Network Sharing Tak Hambat Infrastruktur Telekomunikasi
A
A
A
JAKARTA - Kekhawatiran skema berbagi jaringan atau network sharing (NS) berdampak pada minimnya pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Tanah Air dinilai tidak beralasan. Pasalnya, masalah bangun-membangun infrastruktur sudah diatur dalam modern licensing (moli) antara pemerintah dan pelaku usaha di bidang ini.
Pengamat Industri Telekomunikasi Bambang P Adiwiyoto menegaskan, modern licensing memuat semacam perencanaan pembangunan jangka menengah/panjang. "Di situ lengkap, ada lokasi, wilayah, dan apa saja yang harus dibangun," kata Bambang dalam rilisnya, Selasa (24/1/2017).
(Baca: Skema Berbagi Jaringan Dinilai Kebijakan Pro Rakyat)
Atas dasar itu, tidak mungkin operator tidak membangun sesuai perjanjian dengan regulator, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pasalnya, untuk berada dan berusaha di Tanah Air, mereka harus mematuhi kesepakatan tersebut.
Menurutnya, tak ada kaitannya antara network sharing yang bakal diberlakukan via revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52 dan 53, dengan kekhawatiran minimnya pembangunan infrastruktur. "Mereka harus patuh pada modern licensing, itu disepakati bersama," imbuhnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa dengan network sharing maka jaringan telekomunikasi bisa disebar dengan luas. Langkah pemerintah ini muaranya ada di efektivitas penyebaran jaringan. Pihak yang diuntungkan jelas masyarakat Indonesia sebagai pengguna jasa telekomunikasi.
Dengan pemberlakuan network sharing misalnya, maka tarif telekomunikasi dan turunannya antar satu operator dan operator lain menjadi murah. Keadaan ini berlaku sama, konsumen di Pulau Jawa misalnya, merasakan tarif sama murahnya dengan konsumen di Papua.
Selanjutnya, operator telekomunikasi akan berlomba soal kualitas layanan sebagai supaya menjadi pilihan masyarakat. Namun, menurut Bambang, yang terjadi saat ini berbeda, di mana Operator masih menjadikan tarif sebagai komoditas.
Hal tersebut tak terlihat jika diteliti hanya di satu wilayah. Namun bisa diamati jika menelepon ke Papua atau wilayah Indonesia Timur, dengan operator berbeda.
"Rakyat dengan network sharing itu pasti senang, karena lebih murah. Bagi operator sendiri persaingan lebih ketat dan sehat," kata Bambang yang juga mantan Komisioner KPPU periode 2000-2006 ini.
Sebelumnya diberitakan, Anggota Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) Garuda Sugardo melihat revisi PP No 52 dan 53 sangat penting bagi perkembangan industri telekomunikasi di Tanah Air.
Pernyataan tersebut menyikapi adanya pro kontra atas perubahan aturan tersebut. Salah satunya yang menyebut bahwa negara akan dirugikan atas skema network sharing atau berbagi jaringan yang didesain dalam revisi PP 52 dan 53.
Menurutnya, jika dikaji regulasi tersebut bermaksud memeratakan jangkauan jaringan operator hingga ke pelosok, khususnya daerah di luar Pulau Jawa. Operator telekomunikasi nantinya bisa menyewa jaringan PT Telkom sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan menjangkau masyarakat di seluruh Indonesia.
"Saya bilang ke Pak Menteri Rudiantara bahwa ini (network sharing) harus menjadi keniscayaan, karena berbagi itu sikap modern dan pro-rakyat," kata Garuda belum lama ini.
Pengamat Industri Telekomunikasi Bambang P Adiwiyoto menegaskan, modern licensing memuat semacam perencanaan pembangunan jangka menengah/panjang. "Di situ lengkap, ada lokasi, wilayah, dan apa saja yang harus dibangun," kata Bambang dalam rilisnya, Selasa (24/1/2017).
(Baca: Skema Berbagi Jaringan Dinilai Kebijakan Pro Rakyat)
Atas dasar itu, tidak mungkin operator tidak membangun sesuai perjanjian dengan regulator, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pasalnya, untuk berada dan berusaha di Tanah Air, mereka harus mematuhi kesepakatan tersebut.
Menurutnya, tak ada kaitannya antara network sharing yang bakal diberlakukan via revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52 dan 53, dengan kekhawatiran minimnya pembangunan infrastruktur. "Mereka harus patuh pada modern licensing, itu disepakati bersama," imbuhnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa dengan network sharing maka jaringan telekomunikasi bisa disebar dengan luas. Langkah pemerintah ini muaranya ada di efektivitas penyebaran jaringan. Pihak yang diuntungkan jelas masyarakat Indonesia sebagai pengguna jasa telekomunikasi.
Dengan pemberlakuan network sharing misalnya, maka tarif telekomunikasi dan turunannya antar satu operator dan operator lain menjadi murah. Keadaan ini berlaku sama, konsumen di Pulau Jawa misalnya, merasakan tarif sama murahnya dengan konsumen di Papua.
Selanjutnya, operator telekomunikasi akan berlomba soal kualitas layanan sebagai supaya menjadi pilihan masyarakat. Namun, menurut Bambang, yang terjadi saat ini berbeda, di mana Operator masih menjadikan tarif sebagai komoditas.
Hal tersebut tak terlihat jika diteliti hanya di satu wilayah. Namun bisa diamati jika menelepon ke Papua atau wilayah Indonesia Timur, dengan operator berbeda.
"Rakyat dengan network sharing itu pasti senang, karena lebih murah. Bagi operator sendiri persaingan lebih ketat dan sehat," kata Bambang yang juga mantan Komisioner KPPU periode 2000-2006 ini.
Sebelumnya diberitakan, Anggota Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) Garuda Sugardo melihat revisi PP No 52 dan 53 sangat penting bagi perkembangan industri telekomunikasi di Tanah Air.
Pernyataan tersebut menyikapi adanya pro kontra atas perubahan aturan tersebut. Salah satunya yang menyebut bahwa negara akan dirugikan atas skema network sharing atau berbagi jaringan yang didesain dalam revisi PP 52 dan 53.
Menurutnya, jika dikaji regulasi tersebut bermaksud memeratakan jangkauan jaringan operator hingga ke pelosok, khususnya daerah di luar Pulau Jawa. Operator telekomunikasi nantinya bisa menyewa jaringan PT Telkom sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan menjangkau masyarakat di seluruh Indonesia.
"Saya bilang ke Pak Menteri Rudiantara bahwa ini (network sharing) harus menjadi keniscayaan, karena berbagi itu sikap modern dan pro-rakyat," kata Garuda belum lama ini.
(izz)