Tarif Interkoneksi Dinilai Tak Relevan Bebani Pelanggan di Daerah
A
A
A
JAKARTA - Seiring perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang begitu cepat, sejumlah akademisi dan praktisi telekomunikasi di daerah menilai tarif interkoneksi sudah tidak relevan lagi menjadi beban dari pelanggan.
Karena itu, penurunan tarif interkoneksi menjadi tren yang tidak bisa dihindari. "Dengan beralihnya sistem komunikasi dari switching base ke internet protocol (IP) base, maka tarif interkoneksi sudah tidak relevan menjadi beban terhadap pelanggan," kata kata Ketua Forum Telematika Kawasan Timur Indonesia (KTI) Hidayat Nahwi Rasul, Jakarta, Rabu (22/3/2017).
Menurutnya, penurunan tarif interkoneksi itu sudah sejalan dengan perkembangan telekomunikasi dewasa ini. Dengan kondisi seperti itu, sudah bukan lagi zamannya operator menggantungkan pendapatan dari tarif interkoneksi.
Dia menilai, pendapatan operator seharusnya terfokus pada data atau kuota. Pihak operator jika masih mengandalkan pendapatan interkoneksi sudah tidak relevan lagi melihat perkembangan teknologi informasi yang sudah berbasis persaingan antara pemain.
Infrastruktur jaringan bandwith hingga kecepatan upload dan download akan menjadi magnet persaingan antar operator seluler di Indonesia. Pada 2016 penetrasi smartphone mencapai 100 juta orang, sehingga pola komunikasi sudah berubah karena majunya TI dengan berbagai aplikasi seperti WhatsApp (WA) yang saat ini juga menawarkan video streaming selain voice.
"Jangan sampai biaya interkoneksi diterapkan tidak sesuai perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, serta menjadi beban pada pengguna atau user," sambung wakil Ketua Komisi Pengawas Informasi Daerah (KPID) Sulsel periode 2013-2015 ini.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) daerah juga mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan rencana penurunan tarif interkoneksi secara signifikan. Seiring kemajuan TI yang begitu pesat, penurunan tarif interkoneksi dinilai menjadi kebutuhan konsumen di daerah agar biaya telekomunikasi menjadi lebih terjangkau.
Sekretaris YLKI Sulawesi Selatan Judi Raharjo menuturkan penurunan tarif interkoneksi menjadi kebutuhan. Hal ini harus sejalan dengan makin terjangkaunya tarif bagi konsumen. "Harus ada kajian lagi yang lebih mendalam agar pelaksanaannya menguntungkan konsumen," paparnya.
Menurutnya, hasil survei-survei mutakhir menunjukkan saat ini penggunaan smartphone di Indonesia tumbuh pesat. "Karena itu, kebutuhan telekomunikasi menjadi hal mendasar seiring maraknya aplikasi yang dibutuhkan konsumen. Jadi tarif-tarif telekomunikasi harusnya dievaluasi agar makin terjangkau," ujarnya.
Selain meringankan beban pelanggan, kebijakan penurunan tarif interkoneksi merupakan salah satu upaya mendukung persaingan sehat di industri telekomunikasi di Indonesia. Karena itu, Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna menegaskan, pihaknya berkomitmen mendukung industri telekomunikasi yang sehat.
"Penyesuaian terhadap tarif interkoneksi adalah salah satu upaya mengarah kepada persaingan industri telekomunikasi yang sehat," kata Ketut.
Karena itu, penurunan tarif interkoneksi menjadi tren yang tidak bisa dihindari. "Dengan beralihnya sistem komunikasi dari switching base ke internet protocol (IP) base, maka tarif interkoneksi sudah tidak relevan menjadi beban terhadap pelanggan," kata kata Ketua Forum Telematika Kawasan Timur Indonesia (KTI) Hidayat Nahwi Rasul, Jakarta, Rabu (22/3/2017).
Menurutnya, penurunan tarif interkoneksi itu sudah sejalan dengan perkembangan telekomunikasi dewasa ini. Dengan kondisi seperti itu, sudah bukan lagi zamannya operator menggantungkan pendapatan dari tarif interkoneksi.
Dia menilai, pendapatan operator seharusnya terfokus pada data atau kuota. Pihak operator jika masih mengandalkan pendapatan interkoneksi sudah tidak relevan lagi melihat perkembangan teknologi informasi yang sudah berbasis persaingan antara pemain.
Infrastruktur jaringan bandwith hingga kecepatan upload dan download akan menjadi magnet persaingan antar operator seluler di Indonesia. Pada 2016 penetrasi smartphone mencapai 100 juta orang, sehingga pola komunikasi sudah berubah karena majunya TI dengan berbagai aplikasi seperti WhatsApp (WA) yang saat ini juga menawarkan video streaming selain voice.
"Jangan sampai biaya interkoneksi diterapkan tidak sesuai perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, serta menjadi beban pada pengguna atau user," sambung wakil Ketua Komisi Pengawas Informasi Daerah (KPID) Sulsel periode 2013-2015 ini.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) daerah juga mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan rencana penurunan tarif interkoneksi secara signifikan. Seiring kemajuan TI yang begitu pesat, penurunan tarif interkoneksi dinilai menjadi kebutuhan konsumen di daerah agar biaya telekomunikasi menjadi lebih terjangkau.
Sekretaris YLKI Sulawesi Selatan Judi Raharjo menuturkan penurunan tarif interkoneksi menjadi kebutuhan. Hal ini harus sejalan dengan makin terjangkaunya tarif bagi konsumen. "Harus ada kajian lagi yang lebih mendalam agar pelaksanaannya menguntungkan konsumen," paparnya.
Menurutnya, hasil survei-survei mutakhir menunjukkan saat ini penggunaan smartphone di Indonesia tumbuh pesat. "Karena itu, kebutuhan telekomunikasi menjadi hal mendasar seiring maraknya aplikasi yang dibutuhkan konsumen. Jadi tarif-tarif telekomunikasi harusnya dievaluasi agar makin terjangkau," ujarnya.
Selain meringankan beban pelanggan, kebijakan penurunan tarif interkoneksi merupakan salah satu upaya mendukung persaingan sehat di industri telekomunikasi di Indonesia. Karena itu, Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna menegaskan, pihaknya berkomitmen mendukung industri telekomunikasi yang sehat.
"Penyesuaian terhadap tarif interkoneksi adalah salah satu upaya mengarah kepada persaingan industri telekomunikasi yang sehat," kata Ketut.
(izz)