Kompetisi Makin Sengit, Industri TIK Perlu Lakukan Efisiensi
A
A
A
JAKARTA - Perubahan core bisnis industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang terjadi saat ini menuntut perusahaan mengurangi tenaga kerja sebagai bentuk efisiensi. Ini salah satu opsi terakhir untuk mencapai keseimbangan produktivitas dan kinerja.
"Merger mungkin dapat membantu menaikkan nilai tambah. Tapi kalau biaya operasi masih tinggi dan mengurangi nilai tambah, ya pilihan terakhir PHK (pemutusan hubungan kerja). Walaupun belum tentu meningkatkan kinerja perusahaan," kata pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Tadjudin Nur Effendi, Jakarta, Senin (21/8/2017).
Pernyataan tersebut menanggapi arah bisnis industri ICT yang cenderung konsolidasi sebagaimana diungkapkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara. Menkominfo pernah mengimbau agar operator telekomunikasi berkonsolidasi.
Sebab, kerugian terus diderita operator telekomunikasi, khususnya yang baru bergabung di sektor tersebut. Nah, konsolidasi ini salah satu solusi guna memangkas kerugian mereka.
Tadjudin menilai upaya konsolidasi terutama merger dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan agar tetap berproduksi. Sementara, PHK mengurangi pekerja atau beban perusahaan di sisi biaya produksi.
Dia menyerahkan sepenuhnya kebijakan ini pada perusahaan terkait. "Mana yang lebih efisien, tentu itu tergantung pada situasi dan pilihan manajemen perusahaan," ujarnya.
Contohnya Microsoft, kemungkinan raksasa IT itu terlalu terbebani membayar pekerja sehingga lebih baik melakukan PHK. Di sisi lain, perubahan core bisnis perusahaan TI saat ini menuntut perusahaan merampingkan karyawan agar mudah bergerak dan melakukan inovasi menghadapi kompetisi yang makin sengit.
Sementara terkait merger operator, dia menilai, Kominfo pasti telah melakukan pengamatan terhadap kondisi operator telekomunikasi di Indonesia. Hal itu dilakukan karena perusahaan yang menekuni bisnis ini sudah sedemikian menjamur di Tanah Air.
"Mungkin Kominfo menilai operator telekomunikasi sudah melampaui jumlah yang diinginkan atau melampaui titik nilai tambah yang diharapkan," tuturnya.
Meski demikian, imbauan untuk merger dan korelasinya terhadap PHK tidak bisa dipukul rata. Setiap perusahaan memiliki kebijakan sendiri terkait efisiensi. "Ya tentu itu kembali pada manajemen perusahaan. Kalau manajemen baik, ya tentu perusahaan bisa baik," ujar dia.
Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan melihat pengurangan tenaga kerja tak bisa dihindari terutama dikaitkan dengan kapasitas perusahaan. "Ibaratnya, kapal yang tadinya dua, sekarang tinggal satu. Harus ada sebagian yang diturunkan. Daripada kelebihan kapasitas lalu tenggelam semua," katanya.
Hadi menjabarkan saat terjadi konsolidasi berupa merger atau akuisisi, aturan ketenagakerjaan terkait PHK mesti dipahami secara berbeda dengan kondisi normal. Sebab, biasanya ada dua situasi yang akan dihadapi. Pertama, para karyawan tidak mau ikut bekerja di bawah naungan pimpinan baru.
Dalam situasi ini, PHK bisa saja dilakukan dengan pesangon maksimal 9 bulan upah, di luar uang penghargaan kerja dan tunjangan lain. "Kan merger ini sama dengan efisiensi, sehingga harus ada pesangon yang sesuai. Maksimal sembilan bulan dikalikan dua, ditambah tunjangan lain," ujar Hadi.
Kedua, jika perusahaan yang menghendaki PHK, aturan menjadi berbeda. Prinsipnya, perusahaan bisa melakukan PHK, namun tetap memberi jalan keluar terbaik bagi pekerja. Seperti diketahui, di dunia internasional perkembangan teknologi erat kaitannya dengan efisiensi dan PHK.
Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Merza Fachys juga memiliki penilaian serupa. Merza menilai efisiensi di industri teknologi informasi dan telekomunikasi tidak bisa dihindari. Efisiensi merupakan suatu tuntutan yang terjadi dalam proses bisnis yang terus berulang.
"Efisiensi di bisnis telekomunikasi merupakan proses bisnis yang berulang dan suatu tuntutan yang tak bisa dihindari," ujar dia.
Pernyataan Merza tersebut mengomentari tren di industri teknologi informasi global yang cenderung mengurangi jumlah pekerja digantikan teknologi yang makin canggih serta pergeseran preferensi konsumen yang kian dinamis.
"Ibaratnya kalau nafasnya berat, sudah saatnya cari tempelan dengan nafas yang masih panjang. Kalau tidak, ya diambil alih oleh mereka yang nafasnya masing panjang," katanya.
"Merger mungkin dapat membantu menaikkan nilai tambah. Tapi kalau biaya operasi masih tinggi dan mengurangi nilai tambah, ya pilihan terakhir PHK (pemutusan hubungan kerja). Walaupun belum tentu meningkatkan kinerja perusahaan," kata pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Tadjudin Nur Effendi, Jakarta, Senin (21/8/2017).
Pernyataan tersebut menanggapi arah bisnis industri ICT yang cenderung konsolidasi sebagaimana diungkapkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara. Menkominfo pernah mengimbau agar operator telekomunikasi berkonsolidasi.
Sebab, kerugian terus diderita operator telekomunikasi, khususnya yang baru bergabung di sektor tersebut. Nah, konsolidasi ini salah satu solusi guna memangkas kerugian mereka.
Tadjudin menilai upaya konsolidasi terutama merger dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan agar tetap berproduksi. Sementara, PHK mengurangi pekerja atau beban perusahaan di sisi biaya produksi.
Dia menyerahkan sepenuhnya kebijakan ini pada perusahaan terkait. "Mana yang lebih efisien, tentu itu tergantung pada situasi dan pilihan manajemen perusahaan," ujarnya.
Contohnya Microsoft, kemungkinan raksasa IT itu terlalu terbebani membayar pekerja sehingga lebih baik melakukan PHK. Di sisi lain, perubahan core bisnis perusahaan TI saat ini menuntut perusahaan merampingkan karyawan agar mudah bergerak dan melakukan inovasi menghadapi kompetisi yang makin sengit.
Sementara terkait merger operator, dia menilai, Kominfo pasti telah melakukan pengamatan terhadap kondisi operator telekomunikasi di Indonesia. Hal itu dilakukan karena perusahaan yang menekuni bisnis ini sudah sedemikian menjamur di Tanah Air.
"Mungkin Kominfo menilai operator telekomunikasi sudah melampaui jumlah yang diinginkan atau melampaui titik nilai tambah yang diharapkan," tuturnya.
Meski demikian, imbauan untuk merger dan korelasinya terhadap PHK tidak bisa dipukul rata. Setiap perusahaan memiliki kebijakan sendiri terkait efisiensi. "Ya tentu itu kembali pada manajemen perusahaan. Kalau manajemen baik, ya tentu perusahaan bisa baik," ujar dia.
Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan melihat pengurangan tenaga kerja tak bisa dihindari terutama dikaitkan dengan kapasitas perusahaan. "Ibaratnya, kapal yang tadinya dua, sekarang tinggal satu. Harus ada sebagian yang diturunkan. Daripada kelebihan kapasitas lalu tenggelam semua," katanya.
Hadi menjabarkan saat terjadi konsolidasi berupa merger atau akuisisi, aturan ketenagakerjaan terkait PHK mesti dipahami secara berbeda dengan kondisi normal. Sebab, biasanya ada dua situasi yang akan dihadapi. Pertama, para karyawan tidak mau ikut bekerja di bawah naungan pimpinan baru.
Dalam situasi ini, PHK bisa saja dilakukan dengan pesangon maksimal 9 bulan upah, di luar uang penghargaan kerja dan tunjangan lain. "Kan merger ini sama dengan efisiensi, sehingga harus ada pesangon yang sesuai. Maksimal sembilan bulan dikalikan dua, ditambah tunjangan lain," ujar Hadi.
Kedua, jika perusahaan yang menghendaki PHK, aturan menjadi berbeda. Prinsipnya, perusahaan bisa melakukan PHK, namun tetap memberi jalan keluar terbaik bagi pekerja. Seperti diketahui, di dunia internasional perkembangan teknologi erat kaitannya dengan efisiensi dan PHK.
Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Merza Fachys juga memiliki penilaian serupa. Merza menilai efisiensi di industri teknologi informasi dan telekomunikasi tidak bisa dihindari. Efisiensi merupakan suatu tuntutan yang terjadi dalam proses bisnis yang terus berulang.
"Efisiensi di bisnis telekomunikasi merupakan proses bisnis yang berulang dan suatu tuntutan yang tak bisa dihindari," ujar dia.
Pernyataan Merza tersebut mengomentari tren di industri teknologi informasi global yang cenderung mengurangi jumlah pekerja digantikan teknologi yang makin canggih serta pergeseran preferensi konsumen yang kian dinamis.
"Ibaratnya kalau nafasnya berat, sudah saatnya cari tempelan dengan nafas yang masih panjang. Kalau tidak, ya diambil alih oleh mereka yang nafasnya masing panjang," katanya.
(izz)