Survei: Konsumen Indonesia Suka Cash-Less, Jepang Pilih Bayar Tunai
A
A
A
TOKYO - Para konsumen di Taiwan, Thailand, dan Indonesia menyatakan yang paling siap untuk merangkul masa depan bernuansa Fintech dan cash-free. Sementara konsumen di Jepang dan berbagai pasar lainnya yang disurvei memilih mengambil pendekatan wait-and-see, walau melihat manfaat dari solusi-solusi yang ditawarakan.
Itulah hasil survei LINE Corporation yang dipublikasikan hari ini. Survei tersebut dilakukan terhadap 5.000 pengguna smartphone di tujuh negara untuk menelaah pandangan dan keyakinan mereka terhadap financial technology (fintech).
Survei ini meneliti lebih jauh konsumen di empat pasar utama yaitu Jepang, Thailand, Taiwan dan Indonesia. Selain itu, pasar Korea, Inggris, dan Amerika Serikat juga dalam target survei.
"Secara keseluruhan, pasar-pasar ini menyingkap kesempatan besar bagi penggunaan fintech yang lebih luas. Syaratnya, asalkan tantangan yang berkenaan dengan tingkat kesadaran dan akses pada produk yang rendah antara para konsumen dapat dilampaui," kata Takeshi Idezawa, CEO of LINE Corporation dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Selasa (4/12/2018).
Di ketujuh pasar, 64% dari responden setuju bahwa teknologi keuangan memudahkan perencanaan dan pengelolaan keuangan mereka. Tingkat kepercayaan pada teknologi keuangan umumnya tinggi, yakni 63% responden mengatakan, mereka percaya pada produk dan layanan yang sudah mereka kenal. Lalu 30% lagi menyatakan rasa ambivalen terhadap produk dan layanan tersebut.
Kepercayaan tampaknya meningkat dengan semakin mudanya usia pengguna. Hanya 55% dari mereka yang berusia diatas 55 tahun menaruh kepercayaan pada fintech dibanding 69% dari mereka yang berusia 18-34 tahun. Ini mengindikasikan potensi fintech ada di kelompok usia muda.
Tetapi di semua pasar yang disurvei, tingkat pengetahuan para responden terhadap produk dan layanan terkait teknologi keuangan yang tersedia di pasar masih rendah. Kurang dari setengah responden mempunyai pengetahuan atas fintech (44%), meskipun persentase naik menjadi 52% di antara mereka yang muda (rentang usia 18-34 tahun).
Dikatakan Takeshi Idezawa, dari semua produk dan layanan, yang responden gunakan dalam bentuk layanan mobile atau aplikasi ialah tabungan (65%), transfer uang (57%), rekening berjalan (48%), dan asuransi (48%). Ini merupakan pilihan-pilihan paling populer.
Asuransi jiwa (65%), asuransi perjalanan (58%), dan asuransi rumah (50%) terpilih sebagai bentuk-bentuk asuransi yang ingin diakses oleh para responden.
Negara-Negara dengan Kesiapan Fintech
Walau para responden di setiap pasar mempunyai ketertarikan dan kekhawatiran berbeda-beda, Thailand, Taiwan dan Indonesia terbilang menonjol. Sebab ketiganya sangat tertarik pada masa depan di mana keuangan menjadi digital.
Ketika ditanya tentang prospek negara mereka menjadi cash-free, para responden di sana memberi jawaban baik dengan rata-rata 37%. Di Thailand, 57% responden gembira jika menjadi cash-free, diikuti Indonesia 56%, dan Taiwan di 52%. Korea juga menjawab secara positif di 45%.
Negara-negara tersebut juga menjawab dengan lebih positif terhadap pembelian produk keuangan melalui layanan berbasis mobile. Ketika 65% dari keseluruhan responden ingin membuka tabungan melalui aplikasi mobile, Thailand memimpin dengan 83%, diikuti oleh Indonesia 77%, dan Taiwan di 69%. Lalu Korea 75%.
Sebaliknya, para responden di Inggris, Amerika Serikat dan Jepang tidak begitu bersemangat untuk meninggalkan cara-cara tradisional. Hanya persentasi kecil dari para responden berhasrat untuk menjadi cash-free. Jepang tercatat 24%, Amerika Serikat 20%, dan Inggris 19%.
Secara khusus, Jepang berada di paling belakang di antara negara-negara berkembang ketika berkenaan dengan pembayaran cashless. Namun dengan adanya usaha pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada uang tunai, bidang ini memiliki potensi untuk bertumbuh kembang.
Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang juga berada di bawah skor rata-rata yang berhubungan dengan kesediaan untuk menggunakan mobile untuk membeli layanan fintech. Di 49%, Jepang mempunyai persentase responden terendah yang mengatakan mereka bersedia membuka tabungan, Amerika Serikat (53%), dan Inggris (57%).
Untuk berinvestasi lewat mobile, Inggris duduk di posisi akhir pada 28%, diikuti oleh Amerika Serikat dan Jepang di 37%, sebuah angka yang mendekati rata-rata survei yakni di 45%.
Dibandingkan Thailand, Indonesia dan Taiwan, Jepang ada di posisi paling belakang dalam tingkat kepercayaan dan pemahaman akan fintech. Hanya 38% responden mengatakan, mereka menaruh kepercayaan pada Fintech dibanding rata-rata survei 63%. Hanya 22% melaporkan memiliki pengetahuan akan fintech dibanding rata-rata survei 44%.
Para responden Jepang paling mungkin melakukan kegiatan perbankan sendiri (80% dengan perbandingan rata-rata survei 68%). Dan paling rendah kemungkinannya menggunakan alat mobile (38% dengan perbandingan rata-rata survei 58%).
Negara Matahari Terbit ini juga berada di posisi terakhir dalam hal kemudahan yang dirasakan pengguna atas layanan keuangan saat ini (31% dibanding 67%). Hal ini mengindikasikan konsumen sebetulnya sudah siap untuk perubahan.
Itulah hasil survei LINE Corporation yang dipublikasikan hari ini. Survei tersebut dilakukan terhadap 5.000 pengguna smartphone di tujuh negara untuk menelaah pandangan dan keyakinan mereka terhadap financial technology (fintech).
Survei ini meneliti lebih jauh konsumen di empat pasar utama yaitu Jepang, Thailand, Taiwan dan Indonesia. Selain itu, pasar Korea, Inggris, dan Amerika Serikat juga dalam target survei.
"Secara keseluruhan, pasar-pasar ini menyingkap kesempatan besar bagi penggunaan fintech yang lebih luas. Syaratnya, asalkan tantangan yang berkenaan dengan tingkat kesadaran dan akses pada produk yang rendah antara para konsumen dapat dilampaui," kata Takeshi Idezawa, CEO of LINE Corporation dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Selasa (4/12/2018).
Di ketujuh pasar, 64% dari responden setuju bahwa teknologi keuangan memudahkan perencanaan dan pengelolaan keuangan mereka. Tingkat kepercayaan pada teknologi keuangan umumnya tinggi, yakni 63% responden mengatakan, mereka percaya pada produk dan layanan yang sudah mereka kenal. Lalu 30% lagi menyatakan rasa ambivalen terhadap produk dan layanan tersebut.
Kepercayaan tampaknya meningkat dengan semakin mudanya usia pengguna. Hanya 55% dari mereka yang berusia diatas 55 tahun menaruh kepercayaan pada fintech dibanding 69% dari mereka yang berusia 18-34 tahun. Ini mengindikasikan potensi fintech ada di kelompok usia muda.
Tetapi di semua pasar yang disurvei, tingkat pengetahuan para responden terhadap produk dan layanan terkait teknologi keuangan yang tersedia di pasar masih rendah. Kurang dari setengah responden mempunyai pengetahuan atas fintech (44%), meskipun persentase naik menjadi 52% di antara mereka yang muda (rentang usia 18-34 tahun).
Dikatakan Takeshi Idezawa, dari semua produk dan layanan, yang responden gunakan dalam bentuk layanan mobile atau aplikasi ialah tabungan (65%), transfer uang (57%), rekening berjalan (48%), dan asuransi (48%). Ini merupakan pilihan-pilihan paling populer.
Asuransi jiwa (65%), asuransi perjalanan (58%), dan asuransi rumah (50%) terpilih sebagai bentuk-bentuk asuransi yang ingin diakses oleh para responden.
Negara-Negara dengan Kesiapan Fintech
Walau para responden di setiap pasar mempunyai ketertarikan dan kekhawatiran berbeda-beda, Thailand, Taiwan dan Indonesia terbilang menonjol. Sebab ketiganya sangat tertarik pada masa depan di mana keuangan menjadi digital.
Ketika ditanya tentang prospek negara mereka menjadi cash-free, para responden di sana memberi jawaban baik dengan rata-rata 37%. Di Thailand, 57% responden gembira jika menjadi cash-free, diikuti Indonesia 56%, dan Taiwan di 52%. Korea juga menjawab secara positif di 45%.
Negara-negara tersebut juga menjawab dengan lebih positif terhadap pembelian produk keuangan melalui layanan berbasis mobile. Ketika 65% dari keseluruhan responden ingin membuka tabungan melalui aplikasi mobile, Thailand memimpin dengan 83%, diikuti oleh Indonesia 77%, dan Taiwan di 69%. Lalu Korea 75%.
Sebaliknya, para responden di Inggris, Amerika Serikat dan Jepang tidak begitu bersemangat untuk meninggalkan cara-cara tradisional. Hanya persentasi kecil dari para responden berhasrat untuk menjadi cash-free. Jepang tercatat 24%, Amerika Serikat 20%, dan Inggris 19%.
Secara khusus, Jepang berada di paling belakang di antara negara-negara berkembang ketika berkenaan dengan pembayaran cashless. Namun dengan adanya usaha pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada uang tunai, bidang ini memiliki potensi untuk bertumbuh kembang.
Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang juga berada di bawah skor rata-rata yang berhubungan dengan kesediaan untuk menggunakan mobile untuk membeli layanan fintech. Di 49%, Jepang mempunyai persentase responden terendah yang mengatakan mereka bersedia membuka tabungan, Amerika Serikat (53%), dan Inggris (57%).
Untuk berinvestasi lewat mobile, Inggris duduk di posisi akhir pada 28%, diikuti oleh Amerika Serikat dan Jepang di 37%, sebuah angka yang mendekati rata-rata survei yakni di 45%.
Dibandingkan Thailand, Indonesia dan Taiwan, Jepang ada di posisi paling belakang dalam tingkat kepercayaan dan pemahaman akan fintech. Hanya 38% responden mengatakan, mereka menaruh kepercayaan pada Fintech dibanding rata-rata survei 63%. Hanya 22% melaporkan memiliki pengetahuan akan fintech dibanding rata-rata survei 44%.
Para responden Jepang paling mungkin melakukan kegiatan perbankan sendiri (80% dengan perbandingan rata-rata survei 68%). Dan paling rendah kemungkinannya menggunakan alat mobile (38% dengan perbandingan rata-rata survei 58%).
Negara Matahari Terbit ini juga berada di posisi terakhir dalam hal kemudahan yang dirasakan pengguna atas layanan keuangan saat ini (31% dibanding 67%). Hal ini mengindikasikan konsumen sebetulnya sudah siap untuk perubahan.
(mim)