Registrasi SIM Card Persulit Aksi Produsen Hoax Seperti MCA
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan registrasi SIM Card dinilai akan semakin meyulitkan aksi para produsen hoax, seperti kelompok MCA . Dengan dibatasinya kepemilikan kartu prabayar, maka penyebaran konten hoaks diharapkan bisa berkurang. Karena kartu prabayar yang dibeli bebas dalam jumlah banyak inilah yang menjadi alat bantu utama pelaku dan penyebar hoax.
Pakar keamanan siber, Pratama Persadha, dalam keterangannya, Minggu (4/3), menjelaskan bahwa dalam menyebarkan konten hoax, grup seperti MCA dan Saracen memakai akun-akun media sosial dan juga Whatsapp serta Telegram. Sedangkan untuk membuat akun-akun media sosial tersebut membutuhkan email. Sementara untuk membuat email saat ini perlu nomor seluler sebagai syarat otentikasi, juga layanan media sosial mulai mewajibkan pemakaian nomor seluler saat pendaftaran.
”Jadi, jika kebijakan registrasi SIM Card berjalan baik maka data-data pemilik kartu seluler akan jelas teridentifikasi. Para produsen hoaks akan berpikir dua kali untuk membuat dan menyebarkan berita-berita bohong, ” tegas Pratama.
Penyebaran konten hoax lewat Whatsapp misalnya diperlukan nomor baru, sehingga bisa disamarkan identitasnya. Namun dengan adanya kewajiban registrasi dan pembatasan jumlah kepemilikan nomor seluler prabayar, produsen akun dan konten hoaks akan semakin kesulitan melancarkan aksinya.
Sementara itu, kartu-kartu yang tak didaftarkan akan diblokir. Sehingga secara bertahap, media sosial penyebar berita bohong tersebut akan berkurang. Pemblokiran bertahap sendiri akan berakhir pada 30 April mendatang. Patut ditunggu apakah intensitas penyebaran konten hoaks akan berkurang berkurang drastis atau tidak.
Fokus pada Konten
Terkait penangkapan beberapa aktor penting produsen hoaks MCA, Pratama berharap Polri membuka ke publik contoh-contoh konten secara detail dari kelompok tersebut yang dianggap hoaks. Ini penting agar masyarakat tahu persis konten seperti apa yang berbahaya dan tidak ikut menyebarkan.
“Karena masih banyak masyarakat awam yang ikut serta menyebarkan, walau mereka bukan anggota MCA,” jelas pria asal Cepu, Jateng ini.
Pratama menambahkan masih banyak akun, grup dan fanpages memakai nama MCA saat ini. Belum lagi kontroversi yang saat ini muncul di media terkait asal usul dan struktur MCA. Karenanya aparat diminta tetap fokus pada akun-akun yang membuat dan menyebarkan konten hoaks.
“Fokus pada kontennya yang meresahkan, bukan foto profil maupun nama akun yang memakai MCA,” terang Pratama.
Dari pantauan di Facebook misalnya, masih ada grup Facebook MCA beranggotan 250 ribu akun. Ada puluhan grup dan fanpages serupa di luar akun dan grup yang dikelola para tersangka admin MCA yang telah ditangkap pihak kepolisian.
“Pekerjaan Polri memberantas hoax masih panjang. Masih ada sebagian masyarakat yang antipati pada penangkapan aktor-aktor hoaks. Karena itu Polri perlu membuktikan dengan menangkap semua produsen konten hoaks dan hate speech. Lalu tak kalah penting, komunikasi Polri di media sosal perlu terus ditingkatkan agar menjadi rujukan utama masyarakat,” pungkas Pratama.
Pakar keamanan siber, Pratama Persadha, dalam keterangannya, Minggu (4/3), menjelaskan bahwa dalam menyebarkan konten hoax, grup seperti MCA dan Saracen memakai akun-akun media sosial dan juga Whatsapp serta Telegram. Sedangkan untuk membuat akun-akun media sosial tersebut membutuhkan email. Sementara untuk membuat email saat ini perlu nomor seluler sebagai syarat otentikasi, juga layanan media sosial mulai mewajibkan pemakaian nomor seluler saat pendaftaran.
”Jadi, jika kebijakan registrasi SIM Card berjalan baik maka data-data pemilik kartu seluler akan jelas teridentifikasi. Para produsen hoaks akan berpikir dua kali untuk membuat dan menyebarkan berita-berita bohong, ” tegas Pratama.
Penyebaran konten hoax lewat Whatsapp misalnya diperlukan nomor baru, sehingga bisa disamarkan identitasnya. Namun dengan adanya kewajiban registrasi dan pembatasan jumlah kepemilikan nomor seluler prabayar, produsen akun dan konten hoaks akan semakin kesulitan melancarkan aksinya.
Sementara itu, kartu-kartu yang tak didaftarkan akan diblokir. Sehingga secara bertahap, media sosial penyebar berita bohong tersebut akan berkurang. Pemblokiran bertahap sendiri akan berakhir pada 30 April mendatang. Patut ditunggu apakah intensitas penyebaran konten hoaks akan berkurang berkurang drastis atau tidak.
Fokus pada Konten
Terkait penangkapan beberapa aktor penting produsen hoaks MCA, Pratama berharap Polri membuka ke publik contoh-contoh konten secara detail dari kelompok tersebut yang dianggap hoaks. Ini penting agar masyarakat tahu persis konten seperti apa yang berbahaya dan tidak ikut menyebarkan.
“Karena masih banyak masyarakat awam yang ikut serta menyebarkan, walau mereka bukan anggota MCA,” jelas pria asal Cepu, Jateng ini.
Pratama menambahkan masih banyak akun, grup dan fanpages memakai nama MCA saat ini. Belum lagi kontroversi yang saat ini muncul di media terkait asal usul dan struktur MCA. Karenanya aparat diminta tetap fokus pada akun-akun yang membuat dan menyebarkan konten hoaks.
“Fokus pada kontennya yang meresahkan, bukan foto profil maupun nama akun yang memakai MCA,” terang Pratama.
Dari pantauan di Facebook misalnya, masih ada grup Facebook MCA beranggotan 250 ribu akun. Ada puluhan grup dan fanpages serupa di luar akun dan grup yang dikelola para tersangka admin MCA yang telah ditangkap pihak kepolisian.
“Pekerjaan Polri memberantas hoax masih panjang. Masih ada sebagian masyarakat yang antipati pada penangkapan aktor-aktor hoaks. Karena itu Polri perlu membuktikan dengan menangkap semua produsen konten hoaks dan hate speech. Lalu tak kalah penting, komunikasi Polri di media sosal perlu terus ditingkatkan agar menjadi rujukan utama masyarakat,” pungkas Pratama.
(wbs)