tantangan karena daerah yang sangat dalam, susah dijangkau.

Apakah sudah terbayang nanti Anda akan bekerja sama dengan siapa?
Kebetulan saya dosen. Nanti saya bekerja sama dengan mahasiswa-mahasiswa saya yang sedang melaksanakan tugas akhir dan memang fokus pada energi terbarukan. Mereka diterjunkan langsung ke daerah terpencil.

Hal ini yang saya yakin, di Indonesia banyak daerah yang belum ada listrik karena kami sering mengirimkan mahasiswa ke sana sehingga masalah ini sangat nyata adanya. Daerah yang pernah mereka datangi seperti di Flores, pulaupulau di sekitar Maluku.

Anda termasuk perempuan yang ahli di bidang elektronik. Kenapa suka bidang yang biasanya digeluti oleh pria?
Saya sekarang mengajar di Universitas Surya prodi teknik fisika. Fokusnya lebih ke renewable energy. Penelitian S-2 dan S-3 saya mengenai baterai. S-3 saya ambil di Taiwan, kebetulan proyek di sana arahnya motor listrik.

Saya fokus pada bagaimana kita membuat baterai untuk motor listrik. Tapi dasarnya baterai itu bisa diaplikasikan di mana-mana. S-1 saya jauh dari teknik fisika. Dulu penelitian saya mengenai deteksi kanker paru menggunakan analictical intelligence (AI).

Saya berprinsip apa pun dapat saya lakukan. Lulus S-1 saya merasa belum siap kerja, sementara teman saya banyak yang bekerja di perusahaan oil dan gas. Mau pulang kampung juga enggan karena takut ditanya kerja apa.

Saya memilih sekolah lagi, apa pun bidang di depan mata. Saya berusaha untuk tidak takut mencoba hal baru karena bagi saya hidup akan selalu ada yang baru, semua ini baru. Identik dengan pria? Ya memang 70:30 perbandingannya. Tapi, menurut saya, terkadang pria tidak telaten untuk mengerjakan hal detail, mereka tidak terlalu suka.

Jadi, mencoba hal baru menjadi tantangan tersendiri bagi hidup Anda?
Ya pasti. Saya anak teknik fisika yang tidak suka kimia, eh malah sekarang terjebak di kimia. Akhirnya saya belajar dari awal lagi mengenai kimia. Selesai S-2 saya ditawari profesor saya untuk loncat S- 3. Itu saya terima saja walau sesungguhnya tidak yakin bakal selesai.

Lama-kelamaan malah jadi passion . Awalnya terjebak, tapi karena terus dijalani setiap hari saya malah suka kimia sekarang. Tantangan lain, saat S-3 kehidupan baru saya alami karena menikah dan punya anak di negeri orang. Jadi semua saya kerjakan sendiri, tidak ada yang bantu. Sebutannya Phd Mama yang tentu tidak mudah dijalaninya.

Bagaimana menjalani peran Phd Mama, menyeimbangkan kehidupan seorang istri, ibu, dan peneliti?
Memang sulit, sampai saya sempat bilang ke profesor saya ingin berhenti saja. Tapi beliau bilang saya harus tetap berjuang demi anak saya juga. Ibaratnya anak saya sudah ikut saya sengsara, masak saya menyerah? Itu yang membuat saya semangat lagi.

Saya tidak pernah berpikir apa yang sudah saya lakukan untuk anak saya, tapi selalu saya mengingat apa yang sudah anak saya rasakan dan berikan kepada saya. Harus hidup tidak nyaman karena pindah dari satu kota ke kota lain. Saya harus lulus, motivasi dari anak juga.

Apa suka duka menjadi peneliti?
Banyak sukanya karena saya menjalani yang tadinya tidak suka, tapi bisa menjadi passion . Dukanya saat melewati tahap menjadi Phd Mama itu. Pernah dulu saya harus bereksperimen hingga malam, lalu suami saya telepon anak saya rewel, tidak mau tidur.

Saya tinggal dulu untuk lihat anak saya, lalu balik lagi ke laboratorium. Ya untungnya dekat, jadi bisa mondarmandir. Tergantung kita menyikapi. Memang sangat sulit, terasa berat. Tapi saya jalani terus tanpa mengeluh dan ternyata semua bisa dilalui.

Bagaimana Anda melihat perempuan peneliti di Indonesia?
Kalau yang saya lihat dulu S-1 di ITS masih sedikit sekali. Sementara sekarang sudah banyak. Mereka sudah percaya diri mau meneliti apa. Sebenarnya menjadi perempuan peneliti itu menarik karena jadi peneliti telaten dan tidak mudah menyerah. Jadi sangat cocok dengan kepribadian perempuan. Karena namanya penelitian itu tidak selamanya sukses. Justru menjadi peneliti mengharuskan kita untuk bangkit setelah gagal.

Anda termasuk generasi muda yang membuktikan diri dapat meraih pendidikan tinggi di usia muda. Bagaimana Anda melihat generasi muda sekarang, apakah juga tertarik berkarier seperti Anda?
Karena mungkin saya ada di lingkungan seperti itu, tidak jauh-jauh dari penelitian, jadi ya terbawa atmosfer. Tapi saya melihat sekarang di mana-mana kalau sudah lulus S-1 ada pilihan untuk melanjutkan sekolah lagi. Berbeda dengan dulu.

Kalau sudah sarjana ya pulang kampung, lalu membanggakan gelar sarjananya saja. Sekarang banyak yang tidak ingin pulang. Malah maunya melanjutkan S-2. Generasi masa kini sudah mulai berpikir memiliki pendidikan yang tinggi.

Misalnya di kampus saya di Taiwan, penerimaan mahasiswa baru yang dari Indonesia semakin banyak. Dulu waktu angkatan suami saya, setiap tahun hanya 20 orang. Angkatan saya sudah ada 96 orang.

Kalau di kampus tempat saya mengajar sekarang memang basic -nya penelitian sehingga dari semester awal sudah dikenalkan pada penelitian. Jadi ya lebih mudah menularkan semangat menjadi peneliti. Saya juga tipe dosen yang tidak hanya mencatat melulu, tapi membuat mahasiswa saya mengerti dengan membuat sesuatu atau langsung praktik saja.

Anda sudah nyaman menjadi dosen atau sebenarnya lagi-lagi terjebak berprofesi sebagai dosen?
Tidak juga karena saya senang mengajar. Dulu waktu S-1 suka cari uang tambahan dengan cara mengajar privat. Lalu dulu di kampus juga suka ada gerakan mengajar anak-anak SD. Ketika di Taiwan pun ada sekolah terbuka untuk para buruh migran.

Saya mewakili PPI ikut terlibat mengajar. Saya juga menularkan semangat berpendidikan kepada saudara-saudara kita yang bekerja di Taiwan. Saya selalu bilang, dengan pendidikan kita bisa punya sudut pandang yang berbeda terhadap sesuatu. Dan saya bahagia ketika melihat perubahan yang dialami para buruh migran mulai dari cara berpakaian hingga cara berbicara.

Adakah pesan untuk mereka yang ingin menjadi peneliti?
Peneliti butuh passion dan kesabaran. Tapi saya juga yakin semua orang bisa menjadi peneliti karena masalah yang kita teliti itu berasal dari kehidupan sehari-hari.

Janji Gelar Doktor Sebelum Usia 30

Sylvi menjadi salah satu dari empat peneliti nasional yang mendapat anugerah L’Oreal- UNESCO for Women in Science.

Proposal penelitian bertajuk “Pemanfaatan Limbah Sekam Padi sebagai Anoda untuk Aplikasi Baterai Temperatur dan Tegangan Tinggi” dipilih untuk dibiayai proyeknya agar dapat diwujudkan lantaran dinilai sangat bermanfaat bagi masyarakat pedalaman.

Arti penghargaan ini bagi Sylvi ialah pembuktian kepada orang tuanya, sebab di masa lalu sempat ada pertentangan untuk masuk jurusan teknik fisika. “Dulu orang tua saya ingin saya menjadi dokter.

Saat lulus SMA, saya mendapat beasiswa, tapi bukan kedokteran. Dalam skema beasiswa adanya jurusan teknik fisika,” kenang ibu dua anak itu. Sebenarnya bisa saja Sylvi tidak ambil beasiswa tersebut.

Namun, nalurinya sebagai anak sulung yang memikirkan biaya untuk adik dan keluarga membuat dia menerima beasiswa untuk jurusan kuliah yang jarang digeluti perempuan tersebut.

Orang tua Sylvi juga merasa sudah mendidiknya untuk menjadi dokter. Hanya, pendirian Sylvi sangat kuat. Ia hanya ingin kuliah gratis dan tidak mau membebani kedua orang tua. “Saya anak pertama dari dua bersaudara.

Adik saya ini laki-laki, tentu dia harus kuliah. Belum tentu nanti dia dapat beasiswa. Jarak usia saya dan adik cuma setahun. Pasti akan berat kalau harus membiayai dua anak yang kuliah sekaligus,” ungkap Sylvi.

Meskipun tidak pernah membayangkan untuk menjadi seorang ahli listrik, karena Sylvi selalu menjalani dengan penuh rasa syukur maka semua hambatan dapat dilalui.

Satu janjinya kepada orang tua saat memulai kuliah dulu ialah akan menjadi doktor sebelum usia 30 tahun. Ucapan itu tidak sengaja keluar dari mulutnya, hanya untuk meyakinkan orang tua bahwa ia bisa berhasil.

“Ternyata saya lulus S-3 di usia 26 tahun dan award dari L’Oreal ini sebagai pembuktian bahwa di usia 29 tahun semua sudah tercapai. Saat menerima penghargaan dan speech saya juga katakan ini sebagai dedikasi untuk orang tua,” ucap Sylvi, terharu.

Bagi Sylvi, pilihan itu sama saja. Yang terpenting menjalani semua dengan fokus dan memiliki tujuan yang bermanfaat untuk orang lain melalui penelitiannya. Sylvi bercerita, sejak berusia 22 tahun hingga saat ini banyak pencapaian di luar impiannya yang sudah ia raih.

Hal baru selalu dialaminya tiap tahun. Usia 22 tahun Sylvi lulus kuliah S-1, lalu lanjut S-2. Pada usia 23 tahun ia menikah dan melanjutkan S-3. Setahun kemudian, tepatnya pada usia 24 tahun, Sylvi menjadi ibu. Di usia 25 tahun, Sylvi memasuki kualifikasi doktor dan pada usia 26 tahun ia lulus S-3.

“Usia 27 tahun saya mulai jadi dosen dan sekarang usia 29 tahun, saya melengkapi perjalanan ini dengan terpilih menjadi national fellow L’Oreal-UNESCO for Women in Science,” ujarnya. “Pencapaian di usia muda ini bagi saya sebagai bukti bahwa kalau kita mau berusaha, apapun pilihan kita, pasti bisa,” pungkas Sylvi. (Ananda Nararya)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1083 seconds (0.1#10.140)