Percepatan Teknologi Dorong Transformasi Medsos
loading...
A
A
A
JAKARTA - Media sosial datang silih berganti seiring dengan perkembangan dan percepatan teknologi informasi. Beberapa dari mereka terus mendunia, dan tak sedikit pula yang terkena seleksi alam alias berhenti beroperasi.
Di Indonesia, masyarakat mulai terbiasa berjejaring semenjak mengenal Friendster pada 2002. Mereka dapat berteman dengan siapa pun di dunia maya dan itu menjadi suasana baru yang menyenangkan setelah sebelumnya mereka hanya berkomunikasi dalam obrolan tertutup melalui Yahoo Messager dan mIRC. (Baca: Himmah Menatap Langit, Ibadah Sunnah yang Terlupakan)
Di Friendster, pengguna dapat lebih terbuka untuk saling berkomentar dalam kolom testimoni. Hal lain yang tidak dapat dilupakan dari Friendster ialah tampilan berwarna yang dapat diganti untuk kolom profil pengguna. Sayang, Friendster kalah teknologi dari media sosial yang datang dua tahun setelahnya hingga akhirnya gulung tikar.
Facebook sekilas mirip, namun terlalu banyak hal baru yang dibawa Facebook sehingga semakin lama pengguna Friendster pindah ke Facebook. Setiap tahunnya media sosial semakin beragam, hanya mulai berbagi gambar dan video seperti Flickr, MySpace, Pinterest, hingga Instagram dan Snapchat yang dengan mudah dapat mengedit video sebelum diunggah.
Beberapa media sosial yang tidak dapat mengikuti keinginan pengguna pun perlahan ditinggalkan dan berakhir dengan tutupnya aplikasi mereka. Seperti yang terjadi pada Path, konsep jurnal pribadi yang kerap membagikan kapan pengguna bangun tidur, judul buku yang sedang dibaca, lagu yang tengah didengarkan, hingga lokasi keberadaan seseorang nyatanya bukan menjadi keinginan generasi saat ini.
Media sosial pun perlu bertransformasi untuk agar tetap dibutuhkan oleh pengguna. Contohnya, Twitter yang kini ingin menyajikan konten bersifat real time dalam bentuk teks, foto, juga video. Tidak salah jika kita ingin mengetahui hal paling update hanya perlu scroll timeline Twitter. Media massa pun kini memiliki akun Twitter sebagai tempat pemberitaan yang aktual. (Baca juga: Ini Manfaat Mengonsumsi Dua Pisang Dalam Sehari)
Hal tersebut yang diyakini membuat aplikasi Twitter masih setiap hadir di ponsel pintar masyarakat. Pengamat media sosial, Enda Nasution mengatakan, kekuatan media sosial itu sebenarnya bukan ada pada fitur tetapi jaringan sosial di dalam media sosial itu sendiri.
"Tidak heran media sosial memang kerap disebut jejaring sosial. Tempat untuk berjejaring atau selalu terhubung dengan teman-teman. Kalau kita sudah di situ beserta teman-teman kita tentu akan sulit keluar dari platform tersebut," ungkapnya.
Jika dibandingkan dengan marketplace, ada platform yang menjadi top pertama dan kedua. Namun, yang lainnya masih bisa bertahan karena masih dihuni oleh penjual, juga dagangan yang dipromosikan. Enda menyebut, barang itu kemungkinan dapat membuat market place tersebut tetap dipilih pengguna.
Dia meyakini, akan ada media sosial seperti Facebook lagi yang memungkinkan orang akan pindah ke sosial baru tersebut. "Hampir tidak ada sebab untuk orang pindah, sekalipun itu media sosial buatan anak bangsa. Karena teman-teman kita pun belum tentu juga berada di dalam media sosial baru itu. Harus ada dorongan sosial, maka semua orang pindah ke platform baru tersebut," ungkapnya.
Selain karena ditinggal penggunanya, media sosial tutup juga akibat tidak dapat menjalankan bisnis dengan baik. Seperti Path yang tidak dapat menutupi segala pengeluaran mereka. Meskipun Path sempat memasukkan iklan dalam platform mereka, tetap saja tidak dapat memenuhi pendapatan mereka sampai beberapa tahun ke depan.
Path yang memiliki fitur hampir sama dengan Facebook dan Instagram tentunya kewalahan untuk bersaing dengan Facebook yang sudah membeli Instagram. Mereka menjadi media sosial besar untuk saat ini bersama aplikasi chating Whatsapp. (Baca juga: Kriminolog: Hoaks Masuk Kategori Kejahatan karena Menimbulkan Dampak Buruk)
Keuntungan dari integrasi seperti yang dilakukan Facebook, Instagram, dan WhatsApp adalah makin banyaknya data dimiliki perusahaan. Semakin kenal dengan pengguna, maka semakin tepat untuk menentukan kebutuhan pengguna.
Semua itu karena faktor bisnis yang dilakukan Facebook. Padahal, Facebook memiliki produk serupa. ”Facebook punya Messager seperti Whatsapp, itu menandakan tidak mudah mengubah market, meminta banyak orang untuk ganti apa yang sudah mereka gunakan," ujarnya.
Di Amerika Serikat, Facebook Messager banyak dipakai, namun tidak dengan warga Asia yang lebih banyak menggunakan WhatsApp. Sehingga dengan membeli WhatsApp, Facebook akan mendapatkan data lengkap banyak orang, sehingga apa yang ditawarkan kepada warga Asia lebih mudah.
Enda menambahkan, kesuksesan media sosial tidak hanya disebabkan modal yang besar, juga teknologi canggih. Perusahaan reksasa teknologi Google juga pernah gagal saat membuat media sosial.
Google+ diluncurkan pada 2011 dengan mengandalkan pengguna Gmail, namun nyatanya harus tutup pada 2019. Persaingan ini memang berat dan ketat, karena sangat sulit para penghuni media sosial besar itu untuk pindah ke ‘lain hati’.
Facebook dan Instagram memang akan sulit ditandingi karena para penggunanya bukan hanya betah untuk berjejaring, namun menjadi tempat menjanjikan untuk berniaga. Mereka memanfaatkan kemudahan terhubung dengan banyak orang untuk mengunggah foto maupun video produk yang akan dijual. (Lihat videonya: Berkunjung ke Aceh Jangan Lupa Menikmati Kopi Gayo)
Bahkan, kedua media sosial secara langsung turut membantu UKM masyarakat Indonesia. Instagram misalnya, membuat acara offline bertajuk InstaMarket sebagai tempat untuk para pelaku usaha bisa belajar, bertukar kisah sukses dan berbagi inspirasi. Mike Bronfin, Product Marketing Manager,
Instagram Business Platform mengatakan, InstaMarket bertujuan membantu memberdayakan pelaku usaha di Indonesia lewat fitur-fitur kreatif Instagram serta memberi wadah untuk mereka bisa berinteraksi secara langsung.
Secara global, ada lebih dari 25 juta akun bisnis di Instagram, dan Indonesia menempati posisi lima besar negara dengan jumlah akun bisnis terbanyak di dunia, setelah Amerika Serikat, Brasil, Rusia, dan Inggris. (Ananda Nararya)
Di Indonesia, masyarakat mulai terbiasa berjejaring semenjak mengenal Friendster pada 2002. Mereka dapat berteman dengan siapa pun di dunia maya dan itu menjadi suasana baru yang menyenangkan setelah sebelumnya mereka hanya berkomunikasi dalam obrolan tertutup melalui Yahoo Messager dan mIRC. (Baca: Himmah Menatap Langit, Ibadah Sunnah yang Terlupakan)
Di Friendster, pengguna dapat lebih terbuka untuk saling berkomentar dalam kolom testimoni. Hal lain yang tidak dapat dilupakan dari Friendster ialah tampilan berwarna yang dapat diganti untuk kolom profil pengguna. Sayang, Friendster kalah teknologi dari media sosial yang datang dua tahun setelahnya hingga akhirnya gulung tikar.
Facebook sekilas mirip, namun terlalu banyak hal baru yang dibawa Facebook sehingga semakin lama pengguna Friendster pindah ke Facebook. Setiap tahunnya media sosial semakin beragam, hanya mulai berbagi gambar dan video seperti Flickr, MySpace, Pinterest, hingga Instagram dan Snapchat yang dengan mudah dapat mengedit video sebelum diunggah.
Beberapa media sosial yang tidak dapat mengikuti keinginan pengguna pun perlahan ditinggalkan dan berakhir dengan tutupnya aplikasi mereka. Seperti yang terjadi pada Path, konsep jurnal pribadi yang kerap membagikan kapan pengguna bangun tidur, judul buku yang sedang dibaca, lagu yang tengah didengarkan, hingga lokasi keberadaan seseorang nyatanya bukan menjadi keinginan generasi saat ini.
Media sosial pun perlu bertransformasi untuk agar tetap dibutuhkan oleh pengguna. Contohnya, Twitter yang kini ingin menyajikan konten bersifat real time dalam bentuk teks, foto, juga video. Tidak salah jika kita ingin mengetahui hal paling update hanya perlu scroll timeline Twitter. Media massa pun kini memiliki akun Twitter sebagai tempat pemberitaan yang aktual. (Baca juga: Ini Manfaat Mengonsumsi Dua Pisang Dalam Sehari)
Hal tersebut yang diyakini membuat aplikasi Twitter masih setiap hadir di ponsel pintar masyarakat. Pengamat media sosial, Enda Nasution mengatakan, kekuatan media sosial itu sebenarnya bukan ada pada fitur tetapi jaringan sosial di dalam media sosial itu sendiri.
"Tidak heran media sosial memang kerap disebut jejaring sosial. Tempat untuk berjejaring atau selalu terhubung dengan teman-teman. Kalau kita sudah di situ beserta teman-teman kita tentu akan sulit keluar dari platform tersebut," ungkapnya.
Jika dibandingkan dengan marketplace, ada platform yang menjadi top pertama dan kedua. Namun, yang lainnya masih bisa bertahan karena masih dihuni oleh penjual, juga dagangan yang dipromosikan. Enda menyebut, barang itu kemungkinan dapat membuat market place tersebut tetap dipilih pengguna.
Dia meyakini, akan ada media sosial seperti Facebook lagi yang memungkinkan orang akan pindah ke sosial baru tersebut. "Hampir tidak ada sebab untuk orang pindah, sekalipun itu media sosial buatan anak bangsa. Karena teman-teman kita pun belum tentu juga berada di dalam media sosial baru itu. Harus ada dorongan sosial, maka semua orang pindah ke platform baru tersebut," ungkapnya.
Selain karena ditinggal penggunanya, media sosial tutup juga akibat tidak dapat menjalankan bisnis dengan baik. Seperti Path yang tidak dapat menutupi segala pengeluaran mereka. Meskipun Path sempat memasukkan iklan dalam platform mereka, tetap saja tidak dapat memenuhi pendapatan mereka sampai beberapa tahun ke depan.
Path yang memiliki fitur hampir sama dengan Facebook dan Instagram tentunya kewalahan untuk bersaing dengan Facebook yang sudah membeli Instagram. Mereka menjadi media sosial besar untuk saat ini bersama aplikasi chating Whatsapp. (Baca juga: Kriminolog: Hoaks Masuk Kategori Kejahatan karena Menimbulkan Dampak Buruk)
Keuntungan dari integrasi seperti yang dilakukan Facebook, Instagram, dan WhatsApp adalah makin banyaknya data dimiliki perusahaan. Semakin kenal dengan pengguna, maka semakin tepat untuk menentukan kebutuhan pengguna.
Semua itu karena faktor bisnis yang dilakukan Facebook. Padahal, Facebook memiliki produk serupa. ”Facebook punya Messager seperti Whatsapp, itu menandakan tidak mudah mengubah market, meminta banyak orang untuk ganti apa yang sudah mereka gunakan," ujarnya.
Di Amerika Serikat, Facebook Messager banyak dipakai, namun tidak dengan warga Asia yang lebih banyak menggunakan WhatsApp. Sehingga dengan membeli WhatsApp, Facebook akan mendapatkan data lengkap banyak orang, sehingga apa yang ditawarkan kepada warga Asia lebih mudah.
Enda menambahkan, kesuksesan media sosial tidak hanya disebabkan modal yang besar, juga teknologi canggih. Perusahaan reksasa teknologi Google juga pernah gagal saat membuat media sosial.
Google+ diluncurkan pada 2011 dengan mengandalkan pengguna Gmail, namun nyatanya harus tutup pada 2019. Persaingan ini memang berat dan ketat, karena sangat sulit para penghuni media sosial besar itu untuk pindah ke ‘lain hati’.
Facebook dan Instagram memang akan sulit ditandingi karena para penggunanya bukan hanya betah untuk berjejaring, namun menjadi tempat menjanjikan untuk berniaga. Mereka memanfaatkan kemudahan terhubung dengan banyak orang untuk mengunggah foto maupun video produk yang akan dijual. (Lihat videonya: Berkunjung ke Aceh Jangan Lupa Menikmati Kopi Gayo)
Bahkan, kedua media sosial secara langsung turut membantu UKM masyarakat Indonesia. Instagram misalnya, membuat acara offline bertajuk InstaMarket sebagai tempat untuk para pelaku usaha bisa belajar, bertukar kisah sukses dan berbagi inspirasi. Mike Bronfin, Product Marketing Manager,
Instagram Business Platform mengatakan, InstaMarket bertujuan membantu memberdayakan pelaku usaha di Indonesia lewat fitur-fitur kreatif Instagram serta memberi wadah untuk mereka bisa berinteraksi secara langsung.
Secara global, ada lebih dari 25 juta akun bisnis di Instagram, dan Indonesia menempati posisi lima besar negara dengan jumlah akun bisnis terbanyak di dunia, setelah Amerika Serikat, Brasil, Rusia, dan Inggris. (Ananda Nararya)
(ysw)