Scott Farquhar, Sukses Membuat Perusahaan Lain Sukses
A
A
A
MUNGKIN tidak banyak yang mengenal Scott Farquhar dan perusahaan yang dia nakhodai, Atlassian. Wajar, karena dia dan perusahaannya lebih banyak berada di balik layar, mengembangkan software untuk membuat perusahaan lebih sukses.
Semua berawal ketika Scott Farquhar dan temannya, Mike Cannon-Brookes, berkuliah di kampus yang sama. Setelah bekerja, mereka magang di tiga perusahaan terbesar di Australia. Namun, keduanya justru mendapati lingkungan kerja yang dianggap menakutkan dan tidak nyaman. "Sejak itu, saya tidak ingin bekerja di perusahaan besar lagi," ungkap Farquhar.
Mike meninggalkan program magang, lalu mengirim email kepada Scott dan beberapa temannya yang lain. Surel itu berisi, "Hai, daripada mencari kerja tahun depan, yuk kita bikin usaha sendiri saja." Ternyata, hanya Scott yang membalas email tersebut dan mereka berdua pun melahirkan Atlassian.
Mulanya Scott menargetkan, dengan Atlassian, dia bisa mendapatkan gaji yang dicapai teman-temannya di perusahaan besar dan mereka tetap dapat mengenakan baju bebas untuk bekerja. Proyek pertama mereka adalah mengerjakan software untuk perusahaan di Swedia. Dari situ, nama Atlassian muncul. Dalam mitologi Yunani, Atlas adalah raksasa yang berdiri di Gunung Atlas dan menjaga agar langit tidak runtuh.
Dari situ, lahirlah produk kedua, Jira, yang dijual seharga USD600. Keduanya mulai mengontrak kantor dan menambah karyawan. Kantornya pun tidak mewah. Pemanas ruangannya baru menyala menjelang siang. "Kami kedinginan hingga harus membenamkan tangan di air supaya bisa coding lagi," katanya.
Kini Atlassian tumbuh menjadi bisnis global. "Produk portofolio kami fokus pada tiga hal; berbagi pekerjaan, konten, dan komunikasi. Ketiga hal itu vital untuk membantu tim dan perusahaan melangkah maju."
Atlassian akhirnya melantai di bursa saham pada 2015, menjadikan kedua pendirinya sebagai miliuner. Saat ini perusahaan tersebut punya 1.800 karyawan dengan pendapatan USD450 juta pada akhir 2016 atau meningkat 43% dari tahun sebelumnya. Menurut Scott, dalam perusahaan kecil, pendirinya yang akan menyeleksi langsung 50 pekerja pertama. Selebihnya, si pendiri akan mendelegasikan tugas tersebut kepada orang lain.
"Tetapi, kami tidak melakukannya dengan baik, karena tidak tahu seperti apa orang yang cocok bekerja untuk Atlassian," ungkapnya.
Atlassian hanyalah satu dari beberapa startup di Sydney saat itu. Kantornya lengkap dengan hiburan, mulai meja pingpong, makanan, minuman tersedia, hingga bebas mengenakan pakaian. "Ternyata banyak yang salah mengira kami perusahaan urakan, bukan perusahaan yang luar biasa, melainkan tetap membebaskan karyawannya untuk bersenang-senang," ungkapnya.
Farquhar tumbuh di Castle Hill, tidak jauh dari Sydney, Australia. Dia bersekolah di SMA negeri dan menyebut orang tuanya masuk golongan kelas menengah. "Ibu saya bekerja macam-macam, mulai di McDonald's sampai Target. Sementara ayah saya adalah pekerja kasar," ungkapnya.
Dari situ, dia menghargai kerja keras. Pada saat kuliah itulah, Farquhar akhirnya mendirikan Atlassian. Bahkan, ketika bisnisnya sukses, dia tetap mempertahankan gaya hidup ngirit. "Ketika teman-teman kami hangout pada akhir pekan, kami memilih pulang ke rumah dan bekerja dari rumah," ungkapnya.
Lalu, apa mimpi masa depannya? Menurut Farquhar, banyak perusahaan yang bicara soal Fortune 500 atau Global 2000, yakni perusahaan-perusahaan raksasa yang memiliki dampak besar terhadap dunia. Tetapi, justru yang menjadi incarannya adalah Fortune 500.000.
"Ambisi kami adalah setiap karyawan dan perusahaan menggunakan satu atau lebih dari produk kami setiap harinya. Kami ingin menjadi perusahaan teknologi paling penting di lingkungan kerja. Kami ingin perusahaan mendapat dampak dan keuntungan dari produk kami sehingga mereka bisa sukses lewat produktivitas yang meningkat," ungkapnya.
Semua berawal ketika Scott Farquhar dan temannya, Mike Cannon-Brookes, berkuliah di kampus yang sama. Setelah bekerja, mereka magang di tiga perusahaan terbesar di Australia. Namun, keduanya justru mendapati lingkungan kerja yang dianggap menakutkan dan tidak nyaman. "Sejak itu, saya tidak ingin bekerja di perusahaan besar lagi," ungkap Farquhar.
Mike meninggalkan program magang, lalu mengirim email kepada Scott dan beberapa temannya yang lain. Surel itu berisi, "Hai, daripada mencari kerja tahun depan, yuk kita bikin usaha sendiri saja." Ternyata, hanya Scott yang membalas email tersebut dan mereka berdua pun melahirkan Atlassian.
Mulanya Scott menargetkan, dengan Atlassian, dia bisa mendapatkan gaji yang dicapai teman-temannya di perusahaan besar dan mereka tetap dapat mengenakan baju bebas untuk bekerja. Proyek pertama mereka adalah mengerjakan software untuk perusahaan di Swedia. Dari situ, nama Atlassian muncul. Dalam mitologi Yunani, Atlas adalah raksasa yang berdiri di Gunung Atlas dan menjaga agar langit tidak runtuh.
Dari situ, lahirlah produk kedua, Jira, yang dijual seharga USD600. Keduanya mulai mengontrak kantor dan menambah karyawan. Kantornya pun tidak mewah. Pemanas ruangannya baru menyala menjelang siang. "Kami kedinginan hingga harus membenamkan tangan di air supaya bisa coding lagi," katanya.
Kini Atlassian tumbuh menjadi bisnis global. "Produk portofolio kami fokus pada tiga hal; berbagi pekerjaan, konten, dan komunikasi. Ketiga hal itu vital untuk membantu tim dan perusahaan melangkah maju."
Atlassian akhirnya melantai di bursa saham pada 2015, menjadikan kedua pendirinya sebagai miliuner. Saat ini perusahaan tersebut punya 1.800 karyawan dengan pendapatan USD450 juta pada akhir 2016 atau meningkat 43% dari tahun sebelumnya. Menurut Scott, dalam perusahaan kecil, pendirinya yang akan menyeleksi langsung 50 pekerja pertama. Selebihnya, si pendiri akan mendelegasikan tugas tersebut kepada orang lain.
"Tetapi, kami tidak melakukannya dengan baik, karena tidak tahu seperti apa orang yang cocok bekerja untuk Atlassian," ungkapnya.
Atlassian hanyalah satu dari beberapa startup di Sydney saat itu. Kantornya lengkap dengan hiburan, mulai meja pingpong, makanan, minuman tersedia, hingga bebas mengenakan pakaian. "Ternyata banyak yang salah mengira kami perusahaan urakan, bukan perusahaan yang luar biasa, melainkan tetap membebaskan karyawannya untuk bersenang-senang," ungkapnya.
Farquhar tumbuh di Castle Hill, tidak jauh dari Sydney, Australia. Dia bersekolah di SMA negeri dan menyebut orang tuanya masuk golongan kelas menengah. "Ibu saya bekerja macam-macam, mulai di McDonald's sampai Target. Sementara ayah saya adalah pekerja kasar," ungkapnya.
Dari situ, dia menghargai kerja keras. Pada saat kuliah itulah, Farquhar akhirnya mendirikan Atlassian. Bahkan, ketika bisnisnya sukses, dia tetap mempertahankan gaya hidup ngirit. "Ketika teman-teman kami hangout pada akhir pekan, kami memilih pulang ke rumah dan bekerja dari rumah," ungkapnya.
Lalu, apa mimpi masa depannya? Menurut Farquhar, banyak perusahaan yang bicara soal Fortune 500 atau Global 2000, yakni perusahaan-perusahaan raksasa yang memiliki dampak besar terhadap dunia. Tetapi, justru yang menjadi incarannya adalah Fortune 500.000.
"Ambisi kami adalah setiap karyawan dan perusahaan menggunakan satu atau lebih dari produk kami setiap harinya. Kami ingin menjadi perusahaan teknologi paling penting di lingkungan kerja. Kami ingin perusahaan mendapat dampak dan keuntungan dari produk kami sehingga mereka bisa sukses lewat produktivitas yang meningkat," ungkapnya.
(amm)