Zoom Siap Bayar Denda Rp285 Miliar, Ini Persoalannya
loading...
A
A
A
LONDON - Zoom siap membayar denda sebesar USD18 juta (sekitar Rp285 miliar) setelah terungkap bahwa perusahaan tersebut telah memberikan informasi yang menyesatkan mengenai keamanan layanan mereka.
Tawaran pembayaran denda ini diajukan sebagai bagian dari penyelesaian atas gugatan class action yang diajukan pada 2021.
Pada gugatan yang diajukan beberapa tahun lalu, Zoom terbukti telah berbohong mengenai klaim keamanan yang dijanjikan pada platformnya. Salah satu klaim utama adalah penggunaan enkripsi end-to-end (E2EE) untuk melindungi privasi penggunanya.
Dengan E2EE, seharusnya hanya peserta yang terlibat dalam percakapan yang bisa melihat aliran video, dan pihak ketiga seperti perusahaan maupun pemerintah tidak dapat mengaksesnya.
Meskipun Zoom mengenkripsi sesi komunikasi, enkripsi tersebut tidak sepenuhnya memenuhi standar E2EE, yang mengakibatkan perlindungan terhadap data pengguna jauh lebih lemah dari yang dijanjikan.
Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC) turut melakukan penyelidikan terkait pernyataan Zoom yang menyesatkan, yang mencakup klaim tentang tingkat keamanan dan privasi yang ditawarkan oleh platform tersebut.
Walaupun tawaran tersebut belum diterima oleh SEC, langkah ini menunjukkan niat Zoom untuk menutup masalah ini secara cepat. Hal ini juga memperkuat dugaan bahwa platform komunikasi tersebut tidak sepenuhnya dapat diandalkan dalam hal keamanan dan privasi pengguna.
Sebelumnya, dalam gugatan yang sama, Zoom dikenakan denda sebesar USD85 juta (sekitar Rp1,347 triliun) terkait pelanggaran klaim keamanan.
Perusahaan sepakat untuk membayar denda tersebut sebagai ganti rugi kepada seluruh penggunanya yang merasa dirugikan atas klaim palsu yang disampaikan oleh Zoom.
Kasus ini semakin menyoroti pentingnya transparansi dalam keamanan digital, khususnya untuk platform yang digunakan secara global seperti Zoom.
Meskipun platform ini masih sangat populer, masalah terkait privasi dan keamanan ini memberikan pelajaran berharga bagi para pengguna dan perusahaan teknologi untuk lebih berhati-hati.
Tawaran pembayaran denda ini diajukan sebagai bagian dari penyelesaian atas gugatan class action yang diajukan pada 2021.
Pada gugatan yang diajukan beberapa tahun lalu, Zoom terbukti telah berbohong mengenai klaim keamanan yang dijanjikan pada platformnya. Salah satu klaim utama adalah penggunaan enkripsi end-to-end (E2EE) untuk melindungi privasi penggunanya.
Dengan E2EE, seharusnya hanya peserta yang terlibat dalam percakapan yang bisa melihat aliran video, dan pihak ketiga seperti perusahaan maupun pemerintah tidak dapat mengaksesnya.
Meskipun Zoom mengenkripsi sesi komunikasi, enkripsi tersebut tidak sepenuhnya memenuhi standar E2EE, yang mengakibatkan perlindungan terhadap data pengguna jauh lebih lemah dari yang dijanjikan.
Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC) turut melakukan penyelidikan terkait pernyataan Zoom yang menyesatkan, yang mencakup klaim tentang tingkat keamanan dan privasi yang ditawarkan oleh platform tersebut.
Walaupun tawaran tersebut belum diterima oleh SEC, langkah ini menunjukkan niat Zoom untuk menutup masalah ini secara cepat. Hal ini juga memperkuat dugaan bahwa platform komunikasi tersebut tidak sepenuhnya dapat diandalkan dalam hal keamanan dan privasi pengguna.
Sebelumnya, dalam gugatan yang sama, Zoom dikenakan denda sebesar USD85 juta (sekitar Rp1,347 triliun) terkait pelanggaran klaim keamanan.
Perusahaan sepakat untuk membayar denda tersebut sebagai ganti rugi kepada seluruh penggunanya yang merasa dirugikan atas klaim palsu yang disampaikan oleh Zoom.
Kasus ini semakin menyoroti pentingnya transparansi dalam keamanan digital, khususnya untuk platform yang digunakan secara global seperti Zoom.
Meskipun platform ini masih sangat populer, masalah terkait privasi dan keamanan ini memberikan pelajaran berharga bagi para pengguna dan perusahaan teknologi untuk lebih berhati-hati.
(wbs)