Pesawat Listrik eCaravan, Terbang Setengah Jam Habiskan Rp84.000
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Nama eCaravan mungkin tidak asing di telinga para ahli penerbangan Amerika Serikat (AS). Namun, pesawat modifikasi Cessna Caravan 208B itu telah mengalami kemajuan dari bahan bakar konvensional menjadi listrik. Kini, eCaravan menjadi pesawat listrik terbesar yang sukses mengudara di langit Negeri Paman Sam.
Pesawat listrik ini terbang selama 30 menit pada 28 Mei setelah sukses lepas landas dari Bandara Internasional Grant County. Dua perusahaan di balik eCaravan, AeroTEC dan magniX, mengaku bangga dengan capaian itu. Chief Executive magniX, Roei Ganzarski, mengatakan penerbangan eCaravan ditenagai 100% energi listrik.
“Biaya penerbangannya hanya sebesar USD6 dolar. Jika kami menggunakan bahan bakar konvensional, penerbangan selama 30 menit itu akan memakan biaya hingga USD300 sampai USD400,” ujar Roei, dikutip BBC. eCaravan merupakan pengembangan dari uji coba sebelumnya yang menggunakan pesawat berukuran lebih kecil. (Baca: Arab Saudi Buka 1.500 Masjid Makkah Meski Covid-19 Mengganas)
Meski mencatat capaian gemilang, penerbangan komersial jarak jauh dengan menggunakan energi listrik kemungkinan kecil terealisasi dalam waktu lama. Saat ini, massa jenis energi baterai litium-ion hanya sekitar 250 watt-hours per kilogram, sedangkan bahan bakar minyak 12.000 watt-hours per kilogram.
Perbedaan antara energi listrik dan konvensional sangat jauh, bahkan terpisah 14 kali lipat. Namun, energi listrik diyakini akan dapat berfungsi secara lebih efektif dan hemat. Susan Liscouët-Hanke, insinyur penerbangan dari Concordia University, mengatakan saat ini energi konvensional belum dapat digantikan.
Senada dengan Susan, Duncan Walker dari Loughborough University mengatakan bahan bakar konvensional lebih efisien dari segi bentuk dan beban. Dia juga memperhitungkan Airbus A380 hanya akan bisa terbang sejauh 1.000 kilometer menggunakan baterai kontra 15.000 kilometer menggunakan kerosin.
“Untuk melakukan penerbangan tersebut, pesawat A380 akan memiliki berat 30 kali lipat dibandingkan menggunakan bahan bakar konvensional,” kata Walker. Dengan demikian, para ahli memperkirakan penggunaan baterai kemungkinan hanya dapat diterapkan di dalam pesawat kecil dan dalam perjalanan jarak dekat.
Sebelumnya perusahaan startup asal AS, Ampaire, juga telah melakukan uji coba penerbangan pesawat listrik hibrida, Electric EEL, di jalur penerbangan komersial di Hawaii. Electric EEL dilengkapi dua mesin kembar Cessna 337 Skymaster, yakni mesin konvensional dan listrik. Kedua mesin itu bekerja secara paralel.
Chief Executive Officer (CEO) Ampaire, Kevin Noertker, mengatakan pengenalan dan pemasaran pesawat listrik hibrida diharapkan dapat mengganti pesawat konvensional secara berangsur-angsur sebelum inovasi daya listrik penuh diciptakan. Tujuannya agar moda transportasi udara lebih ramah lingkungan. (Baca juga: Kaum Adam bereran besar terhadap ledakan Kehamilan Tak Direncanakan)
“Cara paling praktis untuk meraih masa depan bebas fosil ialah dengan mulai memasarkan teknologi listrik hibrida,” ujar Noertker, dikutip CNN. “Kami sedang mengejar perluasan dan komersialisasi pasar pesawat listrik secara bertahap. Pendekatan ini akan menguras banyak waktu dan dana ratusan juta dolar.”
Electric EEL mampu memangkas konsumsi bahan bakar 50% dan mengurangi emisi. Di masa depan, baterai listrik diyakini akan mengalami kemajuan amat pesat. Saat ini daya dan kekuatan baterai yang tersedia tidak kuat untuk mengangkat pesawat besar sehingga teknologi ini terbatas pada pesawat kecil.
“Ampaire dan FAA berkesempatan untuk bekerja sama dalam mengembangkan penggunaan pesawat listrik yang aman dan terkelola,” kata Noertker. “Modifikasi Cessna 337 merupakan langkah awal. Kelak kita bisa saja melihat pesawat kargo atau penumpang 19 orang menggunakan tenaga listrik penuh.”
Perusahaan asal Israel, Eviation, memamerkan prototipe pesawat penumpang bertenaga listrik penuh selama Paris Airshow pada Juli. Pesawat bernama Alice itu dapat menampung sembilan penumpang dengan daya jelajah 1.040 kilometer dan kecepatan 440 kilometer per jam di atas ketinggian 3.000 meter.
Alice dijadwalkan akan mulai diluncurkan pada 2022. Penampakan pesawat itu sedikit berbeda dari yang lain. Selain memiliki badan miring untuk membantu meringankan beban selama lepas landas, pesawat itu juga memiliki tiga baling-baling yang menghadap ke belakang; dua di bagian sayap, satu di ekor. (Lihat videonya: Geliat Cafe di MAsa Pandemi Covid-19)
Proyek pengembangan daya mesin listrik hingga dua megawatt telah digarap Rolls Roye, Airbus, dan Siemens dalam program E-Fan X. Mesin yang diprediksi rampung pada 2021 itu dapat dipasang di jet BAE 146. United Technologies juga sedang berupaya merancang mesin listrik 1 megawatt dalam Project 804.
Maskapai penerbangan EasyJet juga bekerja sama dengan Wright Electric untuk merancang pesawat listrik jarak dekat dari London menuju Amsterdam, rute kedua tersibuk di Eropa. Mereka berharap dapat menggunakannya pada 2027. “Pesawat listrik semakin mendekati kenyataan,” ujar CEO EasyJet, Johan Lundgren.
Perusahaan perbankan, UBS, memprediksi sektor penerbangan akan beralih dari mesin konvensional menuju mesin hibrida atau listrik dengan tingkat permintaan sekitar 550 pesawat per tahun antara tahun 2028-2040. Sejauh ini, meski mesin listrik mengalami kemajuan begitu pesat, teknologi baterai masih stagnan. (Muh Shamil)
Pesawat listrik ini terbang selama 30 menit pada 28 Mei setelah sukses lepas landas dari Bandara Internasional Grant County. Dua perusahaan di balik eCaravan, AeroTEC dan magniX, mengaku bangga dengan capaian itu. Chief Executive magniX, Roei Ganzarski, mengatakan penerbangan eCaravan ditenagai 100% energi listrik.
“Biaya penerbangannya hanya sebesar USD6 dolar. Jika kami menggunakan bahan bakar konvensional, penerbangan selama 30 menit itu akan memakan biaya hingga USD300 sampai USD400,” ujar Roei, dikutip BBC. eCaravan merupakan pengembangan dari uji coba sebelumnya yang menggunakan pesawat berukuran lebih kecil. (Baca: Arab Saudi Buka 1.500 Masjid Makkah Meski Covid-19 Mengganas)
Meski mencatat capaian gemilang, penerbangan komersial jarak jauh dengan menggunakan energi listrik kemungkinan kecil terealisasi dalam waktu lama. Saat ini, massa jenis energi baterai litium-ion hanya sekitar 250 watt-hours per kilogram, sedangkan bahan bakar minyak 12.000 watt-hours per kilogram.
Perbedaan antara energi listrik dan konvensional sangat jauh, bahkan terpisah 14 kali lipat. Namun, energi listrik diyakini akan dapat berfungsi secara lebih efektif dan hemat. Susan Liscouët-Hanke, insinyur penerbangan dari Concordia University, mengatakan saat ini energi konvensional belum dapat digantikan.
Senada dengan Susan, Duncan Walker dari Loughborough University mengatakan bahan bakar konvensional lebih efisien dari segi bentuk dan beban. Dia juga memperhitungkan Airbus A380 hanya akan bisa terbang sejauh 1.000 kilometer menggunakan baterai kontra 15.000 kilometer menggunakan kerosin.
“Untuk melakukan penerbangan tersebut, pesawat A380 akan memiliki berat 30 kali lipat dibandingkan menggunakan bahan bakar konvensional,” kata Walker. Dengan demikian, para ahli memperkirakan penggunaan baterai kemungkinan hanya dapat diterapkan di dalam pesawat kecil dan dalam perjalanan jarak dekat.
Sebelumnya perusahaan startup asal AS, Ampaire, juga telah melakukan uji coba penerbangan pesawat listrik hibrida, Electric EEL, di jalur penerbangan komersial di Hawaii. Electric EEL dilengkapi dua mesin kembar Cessna 337 Skymaster, yakni mesin konvensional dan listrik. Kedua mesin itu bekerja secara paralel.
Chief Executive Officer (CEO) Ampaire, Kevin Noertker, mengatakan pengenalan dan pemasaran pesawat listrik hibrida diharapkan dapat mengganti pesawat konvensional secara berangsur-angsur sebelum inovasi daya listrik penuh diciptakan. Tujuannya agar moda transportasi udara lebih ramah lingkungan. (Baca juga: Kaum Adam bereran besar terhadap ledakan Kehamilan Tak Direncanakan)
“Cara paling praktis untuk meraih masa depan bebas fosil ialah dengan mulai memasarkan teknologi listrik hibrida,” ujar Noertker, dikutip CNN. “Kami sedang mengejar perluasan dan komersialisasi pasar pesawat listrik secara bertahap. Pendekatan ini akan menguras banyak waktu dan dana ratusan juta dolar.”
Electric EEL mampu memangkas konsumsi bahan bakar 50% dan mengurangi emisi. Di masa depan, baterai listrik diyakini akan mengalami kemajuan amat pesat. Saat ini daya dan kekuatan baterai yang tersedia tidak kuat untuk mengangkat pesawat besar sehingga teknologi ini terbatas pada pesawat kecil.
“Ampaire dan FAA berkesempatan untuk bekerja sama dalam mengembangkan penggunaan pesawat listrik yang aman dan terkelola,” kata Noertker. “Modifikasi Cessna 337 merupakan langkah awal. Kelak kita bisa saja melihat pesawat kargo atau penumpang 19 orang menggunakan tenaga listrik penuh.”
Perusahaan asal Israel, Eviation, memamerkan prototipe pesawat penumpang bertenaga listrik penuh selama Paris Airshow pada Juli. Pesawat bernama Alice itu dapat menampung sembilan penumpang dengan daya jelajah 1.040 kilometer dan kecepatan 440 kilometer per jam di atas ketinggian 3.000 meter.
Alice dijadwalkan akan mulai diluncurkan pada 2022. Penampakan pesawat itu sedikit berbeda dari yang lain. Selain memiliki badan miring untuk membantu meringankan beban selama lepas landas, pesawat itu juga memiliki tiga baling-baling yang menghadap ke belakang; dua di bagian sayap, satu di ekor. (Lihat videonya: Geliat Cafe di MAsa Pandemi Covid-19)
Proyek pengembangan daya mesin listrik hingga dua megawatt telah digarap Rolls Roye, Airbus, dan Siemens dalam program E-Fan X. Mesin yang diprediksi rampung pada 2021 itu dapat dipasang di jet BAE 146. United Technologies juga sedang berupaya merancang mesin listrik 1 megawatt dalam Project 804.
Maskapai penerbangan EasyJet juga bekerja sama dengan Wright Electric untuk merancang pesawat listrik jarak dekat dari London menuju Amsterdam, rute kedua tersibuk di Eropa. Mereka berharap dapat menggunakannya pada 2027. “Pesawat listrik semakin mendekati kenyataan,” ujar CEO EasyJet, Johan Lundgren.
Perusahaan perbankan, UBS, memprediksi sektor penerbangan akan beralih dari mesin konvensional menuju mesin hibrida atau listrik dengan tingkat permintaan sekitar 550 pesawat per tahun antara tahun 2028-2040. Sejauh ini, meski mesin listrik mengalami kemajuan begitu pesat, teknologi baterai masih stagnan. (Muh Shamil)
(ysw)