Meta Akui Facebook, Instagram, dan WhatsApp Panaskan Konflik Israel-Palestina
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perusahaan raksasa teknologi, Meta, mengakui aplikasi Facebook , Instagram, dan WhatsApp makin memanaskan konflik Israel-Palestina karena ketidakadilan. Menurut mereka ketidakadilan itu terjadi karena adanya kesalahan teknis dan human error.
Disebutkan situs Arabian Business, ketidakadilan itu terjadi pada pengguna Facebook, Instagram dan WhatsApp yang datang dari Pestina. Mereka dengan tidak adil mengalami pembatasan dan kesulitan teknis ketika mengunggah sesuatu ke Facebook, Instagram dan WhatsApp.
"Konten berbahasa Arab telah terkena pembatasan pos, penghapusan tagar, dan pembagian ulang yang diblokir selama krisis, sementara konten Ibrani relatif tidak terpengaruh," tulis keterangan resmi Meta.
Pembatasan tersebut terjadi terutama saat konflik Israel-Palestina makin memanas pada Mei 2021. Saat itu terjadi aksi massa Palestina dalam jumlah besar di Yerusalem Timur.
Aksi itu terjadi sebagai bentuk protes pengusiran enam warga Palestina dari rumahnya sendiri. Akibat aksi massa itu sebanyak 256 warga Palestina dan 13 orang Israel meninggal.
Menindaklanjuti krisis itu, dan mencari tahu dampak yang terjadi di sosial media, Meta kemudia meminta Business for Social Responsiblity (BSR) melakukan uji tuntas tentang dampak proses dan kebijakan perusahaan terhadap konflik di sosial media yang dimiliki Meta.
Pengujian yang dilakukan BSR menyebutkan adanya pembatasan yang dialami oleh masyarakat Palestina dalam mengakses Facebook, Instagram dan WhatsApp. Mereka kesulitan membagi informasi karena adanya sensor pengunggahan yang menggunakan bahasa Arab.
Sejumlah wartawan yang berbasis di Palestina juga mengaku adanya pemblokiran WhatsApp yang mereka gunakan. Alhasil mereka sama sekali tidak bisa melaporkan informasi yang utuh mengenai krisis tersebut.
Dalam laporannya BSR menemukan fakta bahwa tindakan Meta pada Mei 2021 tampaknya berdampak buruk pada hak asasi manusia. Terutama bagi pengguna Palestina yang terganggu kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, partisipasi politik, dan non-diskriminasi. Pada akhirnya, pada potensi warga Palestina untuk berbagi informasi dan wawasan tentang pengalaman mereka saat krisis terjadi terhalangi.
BSR melihat Meta menjadi entitas kuat lain yang menekan suara masyarakat Palestina. Mereka melihat Meta salah mengambil langkah mengatasi krisis. Alih-alih jadi penengah konflik mereka justru memperburuk dengan membungkam suara, memperkuat asimetri kekuatan, atau membiarkan penyebaran konten yang memicu kekerasan.
Dikonfirmasi, Meta mengatakan kesalahan teknis global jadi sumber masalah. Alhasil pengguna tidak dalam mengunggah dan membagi ulang informasi terutama krisis yang terjadi antara Israel dan Palestina.
Miranda Sissons, Direktur Hak Asasi Manusia Global untuk Meta mengatakan bahwa ini “tidak disengaja atau ditargetkan tetapi kesalahan global yang mempengaruhi puluhan juta orang.”
Miranda Sissons mengtaakan kesalahan terjadi karena faktor human error. Alhasil konten berbahasa Arab langsung terblokir selama krisis terjadi. Selain itu tanda pagar mengenai Al Aqsa juga sempat diblokir meski kemudian akhirnya langsung dibuka.
“Temuan ini membantu kami belajar untuk meningkatkan produk dan kebijakan yang kami keluarkan,” kata Miranda Sissons.
Disebutkan situs Arabian Business, ketidakadilan itu terjadi pada pengguna Facebook, Instagram dan WhatsApp yang datang dari Pestina. Mereka dengan tidak adil mengalami pembatasan dan kesulitan teknis ketika mengunggah sesuatu ke Facebook, Instagram dan WhatsApp.
"Konten berbahasa Arab telah terkena pembatasan pos, penghapusan tagar, dan pembagian ulang yang diblokir selama krisis, sementara konten Ibrani relatif tidak terpengaruh," tulis keterangan resmi Meta.
Pembatasan tersebut terjadi terutama saat konflik Israel-Palestina makin memanas pada Mei 2021. Saat itu terjadi aksi massa Palestina dalam jumlah besar di Yerusalem Timur.
Aksi itu terjadi sebagai bentuk protes pengusiran enam warga Palestina dari rumahnya sendiri. Akibat aksi massa itu sebanyak 256 warga Palestina dan 13 orang Israel meninggal.
Menindaklanjuti krisis itu, dan mencari tahu dampak yang terjadi di sosial media, Meta kemudia meminta Business for Social Responsiblity (BSR) melakukan uji tuntas tentang dampak proses dan kebijakan perusahaan terhadap konflik di sosial media yang dimiliki Meta.
Pengujian yang dilakukan BSR menyebutkan adanya pembatasan yang dialami oleh masyarakat Palestina dalam mengakses Facebook, Instagram dan WhatsApp. Mereka kesulitan membagi informasi karena adanya sensor pengunggahan yang menggunakan bahasa Arab.
Sejumlah wartawan yang berbasis di Palestina juga mengaku adanya pemblokiran WhatsApp yang mereka gunakan. Alhasil mereka sama sekali tidak bisa melaporkan informasi yang utuh mengenai krisis tersebut.
Dalam laporannya BSR menemukan fakta bahwa tindakan Meta pada Mei 2021 tampaknya berdampak buruk pada hak asasi manusia. Terutama bagi pengguna Palestina yang terganggu kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, partisipasi politik, dan non-diskriminasi. Pada akhirnya, pada potensi warga Palestina untuk berbagi informasi dan wawasan tentang pengalaman mereka saat krisis terjadi terhalangi.
BSR melihat Meta menjadi entitas kuat lain yang menekan suara masyarakat Palestina. Mereka melihat Meta salah mengambil langkah mengatasi krisis. Alih-alih jadi penengah konflik mereka justru memperburuk dengan membungkam suara, memperkuat asimetri kekuatan, atau membiarkan penyebaran konten yang memicu kekerasan.
Dikonfirmasi, Meta mengatakan kesalahan teknis global jadi sumber masalah. Alhasil pengguna tidak dalam mengunggah dan membagi ulang informasi terutama krisis yang terjadi antara Israel dan Palestina.
Miranda Sissons, Direktur Hak Asasi Manusia Global untuk Meta mengatakan bahwa ini “tidak disengaja atau ditargetkan tetapi kesalahan global yang mempengaruhi puluhan juta orang.”
Miranda Sissons mengtaakan kesalahan terjadi karena faktor human error. Alhasil konten berbahasa Arab langsung terblokir selama krisis terjadi. Selain itu tanda pagar mengenai Al Aqsa juga sempat diblokir meski kemudian akhirnya langsung dibuka.
“Temuan ini membantu kami belajar untuk meningkatkan produk dan kebijakan yang kami keluarkan,” kata Miranda Sissons.
(wsb)