Skema Berbagi Jaringan Dinilai Kebijakan Pro Rakyat
A
A
A
JAKARTA - Anggota Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) Garuda Sugardo melihat revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 dan 53 sangat penting bagi perkembangan industri telekomunikasi di Tanah Air.
Pernyataan tersebut menyikapi adanya pro kontra atas perubahan aturan tersebut. Salah satunya yang menyebut bahwa negara akan dirugikan atas skema network sharing atau berbagi jaringan yang didesain dalam revisi PP 52 dan 53.
Menurutnya, jika dikaji regulasi tersebut bermaksud memeratakan jangkauan jaringan operator hingga ke pelosok, khususnya daerah di luar Pulau Jawa. Operator telekomunikasi nantinya bisa menyewa jaringan PT Telkom sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan menjangkau masyarakat di seluruh Indonesia.
"Saya bilang ke Pak Menteri Rudiantara bahwa ini (network sharing) harus menjadi keniscayaan, karena berbagi itu sikap modern dan pro-rakyat," kata Garuda yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh perintis industri seluler di Indonesia, di Jakarta, Senin (23/1/2017).
Kontribusi peningkatan akses ekonomi bagi seluruh masyarakat Indonesia ini akan berdampak besar. Terlebih lagi, pemerintah ingin setiap kota di Indonesia menerapkan sistem smart city. Kota atau daerah yang pengaturan dan tata kelolanya berbasis digital tentunya memerlukan akses tanpa batas ke dunia maya.
Capaian ini tentunya tak bisa menafikkan kebutuhan internet dengan kecepatan tinggi serta literasi teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam Seminar yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF), akhir pekan lalu, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf sepakat atas pentingnya dampak pemerataan yang bakal diproses melalui perubahan dalam PP 52 dan 53.
Namun, yang harus digarisbawahi adalah infrastruktur awal besutan PT Telkom sebagai obyek berbagi jaringan. Maksudnya, harus ada perhitungan tepat untuk mengkonversikan biaya yang akan ditanggung saat skema network sharing dijalankan nantinya.
"Pertanyaannya apabila infrastruktur itu di-sharing, bagaimana penggunaan dana yang sekian lama itu bisa diperhitungkan dengan seadil-adilnya bagi para operator," ujar Syarkawi .
Dia juga mengkritisi tarif telepon antar operator telekomunikasi yang berbeda (off net) di sistem interkoneksi. Dia menuntut pemerintah bisa mengkaji dengan baik dan serius menangani permasalahan itu, sebab masyarakat terkena dampak langsung. Dengan tarif off net saat ini, konsumen bisa membayar 10 kali lebih mahal.
Buntutnya, mereka juga harus banyak berbelanja kartu perdana operator-operator tertentu, supaya murah saat menelepon. Dari sisi efektivitas, hal tersebut sangat tidak tepat dan hanya bermuara pada pemborosan.
Memang operator tertentu akan diuntungkan, namun sama sekali tidak pro-rakyat. "Sebab itu kami mendorong agar persaingan semakin baik, tarif off net harus setransparan mungkin," kata Syarkawi.
Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio mengatakan, penyelesaian revisi ini sangat mendesak. Sebab, di tengah teknologi yang berkembang pesat ini, regulasi juga harus cepat mengimbangi.
"Perubahan atas peraturan pemerintah nomor 52 dan 53 yang memungkinkan berjalannya sharing kapasitas sangat diperlukan," ujarnya.
Dengan berbagi jaringan, masyarakat mendapatkan akses lebih merata dan industri menjadi lebih efisien serta ketersediaan infrastruktur telekomunikasi bisa semakin cepat meluas.
Saat ini, sebagian besar KPBU atas pembangunan infrastrukur telekomunikasi di luar pulau jawa (80 persen) dilakukan satu operator telekomunikasi.
Pernyataan tersebut menyikapi adanya pro kontra atas perubahan aturan tersebut. Salah satunya yang menyebut bahwa negara akan dirugikan atas skema network sharing atau berbagi jaringan yang didesain dalam revisi PP 52 dan 53.
Menurutnya, jika dikaji regulasi tersebut bermaksud memeratakan jangkauan jaringan operator hingga ke pelosok, khususnya daerah di luar Pulau Jawa. Operator telekomunikasi nantinya bisa menyewa jaringan PT Telkom sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan menjangkau masyarakat di seluruh Indonesia.
"Saya bilang ke Pak Menteri Rudiantara bahwa ini (network sharing) harus menjadi keniscayaan, karena berbagi itu sikap modern dan pro-rakyat," kata Garuda yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh perintis industri seluler di Indonesia, di Jakarta, Senin (23/1/2017).
Kontribusi peningkatan akses ekonomi bagi seluruh masyarakat Indonesia ini akan berdampak besar. Terlebih lagi, pemerintah ingin setiap kota di Indonesia menerapkan sistem smart city. Kota atau daerah yang pengaturan dan tata kelolanya berbasis digital tentunya memerlukan akses tanpa batas ke dunia maya.
Capaian ini tentunya tak bisa menafikkan kebutuhan internet dengan kecepatan tinggi serta literasi teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam Seminar yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF), akhir pekan lalu, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf sepakat atas pentingnya dampak pemerataan yang bakal diproses melalui perubahan dalam PP 52 dan 53.
Namun, yang harus digarisbawahi adalah infrastruktur awal besutan PT Telkom sebagai obyek berbagi jaringan. Maksudnya, harus ada perhitungan tepat untuk mengkonversikan biaya yang akan ditanggung saat skema network sharing dijalankan nantinya.
"Pertanyaannya apabila infrastruktur itu di-sharing, bagaimana penggunaan dana yang sekian lama itu bisa diperhitungkan dengan seadil-adilnya bagi para operator," ujar Syarkawi .
Dia juga mengkritisi tarif telepon antar operator telekomunikasi yang berbeda (off net) di sistem interkoneksi. Dia menuntut pemerintah bisa mengkaji dengan baik dan serius menangani permasalahan itu, sebab masyarakat terkena dampak langsung. Dengan tarif off net saat ini, konsumen bisa membayar 10 kali lebih mahal.
Buntutnya, mereka juga harus banyak berbelanja kartu perdana operator-operator tertentu, supaya murah saat menelepon. Dari sisi efektivitas, hal tersebut sangat tidak tepat dan hanya bermuara pada pemborosan.
Memang operator tertentu akan diuntungkan, namun sama sekali tidak pro-rakyat. "Sebab itu kami mendorong agar persaingan semakin baik, tarif off net harus setransparan mungkin," kata Syarkawi.
Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio mengatakan, penyelesaian revisi ini sangat mendesak. Sebab, di tengah teknologi yang berkembang pesat ini, regulasi juga harus cepat mengimbangi.
"Perubahan atas peraturan pemerintah nomor 52 dan 53 yang memungkinkan berjalannya sharing kapasitas sangat diperlukan," ujarnya.
Dengan berbagi jaringan, masyarakat mendapatkan akses lebih merata dan industri menjadi lebih efisien serta ketersediaan infrastruktur telekomunikasi bisa semakin cepat meluas.
Saat ini, sebagian besar KPBU atas pembangunan infrastrukur telekomunikasi di luar pulau jawa (80 persen) dilakukan satu operator telekomunikasi.
(izz)