Industri Telekomunikasi Tak Perlu Alergi soal Tarif Interkoneksi

Senin, 29 Agustus 2016 - 11:49 WIB
Industri Telekomunikasi Tak Perlu Alergi soal Tarif Interkoneksi
Industri Telekomunikasi Tak Perlu Alergi soal Tarif Interkoneksi
A A A
JAKARTA - Komisioner BRTI periode 2009-2015 Nonot Harsono mengatakan, keputusan pemerintah untuk menurunkan tarif interkoneksi sebesar rata-rata 26% perlu didukung semua pihak.

Menurutnya, industri telekomunikasi diharap tidak alergi dengan kebijakan baru, apalagi kebijakan ini dilakukan agar rakyat di seluruh Indonesia bisa menikmati telekomunikasi dengan harga lebih terjangkau.

Dia menilai, peran Telkom harus segera direvisi agar sesuai tantangan zaman, sehingga tidak meributkan hal-hal kecil. "Telkom seharusnya menjadi backbone atau tol broadband nasional yang tak tertandingi. Semua trafik akan melewati tol nasional sehingga tidak bingung lagi mengejar revenue dari trafik transit interkoneksi. Sehingga, tidak akan bermain atau bersaing level rendah seperti sekarang," kata dia dalam rilisnya, Senin (29/8/2016).

Hal ini penting, karena BUMN ini perlu mendukung pemerintah mewujudkan kedaulatan jaringan backbone broadband nasional seiring tren globalisasi cyber yang makin berkembang pesat. Jika tidak, dikhawatirkan kedaulatan jaringan backbone broadband nasional justru akan dikuasai pihak asing.

"Apalagi, jika Google Fiber berlomba dengan Microsoft dan Facebook membangun jaringan backbone nasional di Indonesia, maka kedaulatan atas cyber territory Negara Kesatuan RI (NKRI) dan kedaulatan atas sumber daya informasi bisa terlepas," imbuhnya.

Wilayah kedaulatan cyber yang sejatinya adalah jaringan broadband nasional akan dikuasai entitas luar negeri, jika tidak diantisipasi dari sekarang. "Ini bukan tren andai-andai, tetapi tahapan globalisasi dari negara adikuasa yang selama ini amat konsisten diupayakan melalui beragam bentuk free-trade-agreement, seperti CEPA, AFTA, TPP, dan lainnya," kata dia.

Menyambut era kehidupan online yang segera tiba, negara penguasa internet dan server global pasti akan berupaya "memaksakan" bab baru dalam perjanjian free trade untuk memuluskan pasar global online.

Negara yang telah menguasai server big data dan aplikasi analitiknya, serta konten global (seperti Hollywood, Walt Disney, Pixar) akan menjadi penguasa dunia online. Apalagi, jika mereka menguasai pula jaringan broadband di banyak negara.

Kedaulatan cyber dalam NKRI hanya akan terwujud jika PT Telkom tampil menjadi jaringan broadband nasional dengan sistem backup yang memadai. Sehingga, Google dan semuanya menyewa saluran kepada Telkom. "Sayang jika kita terlambat mengantisipasi tren ini," tegasnya.

Karena itu, Nonot menambahkan, pemerintah perlu segera melakukan pendataan dan penataan jaringan broadband nasional. Selain sharing backbone nasional, kebijakan network sharing pada jaringan akses fixed dan mobile perlu segera diterapkan.

Sharing BTS utk mobile services dan sharing FTTH (open-access) untuk fixed services akan sangat meningkatkan efisiensi, integrasi dan kualitas jaringan, kelayakan investasi, dan percepatan gelaran broadband nasional.

"Dalam kaidah ilmu telekomunikasi, idealnya semua trafik komunikasi (voice, data, video) dari dan ke jaringan akses fixed & mobile di seluruh Indonesia disalurkan melalui jaringan backbone nasional," pungkasnya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7685 seconds (0.1#10.140)