Google Berani Gocek Pajak karena Ketergantungan Masyarakat Tinggi
A
A
A
JAKARTA - Langkah Google yang masih belum kooperatif masalah pembayaran pajak membuat pemerintah lewat Ditjen Pajak menutup opsi negosiasi. Bahkan Ditjen Pajak sudah menetapkan Januari 2017 Google akan terkena bunga 150% dari pajak tertunggak.
Kemenkominfo lewat Menteri Rudiantara sendiri masih menunggu perkembangan dan menyatakan belum memungkinkan untuk melakukan blokir. Menurutnya blokir terhadap Google adalah langkah terakhir, menurutkan ada kepentingan umum yang sementara ini didahulukan pemerintah.
Pakar keamanan cyber Pratama Persadha dalam keterangannya Senin (26/12) menjelaskan bahwa kemungkinan blokir memang terbuka. Namun dirinya yakin pemerintah berhitung dengan akibat yang akan ditimbulkan nantinya.
“Google sangat percaya diri karena layanannya seolah menjadi kebutuhan prier masyarakat, tidak hanya di sini, tapi di seluruh dunia. Sehingga mereka berani menawar pembayara pajak dengan nominal cukup rendah,” jelasnya.
Ditambahkan olehnya opsi pemblokiran sebagai jalan terakhir jelas tetap terbuka, apalagi bila Google tidak ada itikad baik bekerja sama. Sampai saat ini Google masih enggan memberikan data pendapatannya ke Ditjen Pajak.
“Layanan Google yang paling banyak dipakai masayrakat tanah air adalah Gmail, Youtube, Blogger, Chrome, Adsense dan tentu saja Google Play pada android. Tentu pemblokiran nantinya akan membuat masyarakat tidak bisa mengakses layanan tersebut. Bila nanti langkah blokir terpaksa harus dilakukan, harus ada sosialisasi yang jelas dari pemerintah, untuk menghindari gesekan sosial nantinya,” terang Chairman lembaga riset keamanan cyber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.
Di banyak negara, terutama Eropa Google juga dihadapkan pada masalah pajak yang serupa. Pemerintah Italia dan Inggris juga mengupayakan pembayaran pajak yang pantas. Google banyak meraih untung dari iklan dan trafik internet yang tinggi, sehingga ikut menaikkan nilai perusahaan.
Menurut data dari Forbes, Google berada di peringkat dua sebagai perusahaan paling bernilai tahun 2016 dengan nilai merek mencapai $82,5 milyar dan jumlah pendapatan mencapai $68,5 milyar. Peringkat pertama masih diduduki oleh Apple.
“Dengan masalah pajak Google dan juga raksasa lain seperti Facebook, tentu pemerintah sudah tahu apa langkah strategis kedepan. Salah satunya adalah membangun layanan internet buatan lokal. Ada email, media sosial, layanan video, instant messaging, cloud dan maish banyak lagi,” jelas mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini.
Pratama menambahkan membangun layanan internet lokal sebenarnya tidak serumit seperti membangun industri lainnya. Yang paling penting menurutnya adalah keberpihakan pemerintah dalam hal dukungan regulasi dan modal. Sehingga masyarakat secara bertahap bisa mengurangi ketergantunan akan layanan asing sepetti Google.
“Kita bisa meniru langkah Cina yang memblokir. Namun juga harus melihat, keberanian tersebut dilakukan karena Cina sudah menyiapkan layanan serupa seperti Weibo, QQ dan Baidu. Indonesia jelas bisa, apalagi dipantik dengan sentimen nasionalisme dan dukungan layanan yang ramah pemakai lokal, saya yakin berhasil,” terangnya.
Pratama berharap dengan kondisi masyarakat Indonesia banyak yang memakai layanan internet lokal, pemerintah bisa bertindak tegas terhadap pelanggaran pajak serupa Google saat ini.
Kemenkominfo lewat Menteri Rudiantara sendiri masih menunggu perkembangan dan menyatakan belum memungkinkan untuk melakukan blokir. Menurutnya blokir terhadap Google adalah langkah terakhir, menurutkan ada kepentingan umum yang sementara ini didahulukan pemerintah.
Pakar keamanan cyber Pratama Persadha dalam keterangannya Senin (26/12) menjelaskan bahwa kemungkinan blokir memang terbuka. Namun dirinya yakin pemerintah berhitung dengan akibat yang akan ditimbulkan nantinya.
“Google sangat percaya diri karena layanannya seolah menjadi kebutuhan prier masyarakat, tidak hanya di sini, tapi di seluruh dunia. Sehingga mereka berani menawar pembayara pajak dengan nominal cukup rendah,” jelasnya.
Ditambahkan olehnya opsi pemblokiran sebagai jalan terakhir jelas tetap terbuka, apalagi bila Google tidak ada itikad baik bekerja sama. Sampai saat ini Google masih enggan memberikan data pendapatannya ke Ditjen Pajak.
“Layanan Google yang paling banyak dipakai masayrakat tanah air adalah Gmail, Youtube, Blogger, Chrome, Adsense dan tentu saja Google Play pada android. Tentu pemblokiran nantinya akan membuat masyarakat tidak bisa mengakses layanan tersebut. Bila nanti langkah blokir terpaksa harus dilakukan, harus ada sosialisasi yang jelas dari pemerintah, untuk menghindari gesekan sosial nantinya,” terang Chairman lembaga riset keamanan cyber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.
Di banyak negara, terutama Eropa Google juga dihadapkan pada masalah pajak yang serupa. Pemerintah Italia dan Inggris juga mengupayakan pembayaran pajak yang pantas. Google banyak meraih untung dari iklan dan trafik internet yang tinggi, sehingga ikut menaikkan nilai perusahaan.
Menurut data dari Forbes, Google berada di peringkat dua sebagai perusahaan paling bernilai tahun 2016 dengan nilai merek mencapai $82,5 milyar dan jumlah pendapatan mencapai $68,5 milyar. Peringkat pertama masih diduduki oleh Apple.
“Dengan masalah pajak Google dan juga raksasa lain seperti Facebook, tentu pemerintah sudah tahu apa langkah strategis kedepan. Salah satunya adalah membangun layanan internet buatan lokal. Ada email, media sosial, layanan video, instant messaging, cloud dan maish banyak lagi,” jelas mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini.
Pratama menambahkan membangun layanan internet lokal sebenarnya tidak serumit seperti membangun industri lainnya. Yang paling penting menurutnya adalah keberpihakan pemerintah dalam hal dukungan regulasi dan modal. Sehingga masyarakat secara bertahap bisa mengurangi ketergantunan akan layanan asing sepetti Google.
“Kita bisa meniru langkah Cina yang memblokir. Namun juga harus melihat, keberanian tersebut dilakukan karena Cina sudah menyiapkan layanan serupa seperti Weibo, QQ dan Baidu. Indonesia jelas bisa, apalagi dipantik dengan sentimen nasionalisme dan dukungan layanan yang ramah pemakai lokal, saya yakin berhasil,” terangnya.
Pratama berharap dengan kondisi masyarakat Indonesia banyak yang memakai layanan internet lokal, pemerintah bisa bertindak tegas terhadap pelanggaran pajak serupa Google saat ini.
(wbs)