Lei Jun Bertahan di Tengah Kemerosotan Xiaomi
A
A
A
JAKARTA - Selain karena pasar smartphone global yang stagnan, persaingan ketat di Tiongkok membuat market share Xiaomi terus merosot. Alhasil, CEO Xiaomi Lei Jun kehilangan kekayaan hingga USD2,9 miliar. Sekarang, kekayaannya hanya USD6,9 miliar.
Pada awal 2015, Xiaomi adalah produsen ponsel yang sedang berjaya. Perusahaan tersebut mengungguli merek-merek ponsel global yang sudah matang lewat ponsel yang murah, tapi berkualitas. Tidak hanya menjual ponsel, Xiaomi memiliki ekosistem yang meliputi musik, aplikasi, serta produk Internet of Things (IoT). Mereka juga baru saja mendapatkan pendanaan yang membuat valuasi perusahaan mencapai USD45 miliar, menjadikannya sebagai startup “unicorn” dengan valuasi paling tinggi.
Saat itu Xiaomi adalah vendor ponsel terbesar No 1 di China dan No 3 di dunia. Sayangnya, kurang dari 18 bulan kemudian, majalah Fortune melaporkan bahwa euforia Xiaomi mencapai puncaknya. Pendapatan Xiaomi pada 2015 hanya mencapai USD12,5 miliar, jauh di bawah target Lei Jun yang sekitar USD16 miliar. Penjualan ponsel yang ditargetkan Lei Jun bisa mencapai 100 juta unit tahun ini hanya tercapai71 juta unit (data IDC). Sebenarnya Xioami tidak sendirian karena memang pasar ponsel global sedang merosot (termasuk Apple).
Namun, merosotnya Xiaomi lebih jauh dan cepat dibanding rivalrivalnya. Pada kuartal pertama 2016 misalnya, Xiaomi hanya mengapalkan 10,9 juta ponsel atau turun 26% dibanding tahun sebelumnya. Meski demikian, Lei Jun tetap optimistis.
“Kami adalah salah satu perusahaan teknologi pertama yang mengadopsi bisnis model Internet-plus, dengan teknologi inovatif, produk berkualitas, dan operasional yang sangat efisien,” ujarnya.
Dengan kekayaan yang mencapai USD6,8 miliar itu, Lei Jun menjadi orang terkaya ke-12 di China. Menurut Jun, kunci sukses Xiaomi tetap sama.
“Dengan teknologi internet yang semakin maju dan pendekatan ecommerce, kami berupaya untuk menghilangkan middlemen sehingga dapat membawa produk kami sedekat mungkin kepada pelanggan dengan harga yang lebih terjangkau,” tambahnya.
Tantangan bagi Xiaomi memang berat. Apalagi, mereka baru saja ditinggal Hugo Barra, VP Internasional Xiaomi yang sangat berjasa mengenalkan label mereka ke ranah global.
Hugo meninggalkan Xiaomi salah satu alasannya polusi udara di China yang mulai berpengaruh pada kesehatannya. Saat ini Hugo bergabung ke Facebook. (Danang Arradian)
Pada awal 2015, Xiaomi adalah produsen ponsel yang sedang berjaya. Perusahaan tersebut mengungguli merek-merek ponsel global yang sudah matang lewat ponsel yang murah, tapi berkualitas. Tidak hanya menjual ponsel, Xiaomi memiliki ekosistem yang meliputi musik, aplikasi, serta produk Internet of Things (IoT). Mereka juga baru saja mendapatkan pendanaan yang membuat valuasi perusahaan mencapai USD45 miliar, menjadikannya sebagai startup “unicorn” dengan valuasi paling tinggi.
Saat itu Xiaomi adalah vendor ponsel terbesar No 1 di China dan No 3 di dunia. Sayangnya, kurang dari 18 bulan kemudian, majalah Fortune melaporkan bahwa euforia Xiaomi mencapai puncaknya. Pendapatan Xiaomi pada 2015 hanya mencapai USD12,5 miliar, jauh di bawah target Lei Jun yang sekitar USD16 miliar. Penjualan ponsel yang ditargetkan Lei Jun bisa mencapai 100 juta unit tahun ini hanya tercapai71 juta unit (data IDC). Sebenarnya Xioami tidak sendirian karena memang pasar ponsel global sedang merosot (termasuk Apple).
Namun, merosotnya Xiaomi lebih jauh dan cepat dibanding rivalrivalnya. Pada kuartal pertama 2016 misalnya, Xiaomi hanya mengapalkan 10,9 juta ponsel atau turun 26% dibanding tahun sebelumnya. Meski demikian, Lei Jun tetap optimistis.
“Kami adalah salah satu perusahaan teknologi pertama yang mengadopsi bisnis model Internet-plus, dengan teknologi inovatif, produk berkualitas, dan operasional yang sangat efisien,” ujarnya.
Dengan kekayaan yang mencapai USD6,8 miliar itu, Lei Jun menjadi orang terkaya ke-12 di China. Menurut Jun, kunci sukses Xiaomi tetap sama.
“Dengan teknologi internet yang semakin maju dan pendekatan ecommerce, kami berupaya untuk menghilangkan middlemen sehingga dapat membawa produk kami sedekat mungkin kepada pelanggan dengan harga yang lebih terjangkau,” tambahnya.
Tantangan bagi Xiaomi memang berat. Apalagi, mereka baru saja ditinggal Hugo Barra, VP Internasional Xiaomi yang sangat berjasa mengenalkan label mereka ke ranah global.
Hugo meninggalkan Xiaomi salah satu alasannya polusi udara di China yang mulai berpengaruh pada kesehatannya. Saat ini Hugo bergabung ke Facebook. (Danang Arradian)
(nfl)