Komunikasi Efektif Pelindung Anak Bermedsos
A
A
A
Pada era serba digital seperti saat ini, menjadi sebuah pandangan umum apabila anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya dengan duduk manis bermain gadget dan aktif di media sosial (medsos), dibanding pergi ke luar rumah untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya. Platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat atau YouTube sepertinya menjadi aplikasi yang wajib dimiliki.
Si kecil ternyata punya pandangan berbeda ketika ditanya mengapa betah berlama-lama mengarungi dunia maya. Pada 2014, Facebook bekerja sama dengan Crowd DNA meluncurkan studi berjudul Coming of Age on Screens yang melibatkan 11.000 siswa dan anak muda berumur 13 hingga 24 tahun yang berada di 13 negara, termasuk Indonesia.
Hasilnya, sekitar 69% remaja mengatakan mereka merasa ketinggalan informasi jika tidak dapat mengakses jejaring sosial. Sementara itu, 79% remaja menyebutkan, Facebook dapat mendokumentasikan kegiatan mereka. Sementara sebanyak 81% remaja mengaku Facebook membuat mereka merasa lebih dekat dengan orang yang dikenal.
Facebook mempunyai kebijakan hanya mengizinkan anak yang berusia 13 tahun ke atas untuk membuat akun. Menunjukkan keseriusannya, beberapa waktu lalu, Facebook merekrut telah 3.000 karyawan baru sebagai peninjau posting-an.
Psikolog Anak dan Praktisi Theraplay Astrid WEN MPsi mengemukakan, anak harus diberi pemahaman bahwa setiap medsos atau aplikasi permainan lainnya memiliki batasan usia minimal penggunanya. Regulasi tersebut, menurut dia, harus diikuti dan jangan dianggap remeh. Hal ini penting karena untuk melindungi penggunanya dari konten bersifat negatif dan pemanfaatan jejaring sosial yang lebih optimal.
"Umumnya anak yang masih di bawah umur belum memiliki kematangan dalam berpikir dan bertindak sehingga mudah terpapar serangan negatif dari medsos. Orang tua serta guru di sekolah mesti bisa memberi tahu soal ini," katanya ketika dihubungi KORAN SINDO, Rabu (8/11/2017).
Sebenarnya, lanjut dia, anak-anak usia 8-10 tahun sudah bisa diarahkan dan diajarkan untuk mengikuti aturan untuk tidak membuat akun medsos sebelum waktunya. Kalau pun sudah telanjur kedapatan punya tanpa izin, orang tua bisa mengawasi isi posting-an dengan ikut follow atau membuat batasan waktu anak untuk bersentuhan dengan dunia maya.
"Paling penting adalah komunikasi berjalan lancar dan ajak anak diskusi, jangan kaku dan membuat larangan. Nanti jatuhnya anak malah marah dan tidak terima sehingga punya aturan sendiri," sebut Pendiri PION Clinician ini.
Astrid menyarankan, usahakan anak lebih suka curhat atau ngobrol dengan orang tua dibanding melalui medsos sehingga keterbukaan dalam keluarga itu amat penting. Menurut dia, medsos merupakan media bagi siapa pun untuk berinteraksi sosial dan berkomunikasi lewat jagat maya. Anak-anak senang bermain di sini karena dapat mengekspresikan diri serta mendapat pengakuan dari teman-teman sebayanya melalui banyaknya follower atau like di setiap posting-an. Zaman sekarang, sifat ekstrovert sepertinya lebih dihargai di dunia pergaulan.
Karena itu, generasi milenial tersebut berlomba-lomba tampil sempurna dan bahagia di depan pengikutnya. Padahal, sikap seperti ini lama-lama bakal menimbulkan rasa self center pada anak, bahkan bisa menyebabkan depresi yang berkepanjangan. "Hidup yang selalu happy, fun, dan menyenangkan di medsos sejatinya hanya branding. Anak-anak mesti dibekali pengetahuan soal ini dan selalu didampingi saat bermain medsos," kata Astrid.
Untuk meminimalkan dampak buruk medsos, ujar Astrid, sebaiknya orang tua mulai membuat aturan yang realistis atau dapat dilakukan oleh orang tua sendiri. Misalnya saja, menyusun aturan untuk tidak boleh bermain gadget pada waktu makan, membatasi screen time satu jam sebelum tidur, mematikan notifikasi ponsel atau selalu berkomunikasi secara intensif dan tatap muka dengan anak.
"Selalu beri tahu dan ingatkan waktu penggunaannya. Misalnya 10 menit saja. Kemudian diberi tahu kegiatan berikutnya. Orang tua juga bisa memberikan kegiatan lain yang melibatkan interaksi dengan orang tua atau orang dewasa lainnya," imbuhnya.
Meski begitu, lulusan Master Profesi Psikolog Klinis Anak di Universitas Indonesia ini mengatakan, anak tidak harus dijauhkan sama sekali dengan perangkat pintar tersebut. Hal itu mengingat beberapa aplikasi ponsel juga dapat memberikan informasi positif dan berguna bagi perkembangan anak, seperti situs berbagi video YouTube dan mesin pencari Google yang memberikan banyak ilmu pengetahuan dan bahan pelajaran bagi sang buah hati.
"Namun, tetap awasi dan dampingi anak saat memegang ponsel dan bermain medsos. Selalu bicarakan kepada anak mana yang baik dan tidak baik dikonsumsi oleh mereka," tutur Astrid.
Sementara itu, Deputy Director ICT Watch Widuri menjelaskan, terdapat etika berinternet sehat untuk anak di bawah umur serta adanya hak-hak anak yang harus dilindungi. Untuk itulah, lahir Program Internet Sehat yang sudah didirikan sejak 2002, berbekal fenomena di mana internet dikenalkan kepada anak dan remaja tanpa dibekali apa yang harus dijaga.
“Ibarat dua sisi mata pisau, ada efek baik atau pun jelek. Bagi anak dan remaja, internet adalah hal baru. Ibarat mal atau pasar, internet adalah dunia yang luas. Orang tua harus mendampingi apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan," tandasnya melalui saluran telepon.
Dia menuturkan, ibarat fenomena gunung es, internet hanya terlihat jeleknya saja saat ini. Cyber bullying, pornografi, dan privasi adalah masalah terbesar penyalahgunaan internet saat ini. Sementara kebocoran informasi serta akun yang di-hack menjadi pintu penyalahgunaan internet. Apalagi saat ini internet dan medsos sudah menjadi bagian hidup anak-anak dan remaja. Oleh karena itu, lanjut Widuri, beberapa pihak mulai mendorong digital interaction sebagai kurikulum di sekolah.
Hal ini dilakukan seperti halnya di dunia nyata, menggunakan medsos dan berselancar di internet pun harus ada etika. ICT Watch sendiri terus melakukan kegiatan edukasi literasi digital kepada orang tua, tenaga pendidik, serta komunitas-komunitas agar mereka dapat mengomunikasikannya kepada buah hati dan siswanya. Karena yang mendasar adalah komunikasi antara orang tua dan anak selalu terjaga, termasuk dalam hal pemanfaatan internet oleh anak-anak.
Beberapa contohnya, memberikan gadget hanya sesuai kebutuhan si anak, adanya pembatasan waktu pakai, mematuhi aturan usia yang ditetapkan pada tiap-tiap aplikasi serta memberikan pemahaman pada anak bahwa akan ada apa saja kemungkinan yang akan mereka temui ketika berinternet. Pada prinsipnya, kata dia, orang tua dan orang dewasa di sekeliling anak harus memberikan prinsip cerdas berinternet.
"Jadi, diharapkan bisa terbangun imun dalam diri si anak itu sendiri. Mereka akan paham terhadap konten-konten apa saja yang baik dan tidak baik untuk mereka. Mereka akan bisa melakukan self censorship terhadap konten yang memang tidak seharusnya mereka konsumsi," ujar Widuri.
Si kecil ternyata punya pandangan berbeda ketika ditanya mengapa betah berlama-lama mengarungi dunia maya. Pada 2014, Facebook bekerja sama dengan Crowd DNA meluncurkan studi berjudul Coming of Age on Screens yang melibatkan 11.000 siswa dan anak muda berumur 13 hingga 24 tahun yang berada di 13 negara, termasuk Indonesia.
Hasilnya, sekitar 69% remaja mengatakan mereka merasa ketinggalan informasi jika tidak dapat mengakses jejaring sosial. Sementara itu, 79% remaja menyebutkan, Facebook dapat mendokumentasikan kegiatan mereka. Sementara sebanyak 81% remaja mengaku Facebook membuat mereka merasa lebih dekat dengan orang yang dikenal.
Facebook mempunyai kebijakan hanya mengizinkan anak yang berusia 13 tahun ke atas untuk membuat akun. Menunjukkan keseriusannya, beberapa waktu lalu, Facebook merekrut telah 3.000 karyawan baru sebagai peninjau posting-an.
Psikolog Anak dan Praktisi Theraplay Astrid WEN MPsi mengemukakan, anak harus diberi pemahaman bahwa setiap medsos atau aplikasi permainan lainnya memiliki batasan usia minimal penggunanya. Regulasi tersebut, menurut dia, harus diikuti dan jangan dianggap remeh. Hal ini penting karena untuk melindungi penggunanya dari konten bersifat negatif dan pemanfaatan jejaring sosial yang lebih optimal.
"Umumnya anak yang masih di bawah umur belum memiliki kematangan dalam berpikir dan bertindak sehingga mudah terpapar serangan negatif dari medsos. Orang tua serta guru di sekolah mesti bisa memberi tahu soal ini," katanya ketika dihubungi KORAN SINDO, Rabu (8/11/2017).
Sebenarnya, lanjut dia, anak-anak usia 8-10 tahun sudah bisa diarahkan dan diajarkan untuk mengikuti aturan untuk tidak membuat akun medsos sebelum waktunya. Kalau pun sudah telanjur kedapatan punya tanpa izin, orang tua bisa mengawasi isi posting-an dengan ikut follow atau membuat batasan waktu anak untuk bersentuhan dengan dunia maya.
"Paling penting adalah komunikasi berjalan lancar dan ajak anak diskusi, jangan kaku dan membuat larangan. Nanti jatuhnya anak malah marah dan tidak terima sehingga punya aturan sendiri," sebut Pendiri PION Clinician ini.
Astrid menyarankan, usahakan anak lebih suka curhat atau ngobrol dengan orang tua dibanding melalui medsos sehingga keterbukaan dalam keluarga itu amat penting. Menurut dia, medsos merupakan media bagi siapa pun untuk berinteraksi sosial dan berkomunikasi lewat jagat maya. Anak-anak senang bermain di sini karena dapat mengekspresikan diri serta mendapat pengakuan dari teman-teman sebayanya melalui banyaknya follower atau like di setiap posting-an. Zaman sekarang, sifat ekstrovert sepertinya lebih dihargai di dunia pergaulan.
Karena itu, generasi milenial tersebut berlomba-lomba tampil sempurna dan bahagia di depan pengikutnya. Padahal, sikap seperti ini lama-lama bakal menimbulkan rasa self center pada anak, bahkan bisa menyebabkan depresi yang berkepanjangan. "Hidup yang selalu happy, fun, dan menyenangkan di medsos sejatinya hanya branding. Anak-anak mesti dibekali pengetahuan soal ini dan selalu didampingi saat bermain medsos," kata Astrid.
Untuk meminimalkan dampak buruk medsos, ujar Astrid, sebaiknya orang tua mulai membuat aturan yang realistis atau dapat dilakukan oleh orang tua sendiri. Misalnya saja, menyusun aturan untuk tidak boleh bermain gadget pada waktu makan, membatasi screen time satu jam sebelum tidur, mematikan notifikasi ponsel atau selalu berkomunikasi secara intensif dan tatap muka dengan anak.
"Selalu beri tahu dan ingatkan waktu penggunaannya. Misalnya 10 menit saja. Kemudian diberi tahu kegiatan berikutnya. Orang tua juga bisa memberikan kegiatan lain yang melibatkan interaksi dengan orang tua atau orang dewasa lainnya," imbuhnya.
Meski begitu, lulusan Master Profesi Psikolog Klinis Anak di Universitas Indonesia ini mengatakan, anak tidak harus dijauhkan sama sekali dengan perangkat pintar tersebut. Hal itu mengingat beberapa aplikasi ponsel juga dapat memberikan informasi positif dan berguna bagi perkembangan anak, seperti situs berbagi video YouTube dan mesin pencari Google yang memberikan banyak ilmu pengetahuan dan bahan pelajaran bagi sang buah hati.
"Namun, tetap awasi dan dampingi anak saat memegang ponsel dan bermain medsos. Selalu bicarakan kepada anak mana yang baik dan tidak baik dikonsumsi oleh mereka," tutur Astrid.
Sementara itu, Deputy Director ICT Watch Widuri menjelaskan, terdapat etika berinternet sehat untuk anak di bawah umur serta adanya hak-hak anak yang harus dilindungi. Untuk itulah, lahir Program Internet Sehat yang sudah didirikan sejak 2002, berbekal fenomena di mana internet dikenalkan kepada anak dan remaja tanpa dibekali apa yang harus dijaga.
“Ibarat dua sisi mata pisau, ada efek baik atau pun jelek. Bagi anak dan remaja, internet adalah hal baru. Ibarat mal atau pasar, internet adalah dunia yang luas. Orang tua harus mendampingi apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan," tandasnya melalui saluran telepon.
Dia menuturkan, ibarat fenomena gunung es, internet hanya terlihat jeleknya saja saat ini. Cyber bullying, pornografi, dan privasi adalah masalah terbesar penyalahgunaan internet saat ini. Sementara kebocoran informasi serta akun yang di-hack menjadi pintu penyalahgunaan internet. Apalagi saat ini internet dan medsos sudah menjadi bagian hidup anak-anak dan remaja. Oleh karena itu, lanjut Widuri, beberapa pihak mulai mendorong digital interaction sebagai kurikulum di sekolah.
Hal ini dilakukan seperti halnya di dunia nyata, menggunakan medsos dan berselancar di internet pun harus ada etika. ICT Watch sendiri terus melakukan kegiatan edukasi literasi digital kepada orang tua, tenaga pendidik, serta komunitas-komunitas agar mereka dapat mengomunikasikannya kepada buah hati dan siswanya. Karena yang mendasar adalah komunikasi antara orang tua dan anak selalu terjaga, termasuk dalam hal pemanfaatan internet oleh anak-anak.
Beberapa contohnya, memberikan gadget hanya sesuai kebutuhan si anak, adanya pembatasan waktu pakai, mematuhi aturan usia yang ditetapkan pada tiap-tiap aplikasi serta memberikan pemahaman pada anak bahwa akan ada apa saja kemungkinan yang akan mereka temui ketika berinternet. Pada prinsipnya, kata dia, orang tua dan orang dewasa di sekeliling anak harus memberikan prinsip cerdas berinternet.
"Jadi, diharapkan bisa terbangun imun dalam diri si anak itu sendiri. Mereka akan paham terhadap konten-konten apa saja yang baik dan tidak baik untuk mereka. Mereka akan bisa melakukan self censorship terhadap konten yang memang tidak seharusnya mereka konsumsi," ujar Widuri.
(amm)